NovelToon NovelToon
Istri Kedua Untuk Tuan Duda

Istri Kedua Untuk Tuan Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Ibu Pengganti / Nikah Kontrak / Diam-Diam Cinta / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cerita Tina

Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.

Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.

Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.

Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.

Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.

Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan Pergi

Willie menoleh ke seluruh ruangan, pandangannya menyapu wajah-wajah yang sebagian besar asing baginya.

“Arga mana, Ma?” tanyanya.

“Adikmu masih sibuk mengurus perusahaan cabang di Kanada,” jawab Aina datar.

Aina melanjutkan, “Dia jadi sibuk sendiri karena kau tidak mau ambil alih perusahaan kita.”

Willie menghela napas, “Aku sedang tidak mau ribut, Ma,” balasnya singkat.

Sebelum suasana benar-benar menegang, Tisha refleks mengusap lengan Willie. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk menyadarkannya. “Tahan,” bisik Tisha pelan.

Pandangan Aina beralih pada Tisha, “Nak, ayo minum dulu. Cicipi juga makanannya, semua sudah disiapkan spesial untuk menyambut kalian.”

Anton ikut menimpali, “Willie, temani istrimu makan dulu. Biar Alia bersama kami.”

Willie menoleh dan tersenyum kecil ke arah Tisha. “Ayo,” katanya lembut. “Mau minum apa, sayang? Aku ambilkan.”

Mereka melangkah menuju meja prasmanan. Willie bergerak sigap mengambilkan segelas minuman, memilihkan makanan ringan. Ia meletakkan semuanya di piring Tisha, seolah sudah terbiasa.

Bahkan saat mengambil sepotong kue kecil, Willie tak ragu menyodorkannya langsung ke mulut Tisha. “Coba ini,” ucap Willie hendak menyuapi Tisha.

Tisha tertegun sejenak, lalu menurut. Detik itu juga dadanya terasa menghangat, ritme jantungnya mendadak berantakan. Kata-kata dan sikap Willie terlalu manis untuk sekadar akting.

Tisha menunduk, menyembunyikan wajah yang mulai merona, sementara di luar sana, beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka.

Setelah makan, beberapa orang mulai menghampiri mereka.

“Hai, Willie,” sapa seorang perempuan paruh baya yang ternyata adik kandung ibunya. Senyumnya tipis, matanya menyelidik.

“Apa kabar? Kami turut berduka cita atas kepergian istrimu,” lanjutnya dengan nada formal.

Willie mengangguk sopan. “Terima kasih,” jawabnya singkat, membalas berbasa-basi seperlunya.

Ia kemudian menoleh ke arah Tisha, tangannya refleks bertengger di punggung sang istri, gestur kecil namun jelas terlihat.

“Sayang, perkenalkan. Ini tanteku,” katanya sambil menunjuk perempuan itu. “Dan ini sepupuku, Viola.”

Tisha segera melangkah sedikit ke depan dengan senyum dan sikapnya yang tenang.

“Salam kenal, Tante. Kak,” ucapnya sopan sambil menyodorkan tangan satu persatu.

Sekilas terlihat keterkejutan di wajah mereka. Yang membuat mereka heran adalah ini pertama kalinya Willie membawa istrinya ke acara keluarga.

Beberapa pasang mata mulai saling melirik. Dulu, saat bersama Vira, Willie hampir tak pernah melakukan hal seperti ini.

Vira selalu berada di balik layar, tidak pernah dihadirkan, seolah ia hanya milik Willie sendiri. Willie kala itu lebih memilih menjaga, bahkan menyembunyikannya rapat-rapat dari keluarga.

Namun kini berbeda. Tisha berdiri di sisinya, diperkenalkan dengan jelas, bahkan digenggam tangannya tanpa ragu.

“Willie, pamanmu dan yang lainnya sudah berkumpul di atas,” ucap tantenya memberi tahu.

Willie mengangguk pelan. Langkahnya sudah terangkat hendak mengikuti arah tangga, namun ia ragu saat merasakan genggaman Tisha di lengannya menguat.

Ia menoleh. Tisha mencengkeram lengannya erat, jari-jarinya sedikit gemetar meski wajahnya tetap berusaha tenang.

Tatapan Tisha seolah menegaskan ia tidak ingin ditinggalkan sendirian di tengah sorot mata dan bisik-bisik keluarga besar Willie.

Willie terdiam sejenak. Ia paham. Tanpa berkata apa-apa, ia menepuk punggung tangan Tisha dengan lembut sebagai isyarat menenangkan.

“Nanti, saya menyusul,” ucap Willie akhirnya.

Tisha tersenyum kecil. Ada rasa lega yang tak ia sembunyikan. Mereka pun melanjutkan basa-basi dengan kerabat lain, tertawa ringan, bertukar kabar, seolah tak ada ketegangan sama sekali di baliknya.

Tak lama, seorang kerabat laki-laki Willie menghampiri. Nada suaranya akrab, bahunya menepuk bahu Willie.

“Ayo, kita ke atas. Yang lain sudah berkumpul,” serunya santai.

Willie refleks melirik Tisha, tatapan yang diam-diam meminta izin. Tisha mengerti itu. ia sadar telah menahannya cukup lama. Tisha akhirnya mengangguk pelan.

“Pergilah,” ucapnya.

Di sisi lain, Viola melirik ibunya. Sudut bibirnya terangkat, senyumnya miring, seakan penuh siasat.

Willie mulai melangkah, dan Tisha juga hendak melangkah ke arah lain. Ia berniat bergabung dengan mertuanya.

Tiba-tiba gaun bagian tumitnya tertahan. Kain itu tertarik dari belakang. Ternyata Viola diam-diam sengaja menginjaknya.

“Ah!” pekik Tisha spontan.

Tubuh Tisha oleng ke depan. Willie, yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama, seketika menoleh. Refleksnya memutar badan, tangannya meraih pinggang Tisha dan menariknya ke dalam dekapan Willie.

Untungnya, Tisha tidak sampai terjatuh.

“Sayang, Kau baik-baik saja?” tanya Willie.

Tisha mengangguk. Matanya sempat melirik tajam ke arah Viola, yang sedang cekikikan sambil berdiri di antara ibunya dan sepupu lainnya.

“Tidak apa-apa, sayang,” ucap Tisha akhirnya, nadanya ditenangkan dengan sengaja. “Naik saja ke atas.”

Willie menatapnya sesaat lebih lama, seolah ingin memastikan. Lalu ia mengangguk.

Willie kembali melangkah ke arah tangga. Ia tidak tahu, badai sesungguhnya baru saja dimulai di bawah.

Di belakang Tisha, tawa-tawa itu pecah. Mereka bersikap santai seolah tanpa rasa bersalah.

“Lagian mesra banget. Mentang-mentang pengantin baru,” dengus Viola sambil tersenyum mengejek.

“Aku heran, baru berapa bulan istrinya meninggal, Willie sudah nikah lagi. Gadis itu mau-maunya sama duda beranak,” sahut salah seorang sepupu lain.

“Dengar-dengar dia guru anaknya.”

“Namanya juga demi duit. Siapa sih yang tidak mau sama pengusaha,” timpal yang lain.

Kata-kata itu jatuh satu persatu, seperti batu. Tisha berbalik. Langkahnya tegas, matanya menatap lurus ke arah mereka.

“Sepertinya obrolannya seru sekali,” ujarnya dingin. “Berani sekali berbisik-bisik di belakang.”

Mereka terperangah. “Huuu…,” suara itu keluar serempak, diikuti cekikikan gugup.

“Berani juga, ya,” sela salah satu tante Willie, meremehkan.

“Ternyata selera Willie guru, ya,” lanjutnya tertawa. “Istri pertamanya guru SMA, sekarang guru TK.”

Aina hanya melihat dari kejauhan. Dari sudut pandangnya, Tisha tampak sedang berbincang akrab dengan para kerabatnya.

“Saya bangga menjadi seorang guru. Setidaknya saya tahu cara menghargai orang lain. Tidak seperti kalian." Lanjut Tisha.

Wajah-wajah itu memerah. “Berani sekali kau,” hardik salah satu dari mereka.

Tisha tertawa kecil namun meremehkan "Sekarang saya tahu mengapa suami saya tidak mau berkumpul dengan kerabatnya. Ternyata kalian memang tidak punya etika sama sekali." Sindir tisha.

“Merasa jadi Cinderella, hah?”

Tisha tertawa sinis. “Tingkah kalian seperti orang yang tak pernah sekolah.” balas Tisha enteng tapi tajam.

"Gadis rendahan sepertinya berani melawan kita, posisinya hanya sebagai ibu tiri tapi kepercayaan dirinya lebih dari konglomerat."

"Tenanglah, kita sedang berada di tempat mereka" sergah yg lain.

“Jadi ibu tiri saja sudah sombong,” timpal Tante Willie. “Dia tidak tahu kalau Kak Aina menikahkannya hanya untuk pelampiasan hasrat anaknya dan pengasuh cucunya secara cuma-cuma.”

Tawa mereka meledak. “Hahaha… miris sekali.”

Tangannya mengepal. Dadanya naik turun menahan amarah. Ia ingin menampar dan mencakar wajah-wajah yang merasa berkuasa itu. Tapi ia sadar, ini rumah mertuanya.

Ia berbalik menjauh. “Pengasuh gratis… pelampiasan… sialan,” gumamnya lirih. “Rasanya ingin kucakar muka hasil operasi itu satu-satu.”

1
Iqlima Al Jazira
next thor.. 👍
kopi untuk mu
Iqlima Al Jazira: sama-sama
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!