NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:740
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTEMUAN TANPA DIMINTA

Deretan rak buku menjulang rapi seperti tembok sunyi yang menyimpan ribuan rahasia. Aroma khas kertas dan debu lembut memenuhi udara—menenangkan, tapi juga membuat dada Luna terasa sesak oleh nostalgia yang entah datang dari mana.

Langkahnya pelan, hampir tanpa suara di lantai berlapis vinyl. Jari-jarinya menyusuri punggung-punggung buku, merasakan tekstur kulit, kertas, dan label yang mulai memudar. Sesekali matanya menunduk membaca judul satu per satu, berharap menemukan buku yang ia cari di antara barisan huruf yang padat dan asing.

“Dapat!” Lirihnya, suara kecil itu terdengar penuh kemenangan. Buku yang biasanya ia letakkan di tempat yang sama, kini ternyata berpindah posisi. Sudah lebih dari tiga hari ia mencarinya—dan baru sekarang menemukannya kembali.

Tatapan Luna melembut, seolah menemukan kembali sesuatu yang hilang dari dirinya sendiri. Ia mengusap sampul buku itu perlahan, seakan menegur lembut benda itu yang sempat “bersembunyi” darinya.

Ia kemudian membuka lembaran acak, tidak berniat untuk membacanya. Melainkan, di tengahnya tentu sudah bisa ia tebak—sebuah diary yang ia tulis dan selalu mendapat jawabnya.

Hidup ini lucu, buat kamu yang bisa memahami seberapa bercandanya masalah yang kita hadapi. Berbesar hatilah untuk menjadi pemaaf.

Luna tersenyum kecil, senyum yang nyaris tak terlihat namun sarat makna. Seperti biasa, ia melipat rapi selembar kertas berisi balasan dari diary—tempat di mana kata-kata Arga selalu muncul entah dari mana—dan menyelipkannya ke dalam saku seragamnya dengan hati-hati, seolah menyimpan sesuatu yang rapuh dan berharga.

Beberapa detik ia hanya diam, membiarkan debar halus di dadanya mereda. Jemarinya lalu meraih selembar kertas kosong dari antara halaman buku, dan pena hitam yang sudah menunggu di meja.

Sunyi perpustakaan seakan menunduk bersamanya saat ia mulai menulis. Ujung pena bergerak perlahan di atas kertas, membentuk huruf demi huruf yang mengalir lembut—tidak tergesa, namun penuh perasaan. Seolah setiap kalimatnya adalah percakapan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang tak pernah benar-benar bertemu.

Aku baru membalas lagi pesanmu, entah siapa kamu... Tapi rasanya aku sangat beruntung untuk bisa bicara denganmu lewat tulisan ini.

Ayahku, kemarin meninggal dunia karena serangan jantung yang tiba-tiba. Dan, itu membuat aku merasa benar-benar patah dan hilang semangat hidup untuk kedua kalinya semenjak Ibuku berpulang lebih dulu.

Maaf… kalau aku sempat membagikan dukaku padamu. Aku hanya ingin melepaskan apa yang selama ini menyesakkan di dada. Tapi aku bersyukur—karena ternyata, Tuhan menghadirkan beberapa orang yang begitu tulus… orang-orang yang membuatku merasa tidak sendirian lagi, tanpa ku sebutkan namanya... termasuk kamu.

Terima kasih, sudah menjadi jawab dari kegelisahanku...

Kamu, yang begitu jauh dari kenyataan namun dekat dengan pena yang aku ukir ini.

Bunyi klik pena yang Luna tekan menandakan tulisannya telah usai. Ia menatap sejenak lembaran itu—masih hangat oleh sentuhan jarinya, penuh jejak perasaan yang baru saja ia lepaskan. Perlahan, ia melipat kertas itu dan menyelipkannya di tengah halaman buku, di tempat yang sama seperti biasanya.

Setelah memastikan posisinya rapi, Luna menutup buku itu dengan lembut, seolah menutup rahasia yang hanya dimengerti oleh dua orang. Ia kemudian mengembalikannya ke rak, di antara deretan buku lain yang diam dan tak bersuara—menyimpan satu kisah kecil yang hanya mereka berdua tahu keberadaannya.

Luna melangkah keluar dari perpustakaan dengan langkah perlahan, masih membawa sisa keheningan ruang itu bersamanya. Pintu kayu di belakangnya berayun pelan, menutup dengan bunyi lembut yang seolah menandai akhir dari satu rahasia kecil.

Koridor sekolah menyambutnya dengan cahaya siang yang menembus jendela panjang di sisi kiri. Sinar keemasan itu memantul di lantai licin, menciptakan bayangan langkahnya yang bergerak tenang di sepanjang lorong.

"LUNAAAA AWAAASS...!!"

Suara itu terdengar begitu cepat—tajam, namun panik. Dalam sepersekian detik, seseorang meraih dan mendekap tubuhnya, menariknya menjauh dari jalur benda yang meluncur jatuh dari atas.

Brak!

Suara keras menghantam lantai tepat di tempat Luna berdiri tadi. Tanah berhamburan dari pecahan pot bunga yang terbuat dari tembikar itu.

Luna terdiam, matanya membulat. Ia masih bisa merasakan hangatnya dekapan yang menahan tubuhnya, campuran aroma parfum maskulin yang khas bersatu dengan napas seseorang yang beradu dengan napasnya sendiri—cepat, berat, dan nyata. Dunia seakan berhenti sesaat, hanya tersisa detak jantung mereka yang saling bertemu di tengah keheningan koridor itu. "A-Arga..." Lirihnya.

“Kamu nggak apa-apa?” Suara Arga terdengar serak, napasnya masih memburu di dekat telinga Luna.

Luna menoleh perlahan, matanya masih membulat karena kaget. Ia hanya bisa menggeleng pelan, belum mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Arga menatapnya lekat, memastikan tak ada luka di wajah atau bahunya. Jemarinya yang tadi menahan Luna kini perlahan melemah, tapi masih belum benar-benar melepaskannya.

“Untung aku sempat narik kamu,” Ujarnya lagi, nada suaranya bergetar halus di antara sisa tegang.

Luna menunduk, berusaha menenangkan napasnya. Suara jantungnya sendiri terasa lebih keras dari apa pun di koridor itu.

Detik berikutnya, Luna perlahan melepaskan diri dari dekapan Arga. Sentuhannya terasa ragu, seolah takut gerakannya terlalu kasar atau justru terlalu lama tertahan. “Aku… aku nggak apa-apa,” Ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia merapikan seragamnya sekadar untuk mengalihkan rasa gugup, sementara jantungnya masih berdetak cepat. "A-Arga, kenapa kamu bisa ada di sini?" Tanyanya penasaran.

Arga mengerjap sebentar, seolah baru menyadari betapa dekat jarak mereka tadi. Ia menatap ke arah lain, lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas. “Aku…” Ujarnya ragu, lalu menarik napas pelan. “Tadi lewat aja. Dari ujung koridor aku lihat kamu, terus—” Ia menunjuk ke arah benda yang jatuh tadi, “Itu hampir kena kamu.”

Luna menatapnya heran, bibirnya setengah terbuka. Tapi kenapa harus kamu lagi, Arga...

Arga terdiam. Sekilas, ada sesuatu di matanya—antara gugup, bingung, dan sesuatu yang belum sempat ia katakan. Bibirnya melengkung samar, senyum tipis yang lebih menyerupai helaan napas. "Tapi... kamu gak kenapa-kenapa, kan?"

Luna menggeleng. "Makasih, A-Arga."

"Aku yakin. Ini pasti ulah Angel." Gumam Arga, nada suaranya rendah namun tegas. "Dia dendam karena kejadian tadi pagi."

Luna terdiam. Ada getar halus di tangannya, antara takut dan Bingung. Matanya menatap lantai, seolah mencari jawaban di antara bayangan mereka berdua.

“Kalau dia berani ngelakuin ini lagi, aku nggak bakal diam.” Lanjut Arga.

Luna tersentak. Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Arga yang kini berdiri lebih dekat, sorot matanya dipenuhi keyakinan. Dalam hati, ada sesuatu yang bergetar—antara rasa takut, lega, dan hangat yang sulit ia jelaskan.

Tapi yang jelas, kehadiran Arga membuat Luna perlahan merasa sedikit lebih tenang. Meski hatinya masih dicekam oleh ketakutan, namun ada rasa aman yang perlahan tumbuh dari cara Arga berdiri di sisinya—tegap, waspada, namun tetap lembut dalam setiap tatapan.

PERHATIAN. KEPADA SISWI ATAS NAMA ALUNA DI TUNGGU DI RUANG TU. SEKALI LAGI, KEPADA SISWI ATAS NAMA ALUNA DI TUNGGU DI RUANG TU. TERIMA KASIH.

Panggilan dari speaker Itu lagi terdengar memenuhi koridor, membuat Luna membeku seketika. Hatinya langsung mencelos, rasa cemas menyergap tanpa perlu alasan panjang. Ia tahu panggilan itu bukan sekadar formalitas—itu tentang SPP yang belum juga ia bayar.

"Luna, itu nama kamu?" Tanya Arga mengejutkan.

Luna mengangguk. "Aku... aku permisi dulu, terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan aku."

“Luna, tunggu!” Seru Arga, sedikit lebih keras kalI ini. Tangannya terulur refleks, menahan pergelangan tangan Luna sebelum gadis itu benar-benar pergi. Sentuhan itu membuat Luna terhenti, tubuhnya menegang sesaat.

Arga menarik napas panjang, menatapnya dengan serius. “Aku cuma… nggak tenang kalau kamu jalan sendirian,” Katanya, nada suaranya menurun, ada ketulusan yang tak bisa disembunyikan.

Luna menatap tangan Arga yang masih menahannya, lalu menatap wajahnya. Ada sesuatu di sana—antara bingung, gugup, dan hangat. Perlahan, ia menarik tangannya kembali, tapi kali ini dengan senyum kecil yang tulus.

"Ma-maaf," Lirih Arga penuh permohonan. "Bolehkah aku menemanimu untuk pergi kesana?"

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!