“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 ~ Dia bukan Ayah Ikram
Setelah dua jam perjalanan menggunakan mobil. Ikram, Arinta, dan Denis, tiba di pantai berpasir putih, airnya jernih. Terdapat juga resort hotel terbilang cukup mewah.
Begitu keluar dari mobil, suasana di sekitar pantai sudah ramai pengunjung. Banyak pedagang dipinggir jalan, ada pula yang berjalan menjajakan mainan.
Tikar lipat digelar di bawah barisan pohon Cemara. Para anggota keluarga terlihat saling melempar canda dan tertawa.
“Kita sewa gazebo saja, Bang. Biar kalau Denis mengantuk bisa tiduran disana,” usul Arinta.
Yunus pun setuju. Denis ada dalam gendongannya, sebelah tangannya yang bebas menjinjing tas lumayan besar berisi keperluan putra Arinta.
Mereka sedang menunggu pelayan resort membersihkan lantai gazebo dari pasir, lalu menggelar tikar pandan.
“Pelayanannya bagus ya, mereka sopan dan ramah tak terkesan berlebihan,” puji Yunus kala sang pelayan sudah pergi.
Netra pria tampan itu memandang bangunan tiga lantai. Tepat pada balkon tidak terlihat begitu jelas dikarenakan berjarak lumayan jauh, ada sesuatu menggelitik hatinya – membuatnya berlama-lama menatap ruangan kosong berpagar besi pembatas.
“Kenapa, Bang?” Arinta merasa heran.
"Tidak ada." Yunus memalingkan wajah, tersenyum tipis dan menurunkan Denis duduk di atas tikar.
Belum juga mereka berkesempatan mendekati air laut, masih menyusun barang bawaan – sudah terdengar himbauan larangan, tak lama kemudian teriakan seorang ibu meminta tolong.
Jiwa penolong Yunus mengambil alih, dia lari tanpa menghiraukan larangan Arinta.
Ketika tiba di kerumunan orang dan ada pula mencari si anak terseret arus ombak. Pria bertopi navi itu ikut membantu, menggulung celana dan masuk ke dalam air.
Seorang pemuda hampir hanyut kala tangannya sudah meraih jemari si anak perkiraan umur sepuluh tahunan. Yunus beserta dua penolong lainnya sigap menarik mereka.
Dia membopong anak laki-laki tidak mengenakan baju, cuma memakai celana selutut. Meminta pengunjung menjauh dikarenakan dirinya ingin memberikan pertolongan pertama.
Bertepatan dengan itu, sosok yang tadi membelah kerumunan dengan susah payah demi mendekati sumber suara paling dirindukannya, sampai juga pada barisan paling depan.
Lidah Intan kelu, suaranya tercekat di tenggorokan. Bibir mengatup rapat, buliran bening berlomba-lomba menetes tanpa permisi.
Gadis kecil nan mempesona berdiri kaku, getar samar membuat bahunya naik turun. Kala pandangan terhalang oleh air mata, cepat-cepat dia raih ujung hijab menghapus air matanya.
‘Ayah!’ dia mencoba memanggil, tapi tak mampu terlontar malah bibirnya bergetar. Pada percobaan kesekian kali baru berhasil.
"AYAH!” teriaknya sekuat tenaga.
Panggilan itu langsung direspon, sepersekian detik tatapan mata mereka bertemu.
Namun jiwa dokter Yunus mendominasi. Dia mendahulukan keselamatan pasien diatas segalanya.
Intan tergugu, dia tidak marah apalagi merasa kecewa, malah bangga. Kakinya tertatih dengan langkah sempit, senyum bahagia kali ini mencapai mata. Kerinduan itu tak lagi terbendung. Ingin rasanya berlari memeluk sosok masih berusaha menolong nyawa anak kecil itu.
Jarak dua meter sedikit demi sedikit terkikis. Mata Intan sampai perih dikarenakan takut mengedip. Takut kalau sampai dia memejamkan mata meskipun hanya dalam hitungan detik, ayahnya menghilang lagi.
Yunus tetap berusaha membuat anak yang ditolongnya sadarkan diri. Hatinya berdesir dan jantung berdebar-debar, fokusnya nyaris terpecah.
Uhuk! Uhuk!
Berhasil, anak laki-laki itu batuk dan memuntahkan air laut.
Riuhnya suara para penonton mengucapkan kalimat puji syukur, diiringi tangis haru ibu si anak yang menunggu di dekat putranya.
"Alhamdulillah. Ayah Ikram memang hebat!” Intan mengusap wajah, baru saja dia menurunkan tangan, suara asing membuat langkahnya seketika terhenti.
“Papa … papa!” bersamaan dengan itu, badan kecilnya diturunkan sang ibu. Denis tertatih mendekati pria baik hati.
“Iya, Nak itu papa! Papa Denis hebat ya!” serunya lumayan lantang.
Bak suara ombak memecah tebing karang, hati Intan benar-benar terluka dengan gemuruh dada menyakitkan. Dia menatap nanar anak laki-laki sebaya Gauzan, memeluk punggung ayahnya, dan ada seorang wanita memakai pashmina berdiri begitu dekat dengan cinta pertamanya.
Yunus masih terus menepuk-nepuk punggung sosok yang ditolongnya, agar memuntahkan air laut sudah terlanjur diminum.
“Dia bukan ayahku! Ayah Ikram tak mungkin menduakan Mamak!” logika tengah memaksa hatinya untuk menerima. Intan berbalik badan, kembali membelah kerumunan orang, lalu berlari kencang.
“Intan! Intan berhenti!” Siron berteriak memanggil sepupunya, dia berlari mendekati.
Intan berhenti, mencoba memasang ekspresi kesakitan.
“Kau kenapa? Darimana saja? Aku capek mencarimu. Kau menangis, ada apa Intan?” Lengan kurus itu dia tarik agar dapat melihat jelas.
“Perutku mulas, Kak. Aku mau ke kamar mandi?”
Siron tidak langsung percaya, tapi setelah melihat penampilan Intan yang berantakan, dia melepaskan cekalannya. “Terus cangkang Kerang yang kau bawa mana?”
“Aku berikan pada orang lain!” Intan menarik tangan sepupunya. “Ayo balek ke resort saja!”
Dia tidak ingin kalau sampai Siron melihat apa yang dilihatnya tadi.
Intan pun mengatakan hal sama saat ditanyai Sabiya. Dia berlari menaiki tangga seorang diri, tujuannya kamar mandi dalam hotel. Ingin menumpahkan tangis sepuasnya.
***
“Arinta, apa kau tadi mendengar dan melihat anak kecil memanggil Ayah?”
Arinta terlihat sibuk, memasukkan handuk dan baju bersih Denis ke dalam tas. “Tidak. Mungkin saja anak yang kebingungan mencari keluarganya. Abang lihatlah pantai ini sangat ramai pengunjung.”
“Mungkin.” Yunus mengangguk, lalu menatap heran pada Arinta. “Kenapa pakaiannya dimasukkan lagi?”
“Ayo kita pulang saja, Bang! Aku takut dekat-dekat dengan air. Mana ombaknya pun masih tinggi,” ekspresinya sangat meyakinkan.
“Nantilah dulu. Kalaupun tak bisa mendekati air, kan bisa main pasir.” Yunus sedang membuatkan susu Denis.
“Aku takut, Bang. Sudah paranoid duluan, takut Denis mengalami si anak yang Abang tolong tadi. Ayo balek saja! Ke sininya Minggu depan saja, atau kapan-kapan.” Arinta cepat-cepat turun dari gazebo. Menggendong Denis sedang mengeruk pasir menggunakan sekop mainan.
“Tak mau!” Denis menangis kencang, dia senang main pasir.
Namun sang ibu seolah tuli. Mendudukkannya di lantai gazebo, mengelap tangan dan mulutnya menggunakan sapu tangan.
"Arinta, yang lembut sedikit! Denis kesakitan!” Yunus menekankan setiap kata, dia heran pada wanita tergesa-gesa ini.
“Abang tak tahu bagaimana cemasnya aku! Cuma Denis yang ku punya, satu-satunya peninggalan almarhum suamiku!” Arinta memekik tertahan, matanya berkaca-kaca.
Yunus menghela napas panjang, dia lupa kalau Arinta memiliki trauma. Katanya, suami yang masih sempat menikahinya secara siri, meninggal dikarenakan kecelakaan naik kapal.
“Maafkan saya, Arinta,” ia pun mengalah. Membawa dua tas besar, dan membiarkan Denis di gendong ibunya.
Arinta tidak menjawab, melangkah terburu-buru menuju area parkir mobil.
Begitu sampai di samping mobil milik Abah, tangan kanan Yunus memindahkan tas ke tangan kiri agar dia bisa merogoh saku celana mengambil kunci. Akan tetapi seseorang menepuk pundaknya ….
“Ikram Rasyid ….”
‘Ikram Rasyid!’
‘Ikram Rasyid!’
.
.
Bersambung.
#pembacaesmosi