Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Malam turun seperti selimut tebal yang membungkus kota dengan napas panasnya. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal yang mulai dipenuhi jejak ban. Di sebuah lapangan kosong dekat kawasan industri yang sudah lama mati, suara knalpot meraung-raung, membelah keheningan seperti lolongan binatang liar. Bau bensin, asap rokok, dan adrenalin bercampur menjadi satu—bau khas malam balap liar.
Kerumunan mulai terbentuk. Siluet-siluet orang berdiri di antara motor, sebagian bersandar pada kap mobil, sebagian duduk di atas jok sambil mengisap rokok. Ada yang tertawa, ada yang bertaruh, ada yang merekam. Semua menunggu satu hal: balapan dimulai.
Di tengah semua itu, sebuah motor sport berwarna hitam pekat berdiri dengan aura berbeda. Tidak berisik, tidak mencolok dengan stiker norak atau lampu berlebihan—tapi justru itulah yang membuatnya mencuri perhatian. Catnya memantulkan cahaya lampu jalan seperti obsidian yang dipoles. Mesin itu terlihat… berbahaya.
Ezra berdiri di sampingnya. Matanya berbinar-binar menatap motor itu seperti anak kecil yang melihat mainan mahal.
“Wow… motor lo keren gila, Bos!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh raungan knalpot di kejauhan. “Serius, ini bener-bener gila banget. Hitamnya kayak bayangan malam.”
Aiden berdiri tak jauh darinya, tangan bersarang di saku jaket gelapnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin malam, wajahnya setengah tertutup bayang-bayang. Sorot matanya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang sebentar lagi akan melaju dengan kecepatan gila-gilaan di jalan ilegal.
“Biasa aja.” jawabnya santai. Dinginnya bukan sombong—lebih seperti fakta yang tak perlu dibesar-besarkan.
Ezra tertawa kecil. “Biasa dari mana? Ini jelas bukan motor biasa. Ini tuh… motor yang bikin orang mikir dua kali buat nantang lo.”
Aiden melirik sekilas motornya. Hanya sepersekian detik. Ada sesuatu di pandangannya, sesuatu yang lebih lembut dari biasanya—nyaris tak terlihat.
“Hadiah.” ucapnya singkat.
Ezra menoleh cepat. “Hadiah? Dari siapa?”
“Nyokap.”
Mata Ezra membesar. “Tante Keira?” Ia bersiul pelan. “Ultah ke-17, dikasih monster beginian… gokil, sumpah. Nyokap lo emang beda level.”
Aiden tak menjawab. Tapi jemarinya menyentuh tangki motor sejenak. Sentuhan singkat. Seperti mengingat sesuatu. Bukan hanya tentang kecepatan… tapi kepercayaan.
Di kejauhan, suara knalpot lain mendekat, jauh lebih gaduh dan arogan. Beberapa motor besar melaju masuk ke area itu, lampunya menyilaukan, knalpotnya sengaja digeber tanpa alasan. Lingkaran penonton terbelah dengan sendirinya, seperti memberi jalan bagi raja yang merasa berhak atas panggung.
Di barisan terdepan itu, Dewa—ketua geng motor Blacksteel datang dengan motornya yang mencolok. Merah darah, aksen perak menyala, dan suara mesin yang ganas. Ia berhenti beberapa meter dari Aiden, lalu menurunkan standar dengan sengaja, keras, seperti ingin memberi tanda keberadaan.
Ia melepas helmnya perlahan. Senyum congkak menghiasi bibirnya.
“Jadi ini…” katanya lantang, matanya menatap lurus ke arah Aiden. “Aiden yang terkenal itu.”
Anak buahnya tertawa di belakang.
Ezra langsung menegang. Otot lehernya mengeras, rahangnya mengunci. “Lo nggak usah cari mati, Dewa!” ketusnya. “Ini bukan kandang Blacksteel.”
Dewa melirik Ezra dengan senyum mengejek. “Santai dikit, anjing kecil. Gue cuma mau liat-liat. Masa ketua kalian nggak boleh dilihat?”
Lalu matanya kembali ke Aiden, lebih tajam. “Lo lebih pendiam dari yang gue bayangin.”
Aiden tak bergerak. Tatapannya lurus, dingin, nyaris kosong—tapi justru itu yang membuatnya mengintimidasi.
“Ada yang lo mau bilang,” ucapnya pelan, “atau cuma numpang gaya?”
Seketika, suasana di sekitar mereka menegang. Beberapa orang langsung mendekat, mengendus potensi keributan.
Senyum Dewa makin melebar. “Gue cuma penasaran,” jawabnya. “Apa rasanya jadi anak emas yang dikira bakal jadi raja jalanan berikutnya.”
Kata-kata itu menusuk.
Ezra satu langkah ke depan. Tangannya mengepal. “Lo jaga mulut lo, Dewa.”
“Kenapa?” Dewa tertawa. “Lo mau mukul gue?”
“Kalau perlu—”
Belum sempat Ezra menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan menahan dadanya.
Aiden.
Gerakannya cepat, tegas. Bukan kasar—tapi tak terbantahkan.
“Ezra.” Hanya satu kata.
Namun di dalamnya ada perintah mutlak.
Ezra terpaku. Napasnya masih berat, dadanya naik turun. Tapi perlahan, tangannya turun. Ia menelan amarahnya dengan susah payah.
Aiden melangkah setengah maju, kini berdiri sejajar dengan Dewa. Tatapan keduanya bertemu dalam jarak dekat.
“Balapan belum mulai,” katanya datar. “Simpan tenaga dan omongan lo untuk lintasan. Gue nggak punya waktu buat adu mulut.”
Hening sejenak. Bahkan suara mesin terasa mengecil, seperti memberi ruang pada duel tatapan itu.
Dewa mengangguk pelan, senyum miring di bibirnya. “Gue suka cara lo ngomong,” ucapnya. “Dingin. Kayak orang yang lagi nyiapin pemakaman.”
“Pastikan aja lo nggak jadi orang pertama yang gue masukin.” jawab Aiden tenang.
Beberapa orang terkejut, lalu terdengar tawa tercekat di antara kerumunan.
Dewa mundur satu langkah. “Kita lihat nanti di jalan.” katanya sebelum berbalik kembali ke anak buahnya.
Ketegangan perlahan mencair, tapi aura panasnya masih menggantung di udara.
Aiden membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah motornya.
Langkahnya mantap, tidak terburu-buru.
Namun di tengah perjalanan itu—
Bug!
Seseorang menabrak bahunya.
“Ah, maaf!” ucap seorang pria.
Aiden berhenti. Menoleh.
Pria itu berdiri di hadapannya, sedikit lebih tinggi, wajahnya setengah tertutup bayangan lampu. Ada keramahan dalam sorot matanya.
“Saya tidak sengaja.” lanjut pria itu cepat.
“Lain kali lihat jalan,” balas Aiden pendek.
Pria itu mengangguk cepat. “Ya, ya, ya. Sekali lagi saya minta maaf.”
Setelah itu, ia melangkah pergi, menghilang di antara kerumunan dan asap.
Ezra mendekat lagi. “Kenapa, Bos?”
“Nggak apa-apa.” jawab Aiden pelan.
Matanya masih mengikuti arah pria itu menghilang.
Lalu ia kembali menghadap motornya.
Tangannya menggenggam setang. Dinginnya besi bercampur panasnya adrenalin.
Ia menyalakan mesin.
Raungan rendah tapi buas menggema di malam hari.
Lampu depan menyala, menembus gelap seperti mata predator.
Di seberang sana, Dewa juga bersiap.
Malam itu… bukan cuma soal siapa yang lebih cepat.
Tapi siapa yang lebih pantas menguasai jalanan.
Malam seperti menahan napasnya.
Di balik barisan mobil yang terparkir liar dan kerumunan manusia haus adrenalin, seorang pria tampan berdiri diam dalam bayang-bayang. Tubuhnya tegap, kedua tangannya masuk ke dalam saku mantel hitam panjang yang menutupi sebagian besar siluetnya. Tidak ada yang berani mendekat, bahkan sebagian besar tidak menyadari keberadaannya di sana. Tapi beberapa yang jeli tahu: pria itu bukan bagian dari dunia ini, bukan bagian dari kerumunan jalanan ini.
Ethan Royce Adler.
Tatapannya lurus menembus kabut asap dan cahaya lampu jalan ke satu titik: Aiden yang duduk di atas motor sport hitamnya, di bawah lampu redup yang membuat wajah itu tampak semakin tegas… semakin familiar.
Terlalu familiar.
Wajah itu seperti memantulkan masa lalu yang selama ini ia kubur. Garis rahang yang sama. Tatapan mata yang sama. Cara duduk yang sama, meski usia mereka terpaut dua dekade.
“Aiden…” gumam Ethan pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.
Rowan yang baru saja menyelesaikan misi muncul dari sisi kiri, langkahnya hening seperti bayangan. Di tangannya, sebuah kantong plastik kecil transparan berisi sehelai rambut hitam, yang tak lain adalah rambut Aiden.
Ya, Rowan adalah pria yang menabrak bahu Aiden tadi.
“Beres, Pak.” ucap Rowan singkat sambil menunjukkan bungkusan kecil itu.
Ethan tidak langsung melihat rambut itu. Tatapannya masih mengunci sosok Aiden yang kini mulai mengenakan helm.
“Padahal tanpa tes DNA pun saya yakin Aiden itu anak Bapak,” lanjut Rowan tenang. “Apa Bapak meragukannya?”
Hening sejenak.
Raungan mesin memecah udara, tapi di telinga Ethan, semuanya seperti teredam. Hanya ada satu suara di kepalanya—degup jantungnya sendiri.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. Pelan, namun penuh kepastian. “Aku percaya dia anakku. Tapi aku butuh bukti agar Keira tak bisa menyangkalnya.”
Rowan mengangguk. “Besok sampel ini akan dikirim ke laboratorium terbaik. Hasilnya tidak akan salah.”
“Bagus.” Bibir Ethan menipis. “Sementara itu, aku ingin melihat apa lagi yang mengalir dalam darahnya… selain wajah dan sikapku.”
Di lintasan dadakan yang dibatasi barisan mobil dan manusia, sorak sorai mulai membahana. Dewa telah bersiap di garis start bersama motor sport merahnya. Di seberang, Aiden mengendarai motornya perlahan ke posisi awal.
Lampu mobil dinyalakan, membentuk jalur terang memanjang ke depan—lintasan maut yang hanya bergantung pada keberanian dan kendali.
“SIAP!”
Seseorang mengangkat tangan ke udara.
Semua hening dalam sepersekian detik.
Dan…
BRUUUUMMMM!!
Dua mesin meraung bersamaan.
Motor Aiden dan Dewa melesat seperti peluru yang dilepaskan dari senapan. Jalanan bergetar. Angin malam meraung kencang ketika keduanya langsung memacu di atas 120 km/jam hanya dalam hitungan detik.
Sorakan terseret angin di belakang mereka.
Aiden membungkukkan tubuhnya, menyatu dengan mesin. Helmnya mengarah lurus ke depan, fokus, penuh perhitungan. Setiap gerakan tangan dan kakinya presisi. Tidak ada yang sia-sia. Tidak ada yang terburu-buru.
“Tekniknya…” gumam Rowan terpukau di samping Ethan.
Mereka menyaksikan dari sebuah titik tinggi di pinggir lintasan, seperti dua penonton yang melihat takdir berlari cepat di depan mata mereka.
Di tikungan pertama, Dewa mencoba mendahului. Motornya menyambar sisi kanan dengan manuver agresif. Nyaris bersentuhan dengan roda Aiden.
Orang-orang menjerit.
“Dia gila!” teriak seseorang.
Tapi Aiden tidak goyah. Ia justru memiringkan tubuhnya lebih dalam, nyaris menyentuh aspal. Lututnya menggesek ringan permukaan jalan. Percikan api kecil muncul. Bahaya… tapi cantik.
Ia keluar dari tikungan dengan lebih mulus.
Lebih cepat.
BRUMMM—!
Aiden menyalip.
Kini posisinya sejajar dengan Dewa. Dua pengendara dua dunia berbeda berlari berdampingan. Motor hitam dan merah seperti dua bayangan maut di atas aspal.
Di depan, jalanan menyempit. Ada titik berbahaya: lubang aspal dan pecahan botol kaca.
Dewa tetap memacu tanpa ragu.
Aiden mempersempit bola matanya.
Di saat yang nyaris tak terlihat mata biasa, ia menarik setang sedikit ke kiri, lalu dengan cepat mendorongnya kembali lurus, memanfaatkan celah kecil di antara bahaya. Motornya melompat mulus, hanya beberapa sentimeter dari lubang besar itu.
Orang-orang bersorak histeris.
“GILA!!!”
Rowan terkesiap. “Itu… itu teknik Bapak dulu,” ucapnya setengah berteriak karena suara mesin yang menggema. “Cara Bapak menghindari jebakan di balapan Vegas… sama persis!”
Ethan tidak menjawab.
Tapi rahangnya mengeras… menahan sesuatu yang hampir menyerupai senyum.
Di lintasan lurus terakhir, Dewa menyerang dengan nekat. Ia mendorong motornya ke batas maksimal. Angka di speedometer menembus angka yang sudah tidak manusiawi. Mesin meraung sekarat.
Namun Aiden… justru sedikit mengendurkan gas.
Bukan tanda menyerah.
Melainkan perhitungan akhir.
Di titik yang tepat, ketika Dewa mulai kehilangan stabilitas karena terlalu memaksa kecepatannya, Aiden kembali menarik gas penuh. Tubuhnya menunduk lebih rendah, menyatu dengan bayangan.
Angin memekik.
Motor sport hitam itu melesat dari samping seperti kilat tengah malam.
MENYALIP.
Di garis finish yang ditandai dua lampu mobil saling berhadapan—
Aiden tiba lebih dulu.
Satu detik lebih cepat.
Sorak sorai meledak.
Orang-orang melonjak, berteriak, bersiul, memanggil nama REIGN, memanggil nama Aiden. Dunia seakan pecah menjadi raungan kemenangan.
Motor Aiden melambat di kejauhan. Ia tidak mengangkat tangan, tidak berteriak. Ia hanya berhenti, melepas helmnya perlahan, rambutnya tertiup angin malam.
Wajahnya tenang.
Dingin.
Seperti seseorang yang memang seharusnya menang.
Dari kejauhan, mata Ethan mengunci sosok itu. Tak bergerak. Tak berbicara.
Namun di dalam dadanya, untuk pertama kali setelah 17 tahun, ada sesuatu yang terasa hangat. Berat. Nyata.
Kebanggaan.
“Itu benar-benar gila…” Rowan terkekeh pelan, masih tak percaya. “Tidak cuma wajah dan sikap yang mirip… tapi ini… benar-benar fotokopian Bapak. Versi muda.”
Ethan tidak menyangkalnya.
Ia hanya berkata pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari Aiden,
“Darah tidak pernah salah jalan.”
Di bawah sana, Aiden naik kembali ke motornya, tak menyadari bahwa dari kejauhan, seorang pria yang baru sekali ia temui… baru saja mengakui keberadaannya dalam hatinya sebagai anak.
Malam itu, balapan memang dimenangkan oleh Aiden.
Tapi sesuatu yang jauh lebih besar… diam-diam juga telah dimenangkan oleh Ethan Royce Adler.
...****************...
up nya kurang kk
3 S😍