DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

PROLOG

Perhatian. Untuk Aluna Dermawan ditunggu di ruang Tata Usaha sekarang. Sekali lagi, kepada Aluna Dermawan, ditunggu di ruang Tata Usaha sekarang. Terima kasih.

Suara itu, berat dan bergaung, memecah keheningan kelas IPA dua. Aluna mendongak, pensilnya tergelincir dari jemari. Bunyi kayu beradu lantai tak menarik perhatian siapa pun. Semua mata menatapnya. Jantungnya berdentum keras, memukul rusuk.

"Ada apa ya?" Bisik salah satu seorang gadis, yang terduduk tak begitu jauh dari Luna.

"Ya elah, palingan juga di panggil karena nunggak SPP." Celetuk teman lainnya. Lirih, namun terdengar tajam untuk sampai ke telinga Luna, gadis berkulit sawo matang itu.

"Angel...?" Sahut sang guru yang berada di depan kelas. Menggeleng pelan, seakan menyayangkan sesuatu. Sorot matanya melembut, mencoba mengurangi kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah Angel. " Luna, kamu ke ruangan TU dulu, ya."

Luna berdiri dari bangkunya, tubuhnya terasa kaku dan berat. Kalimat teman sekelasnya tadi masih terngiang jelas di telinganya, menghantam dirinya seperti gelombang pasang yang tiba-tiba datang. Ia mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terasa tercekat. Sakit. Kata itu mendominasi perasaannya saat ini. Sakit karena tuduhan yang memang pasti benar, sakit karena tatapan iba atau mungkin merendahkan dari teman-temannya.

"Saya permisi dulu, Bu." Katanya mulai melangkahkan kakinya yang terasa berat, berjalan menuju pintu kelas. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menusuk-nusuk kulitnya. Luna berusaha tegar, mencoba menyembunyikan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

Ya, ini tak sekali atau hari ini dirinya Merasakan sakit yang begitu menusuk. Sudah berkali-kali ia menghadapi situasi seperti ini, di mana kata-kata tajam dan tatapan merendahkan menjadi makanan sehari-harinya. Namun, entah mengapa, setiap kali hal itu terjadi, luka yang ditorehkan tetap terasa perih dan menganga.

"Oke, kita lanjut lagi ya anak-anak! Perhatikan semuanya...!"

"Oke, kita lanjut lagi ya anak-anak! Perhatikan semuanya...!" Ujar sang guru saat Luna keluar kelas dan berjalan sepanjang koridor. Sayup-sayup suara guru terdengar menjauh, perlahan menghilang ditelan kesunyian di sepanjang koridor melewati setiap kelas yang khidmat oleh pelajaran pertama pagi ini. Langkah Luna terasa semakin ringan, seolah beban yang tadi menghimpit dadanya sedikit terangkat.

Cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar koridor menciptakan garis-garis terang dan bayangan yang menari-nari di lantai yang dipijakinya.

Luna masih berjalan menelusuri koridor, kini langkahnya sedikit dipercepat. Ia berbelok ke kiri, dan di depan sana terpampang papan nama tata usaha dengan huruf-huruf yang dicetak tebal. Jantungnya mulai berdebar, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Inilah yang selalu Luna rasakan setiap kali kakinya melangkah ke tempat ini. Ruang tata usaha yang berdekatan dengan ruangan kepala sekolah juga ruang guru itu, baginya, ruangan tersebut bukanlah sekadar ruangan yang menyimpan data administrasi sekolah. Lebih dari itu, tempat ini adalah simbol dari segala kecemasan dan ketidakpastian yang menghantuinya.

"Masuk!"

Suara berat dari dalam menyahut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti Luna. Kenop pintu terasa dingin di telapak tangannya yang berkeringat. Dengan gerakan perlahan, ia mendorong pintu ke dalam, menciptakan celah yang cukup lebar untuk ia masuki. Suara derit engsel pintu yang berkarat terdengar nyaring, memecah keheningan ruangan.

"Luna, masuklah!" Kata seorang wanita yang duduk di balik meja sibuknya. Nada suaranya ramah, namun tetap terdengar formal. Wanita itu, Bu Rina, adalah salah satu staf administrasi yang paling sering berinteraksi dengan siswa, apalagi Luna. Ia dikenal sebagai sosok yang baik hati dan sabar, namun tetap tegas dalam menjalankan tugasnya.

Luna melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun bagi Luna terasa penuh sesak. Bukan karena meja-meja yang dipenuhi tumpukan berkas dan peralatan kantor. Bukan juga karena aroma kertas dan tinta yang khas bercampur dengan parfum ruangan yang lembut, semakin ia mendekat, menarik kursi lalu duduk dihadapan wanita itu, semakin hatinya tersayat dan sesuatu tertahan di kelopak matanya.

"Apakah kamu sudah menyampaikan pesan pihak sekolah pada orangtuamu?" Tanya Bu Rina seolah langsung pada intinya.

"Sudah, Bu." Angguk Luna dengan nada bergetar.

Bu Rina memposisikan duduknya lebih nyaman, matanya lurus mengunci gerak Luna seolah tengah menginterogasi. "Luna, Ibu tahu kondisi keluarga kamu, Ibu juga sudah menyampaikan hal ini pada pihak sekolah. Bu Rina menghela napas sejenak. "Sebenarnya, ada program dana bantuan bagi siswa tidak mampu di sekolah kita. Tapi, kuotanya sangat terbatas dan persyaratannya cukup ketat. Kami juga harus mempertimbangkan banyak faktor sebelum memutuskan siapa yang berhak menerima bantuan tersebut."

Mengapa harus mempertimbangkan? Batin Luna memberontak. Jelas-jelas, saat ini ia sedang dalam kondisi yang tidak bAik-baik saja. Apakah karena ia merasa sebagai siswa yang biasa-biasa saja? Bahkan, jujur saja, ia bisa dibilang siswa dengan nilai terendah di kelasnya. Mungkin itulah alasannya. Mungkin karena ia tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan, sehingga sekolah ragu untuk memberikan bantuan kepadanya.

Pikiran-pikiran itu berputar-putar di benaknya, menciptakan badai di dalam hatinya. Ia merasa semakin kecil dan tidak berdaya. Ia merasa seperti orang yang tidak pantas mendapatkan apapun.

"Ini," Bu Rina memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Luna. Luna menerimanya dengan perasaan campur aduk antara cemas dan pasrah. Ia sudah bisa menebak apa isi kertas tersebut. Tanpa membukanya, ia sudah tahu isinya mencakup rincian tunggakan uang sekolahnya selama beberapa bulan terakhir dan nominalnya cukup besar. "Tolong sampaikan ini pada orangtuamu. Dan, Ibu juga ingin mengingatkan kamu, jika tunggakan ini tidak segera dilunasi, kamu tidak bisa mengikuti ujian semester ini."

Ancaman itu bagaikan cambuk yang menyentak Luna. Ia tersentak dan menatap Bu Rina dengan panik. Ujian semester adalah penentu kelulusannya. Jika ia tidak bisa ikut ujian, maka ia tidak akan bisa naik kelas.

"Baik, Bu." Angguk Luna. Ia kemudian berpamitan kepada Bu Rina lalu keluar dari ruang TU dengan langkah gontai. Ia menggenggam erat kertas yang berisi rincian tunggakan uang sekolahnya. Kertas itu terasa seperti beban yang sangat berat, namun ia bertekad untuk memikulnya dengan tegar.

Bruuuuk!

Suara keras itu memecah lamunan Luna. Tubuhnya terhuyung ke belakang, dan kertas yang berisi rincian tunggakan uang sekolahnya terlepas dari genggamannya, melayang ke udara sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Ia merasakan nyeri di bahunya akibat benturan yang tiba-tiba.

"Aduh!" Seru Luna spontan, memegangi bahunya yang terasa sakit.

Ia mendongak dan melihat seorang lelaki berdiri di hadapannya. Lelaki itu tampak terkejut dan salah tingkah. Seorang siswa yang lebih tinggi darinya, dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan dan mata cokelat yang tampak khawatir. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Luna, namun terlihat lebih rapi dan bersih.

"Maaf, maaf banget! Aku nggak sengaja," Ucap lelaki itu dengan nada menyesal. Ia segera berjongkok dan memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai. Namun, Luna dengan sigap menahan tangannya.

"Jangan!" Seru Luna dengan nada panik. Ia segera merebut kertas-kertas itu dari tangan lelaki tersebut. "I-Ini punyaku! Ma-Maksudku... biar aku!"

Lelaki itu mengangguk dan kembali berdiri tegap, menatap Luna sambil tersenyum tipis.

"Arga?"

Suara itu memecah keheningan, membuat Luna dan lelaki itu serentak menoleh. Dari ambang pintu ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan kacamata bertengger di hidungnya muncul.

"Ayo, Ibu tunjukkan kelas barumu."

Kelas baru, Batin Luna. Seketika, pikirannya dipenuhi rasa ingin tahu. Berarti lelaki ini murid baru di sekolah? Pantas, aku baru melihatnya sekarang.

"Ayo, Arga."

Lelaki itu menganggukkan kepala singkat, tanda mengiyakan panggilan tersebut. Sesaat sebelum ia melangkah mengikuti sang Guru yang sudah berjalan di depan, ia sempat menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Luna, seolah ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!