Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Mama Hebat!
“Perjalanan panjang tak pernah memberi jeda padanya, namun ia terus melangkah, bukan karena yakin semua akan baik-baik saja, melainkan karena ia tahu satu hal: berhenti bukan pilihan."
"Ia pernah jatuh sedalam-dalamnya, tapi di sanalah ia belajar bahwa tidak ada yang bisa merampas tekad seorang perempuan yang telah kehilangan begitu banyak."
"Kini, dunia hanya melihat hasilnya—kecantikan yang ia bangun dari sisa luka, dan kekuatan yang tumbuh dari air mata yang tak pernah mereka lihat."
...***...
Ben menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Seragam sekolah sudah diganti dengan kaos hitam polos yang nyaman dan celana rumahan.
Seharusnya, saat ini otaknya sudah fokus pada deretan catatan pelajaran di meja. Tapi, nyatanya, pikirannya justru tersangkut pada satu nama: Rayna.
Ponsel di tangannya masih sunyi. Belum ada notifikasi balasan dari Rayna. Seketika, ekspresi Ben langsung berubah cemberut.
"Ke mana sih dia? Udah jam segini kok belum bales," gumamnya manja, ada nada kerinduan yang tak bisa disembunyikan.
Ia menggelengkan kepala, menyadari tingkahnya sendiri. "Astaga Ben, ngapain sih lo, alay banget! Sadar!"
Namun, suara hati yang lain ikut berbisik, membawa kebingungan. "Tapi, gue kan janji sama Mama Rayna buat bikin dia jatuh cinta sama gue... kok malah gue yang kayaknya... kesemsem sama dia?"
Ben mengacak rambutnya frustrasi. "Ah, ini bukan jatuh cinta, pasti cuma... gemas aja karena dipanggil 'gantengku'. Tapi, masa iya gue selemah itu cuma gara-gara satu panggilan?"
Menghela napas, pandangannya jatuh pada figura foto Ken yang sempat pecah. Ia mengambilnya, memegangnya sambil tersenyum miring.
"Hei, Ken. Untung aja lo udah mati, jadi yang ada di samping Rayna itu gue, bukan lo," candanya dingin, disusul tawa kecil penuh kemenangan. "Lo bisa dapetin semua kasih sayang Mama dan Papa, tapi nggak untuk Rayna. Haha!"
Ia meletakkan kembali figura itu. "Kayaknya gue mulai beruntung banget sejak kenal Rayna," ujarnya bangga, seolah kehadiran gadis itu adalah jimat keberhasilannya.
Ben memaksa diri duduk di meja belajar. Buku dibuka, pulpen di tangan, tapi kata-kata di depannya seperti coretan tak berarti.
"Kenapa sih lo, Rayna? Datang mulu di pikiran gue! Gak bisa fokus gue jadinya," gerutunya sambil menggaruk kepala.
"Apa gue telepon aja ya?" Ia ragu. "Ah, jangan! Dia pasti lagi belajar. Gue gak mau ganggu. Entar nilainya jelek lagi gara-gara gue."
Ia tersenyum geli. "Kalau gue sih santai, ngedip dikit juga langsung dapet nilai 100. Hahaha."
Ben mengetuk-ngetukkan pulpen di meja, berusaha keras membaca. Rayna. Rayna. Rayna. Nama itu terus berputar-putar.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan.
TRINGG TRINGG
Panggilan masuk. Rayna.
Seketika, senyum Ben merekah lebar, secepat kilat ia meraih ponselnya.
"Pucuk di cinta, ulam pun tiba," bisiknya penuh kemenangan. "Lo pasti kangen gue juga kan, Ray?"
Ben menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pelan. Cool. Harus kelihatan cool. "Cukup kecintaan itu, gue sendiri yang tahu," tekadnya dalam hati.
Ia menekan tombol terima. "Halo."
Di seberang, suara Rayna terdengar begitu lembut, begitu dekat. "Ben? Lo udah sampai rumah?"
Ben langsung tersentak, gugupnya tiba-tiba menyerang. Ia merasa seperti baru saja tertangkap basah.
Tuh kan! Dia perhatian sama gue! Dia pasti kangen!
"Eh, halo... Ben? Kok nggak jawab sih? Jangan bilang gue harus manggil lo dengan sebutan yang alay itu lagi?" goda Rayna, nadanya terdengar geli.
"Ehh, nggak kok! Emm... maaf, tadi sinyalnya putus-putus," Ben berbohong, berusaha mati-matian menutupi kegugupannya.
"Dih, bohong," balas Rayna santai, seolah tahu Ben sedang berpura-pura.
"Beneran kok! Kenapa? Ada apa?" tanya Ben cepat, mengalihkan pembicaraan, menyembunyikan letupan bahagia karena Rayna memperhatikannya.
"Besok... lo nggak usah jemput gue ya," kata Rayna, nadanya datar namun berhasil memancing rasa penasaran Ben.
Ih, apaan sih! Enak aja gue nggak jemput lo! batin Ben protes keras.
"Kenapa?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang sudah membayangi.
"Gue mau berangkat bareng Mama," jawab Rayna singkat.
Dih, apa-apaan sih, tiba-tiba bareng Mama.
"Oh, tumben. Kenapa?" Ben mendesak, harus tahu alasannya.
"Nggak apa-apa kok, pengen aja," jawab Rayna santai.
Enggak! Enggak! Pokoknya lo harus bareng gue! Lo nggak tahu apa, gue udah kangen banget ini!
"Nanti gue bilang nyokap lo, biar lo bareng gue aja," kata Ben, tak mau menyerah.
"Ehh, nggak gitu, ini gue yang mau kok," tolak Rayna halus.
Ihh, pokoknya lo harus bareng gue! Nggak mau tau!
"Oke deh kalau gitu," jawab Ben akhirnya, suaranya terdengar pasrah dan jelas ada nada kecewa di sana.
"Okayyy, kalau gitu udah ya teleponnya," Rayna hendak mengakhiri.
"Lo cuma mau ngomong itu?" tanya Ben, merasa tidak puas, seperti ada yang kurang.
"Iya," jawab Rayna singkat.
"Yakin?" Ben masih berharap ada hal lain yang ingin Rayna sampaikan.
"Iya, Ben, kenapa sih?" tanya Rayna, kini ada nada heran dalam suaranya.
"Nggak apa-apa, yaudah," jawab Ben, menyerah sepenuhnya, lalu menutup teleponnya.
Klik.
"Ih! Apa sih! Sebel banget! Ngapain sih lo, Rayna!" gerutu Ben kesal, wajahnya kembali cemberut, merasa bingung dan kecewa karena Rayna berhasil mengacak-acak perasaannya.
...***...
DISISI LAIN: RAYNA.
Rayna meletakkan ponselnya, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia baru saja menyelesaikan telepon singkat dengan Ben.
Ia berpaling ke arah Mamanya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil membaca majalah.
"Tuh kan, Ma. Ben tuh pasti nggak masalah aku bareng Mama," Rayna berkata, nadanya penuh keyakinan. "Boleh yaa aku ikut besok? Please..."
Mamanya melipat majalah di pangkuan, menatap Rayna dengan tatapan menggoda. "Kamu ini, Ray. Lagian kamu kan lagi ujian, lho."
"Iya, Ma, tapi nggak apa-apa kok! Aku pengen banget lihat kantornya, Ma," Rayna merengek manja, memasang ekspresi penuh harap.
Mama Rayna, pemilik dari Brand Madame R yang elegan, menghela napas sambil tersenyum.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
📌 PROFILE BRAND MADAME R
Pemilik: Wina Kalita Nathan (Mama Rayna)
Tagline: "Elegance in Every Skin."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Madame R ini didirikan berdua oleh Mama dan Papa Rayna, saat Mama Rayna masih pacaran dengan mantan suaminya dulu. Fokus awalnya adalah skincare premium untuk wanita Asia, dengan produksi dan warehouse utama di Bandung.
Setelah Ayah Rayna ketahuan selingkuh, semua bisnis jatuh ke tangan orang yang diselingkuhi alias Mama Rayna.
Kantor pemasaran dan salah satu flagship store utama baru saja dibuka di Jakarta. Saat masih tinggal di Praha, sebagian besar pekerjaan dilakukan jarak jauh.
Rayna memang sangat penasaran dengan kantor baru Mama yang baru dibuka di Jakarta. Katanya, letaknya sangat strategis, dekat dengan tempat tinggal mereka di Menteng.
Ia tahu dirinya tidak bisa ikut acara pembukaan resminya, karena besok ia harus sekolah. Tapi, melihat kantor itu saat perjalanan berangkat sekolah, meskipun hanya sekilas, sudah cukup baginya. Ia ingin melihat di mana letak markas besar yang menjadi simbol kebangkitan Mamanya.
"Ma, please ya. Aku cuma pengen liat aja kok," Ucap Rayna.
Mamanya tertawa kecil, menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya. "Ada-ada saja kamu ini. Ya sudah, Iya iya, nanti kita berangkat bareng. Tapi janji ya, sekarang fokus lagi ke bukumu. Belajar yang benar."
Wajah Rayna langsung berseri-seri. "Yeeaayy! Makasih, Ma!"
Rayna langsung memeluk dan mengecup pipi Mamanya. Perasaan gembira karena bisa ikut melihat kantor baru Mama, dan rasa senang karena berhasil membuat Ben sedikit penasaran bercampur jadi satu.
Ia kembali ke mejanya, kini dengan pikiran yang lebih lega. Besok, saat melewati kantor Mama, aku harus cepat-cepat foto.
Bersambung...