Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Dirumah sakit, suasana dipenuhi bau antiseptik dan suara mesin monitor yang berdetak pelan. Valencia duduk di tepi ranjang, tangannya masih terbalut perban, tapi pandangannya hanya tertuju pada ranjang sebelah—tempat Alaric masih terbaring lemah dengan wajah pucat.
"Keadaanya sudah stabil, tapi dia butuh waktu untuk pulih total," ucap dokter sambil menuliskan sesuatu di papan catatan. Valencia hanya mengangguk, suaranya serak. "Terima kasih, Dok."
Begitu dokter keluar, Valencia menatap Alaric lagi. "Kau selalu keras kepala, Al..." bisiknya pelan, "Harusnya gue yang kena lebih parah, bukan lo." ia menghela napas panjang, rasa bersalah menyesakkan dada. Semua kejadian di pelabuhan masih berputar di kepalanya—jeritan, suara logam, dan tatapan dingin Raden sebelum semuanya gelap.
Tak lama, Andra masuk ke ruangan bersama Bayu dan Cakra.
"Valencia, kau perlu istirahat. Biarkan kami yang jaga Alaric, malam ini," ucap Andra dengan nada tegas namun lembut.
Valencia menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Pak. Hanya luka ringan. Aku cuman ingin pulang... sebentar saja. Istirahat di rumah."
Andra menatap sejenak, lalu menghela napas. "Baiklah. Tapi besok kau tetap harus periksa ulang."
Valencia mengambil jaketnya dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah pelan. Di koridor rumah sakit yang sepi, ia berhenti sejenak, menatap keluar jendela malam.
"Raden... kau belum selesai denganku," gumamnya pelan, sebelum melangkah pergi menuju rumah—membawa luka, dendam dan tekad yang belum padam.
•●•
Sesampainya di rumah, Valencia langsung menutup pintu dan bersandar di baliknya. Napasnya berat, tubuhnya terasa nyeri di setiap bagian. Begitu melangkah ke kamar mandi, ia menatap pantulan dirinya di cermin — wajah pucat, luka di pelipis, dan goresan merah di lengannya yang mulai mengering.
Ia membuka air dan perlahan membersihkan diri. Saat air menyentuh lukanya, rasa perih membuatnya meringis. “Sial…” desisnya pelan, menahan sakit sambil mencoba membersihkan darah yang tersisa di kulitnya. Setelah selesai, ia keluar dengan handuk menutupi bahu, berjalan pelan ke ruang tengah dan duduk di sofa. Ia membuka kotak P3K dan mulai mengobati luka-lukanya sendiri.
Saat itu, suara ketukan pintu terdengar.
Tok… tok… tok…
“El, ini Om.”
Valencia terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuka pintu. Evan berdiri di sana dengan wajah serius, napasnya agak berat seperti baru saja terburu-buru ke tempatnya. Begitu melihat keadaan Valencia, mata pria itu menajam.
“Kamu masih berdarah,” gumamnya rendah. Ia langsung masuk tanpa menunggu izin, mengambil kapas dan cairan antiseptik dari tangan Valencia.
“Elina duduk,” ucapnya pelan namun tegas.
“Raden selamat, Om,” kata Valencia tiba-tiba, menatapnya lurus.
Evan berhenti sejenak, pandangannya dalam. “Om tahu.”
Ia mulai membersihkan luka di bahu Valencia dengan lembut, meski wajahnya terlihat menahan amarah.
“Om pasti gak akan diam aja, kan?” tanya Valencia lagi, suaranya lirih tapi matanya tajam.
Evan menghela napas panjang, menatap gadis itu penuh rasa khawatir. “Itu sudah pasti, El. Om gak akan biarin dia lepas gitu aja. Raden sudah melukai terlalu banyak orang, termasuk kamu.”
Valencia menunduk. “Aku gak suka ngelihat orang lain terluka karenaku.”
Evan mengangkat dagunya lembut. “Kamu bukan penyebabnya, Elina. Kamu korban… tapi kamu juga kekuatanku sekarang. Jadi, biar om yang urus sisanya.”
Suara di antara mereka mengalun tenang, tapi udara terasa berat. Valencia hanya mengangguk, lalu tersenyum tipis, sementara Evan menatapnya dalam diam — khawatir, tapi juga bangga karena gadis di depannya masih tetap tegar meski terluka.
bab slnjut ny thor