NovelToon NovelToon
Sisa-Sisa Peradaban

Sisa-Sisa Peradaban

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Misteri / Zombie / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Awanbulan

“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Berbelanja di Toko Buku dan Toko Serba Ada

"Yosh! Kita sudah sampai!!"

Aku menghabiskan dua hari terakhir hanya di rumah, menikmati waktu dengan menonton film dan drama. Terbatas pada drama sejarah, tentu saja.

Ya, drama sejarah memang luar biasa... terutama yang berlatar era klasik Indonesia. Entah kenapa, meski drama modern menggunakan kamera berteknologi tinggi hingga area gelap pun terlihat jelas, aku merasa ada yang hilang. Justru kegelapan pekat khas kamera film lama, saat cahaya dari bilah parang berkilat menembus bayangan, terasa jauh lebih menegangkan, seperti cerita pendekar di Benteng Pendem.

Mungkin aku memang penggila nostalgia, tapi yang bagus tetaplah bagus.

Setelah dua hari penuh hiburan itu, aku akhirnya melangkah ke kompleks toko buku terbesar di Banyuwangi, terletak di pinggir Jalan Adi Sucipto. Lantai pertama menjual buku umum, lantai kedua dipenuhi komik dan buku seni, sedangkan lantai ketiga menawarkan DVD dan Blu-ray. Tempat yang sempurna—apa pun yang kubutuhkan pasti ada di sini.

Ini memang toko favoritku, bahkan sebelum wabah zombi melanda.

Ada banyak hal yang membuat tempat ini menarik. Pertama, lokasinya besar dan berada di pinggiran kota. Mengingat wabah zombi kemungkinan besar dimulai pada siang hari di hari kerja, seharusnya tidak banyak pelanggan yang terjebak di sini. Kedua, produk yang dijual hanyalah buku dan media video—tidak ada bahan makanan ataupun kebutuhan hidup lainnya. Dengan begitu, prioritas para penyintas untuk menyerbu tempat ini seharusnya sangat rendah.

Lagipula, siapa yang akan mengabaikan makanan demi buku atau DVD?

Ya, kurasa tidak banyak orang yang menyukaiku dalam hal itu.

Sesuai dugaanku, aku bisa memarkir truk ringan di lahan parkir yang hampir kosong.

Tongkat bambuku masih bagus! Dan shuriken buatan sendiri yang kemarin kuselesaikan sambil menonton film—sempurna!

Oke, waktunya menyerang.

Ayo berangkat!

Oh ya, aku memutuskan untuk memasang dudukan shuriken itu di pergelangan tangan kiriku.

Aku melangkah masuk ke lantai pertama.

Listrik padam, membuat bagian dalam toko tampak redup meski di luar masih pagi. Seperti yang sudah kuduga, tidak ada tanda-tanda penjarahan di sini.

Dengan senter di tangan, aku menyorot rak-rak di sekelilingku. Sunyi. Tidak ada geraman, tidak ada langkah terseret—tidak ada zombi.

Bagus.

"Oke! Ayo mulai mencari!!"

Tanganku langsung bergerak menyisir deretan buku, hingga mataku berhenti pada satu judul yang membuatku berseru kecil:

“Parang Yogyo: Cahaya dan Bayangannya.”

Bahkan ada set DVD berjudul “Gerakan Gaya Yogyo.”

Aku terkekeh sendiri. Ini jackpot.

“Wah, luar biasa!” seruku, hampir tidak bisa menahan senyum. “Akhir-akhir ini aku memang lagi mode Yogyo, jadi buku ini cocok banget buatku!”

Lengkap dengan DVD pula. Mantap. Isinya benar-benar paket komplit. Jackpot kedua hari ini.

Tanganku terus bergerak, dan pandanganku berhenti pada sebuah judul lain.

“Tak Apa-apa Meski Tak Punya Pekerjaan! Panduan Lengkap Menyantap Gulma Liar yang Lezat.”

Aku mengerutkan dahi. “...Judulnya agak bermasalah, sih. Tapi, kalau dipikir-pikir, ini bisa berguna juga.”

Aku memasukkannya ke dalam tumpukan. “Bungkus saja, bungkus saja.”

Beberapa langkah kemudian, lagi-lagi aku berhenti.

“Panduan Lengkap Silat: Dari Jurus hingga Peralatan.”

Aku menatap sampulnya cukup lama. “Hmm... aku bosan. Kenapa nggak sekalian ambil kelas pendekar juga?”

Aku mengangkat bahu, lalu tersenyum. “Bungkus saja, bungkus saja.”

Rak demi rak mulai terasa seperti ladang harta karun.

Selain itu, aku juga menyelipkan beberapa novel yang menarik perhatianku. Siapa tahu nanti ada waktu luang di tengah kekacauan ini—bacaan tetaplah bacaan.

Setelah puas dengan lantai pertama, aku melangkah ke tangga dan tiba di lantai dua.

Deretan rak komik dan buku seni langsung menyambutku. Tapi kali ini aku tidak sedang butuh komik, jadi cukup kulirik sekilas.

Tetap saja, berjaga-jaga itu penting. Aku berjalan menyusuri lorong, menyalakan senter ke arah sudut-sudut gelap. Sunyi. Tidak ada bayangan bergerak, tidak ada suara geraman.

“Jernih,” gumamku pelan.

Tanpa pikir panjang, aku melangkah ke tangga berikutnya.

“Ayo naik.”

Lantai tiga.

Dalam arti tertentu, inilah acara utama.

Di hadapanku terbentang rak-rak tinggi, penuh sesak dengan DVD dan Blu-ray.

“Aaaaahhh!!!” teriakku dalam hati. “Sebuah harta karun!!!”

Rasanya seperti melihat Benteng Pendem dipenuhi harta karun di tepi Pantai Boom.

Tapi tidak, tidak boleh terburu-buru. Aku menarik napas panjang, berusaha menahan kegembiraanku. Senter kuterangi ke sekeliling, menyapu setiap sudut ruangan.

Sepi. Tidak ada gerakan. Tidak ada suara.

Bagus.

Aku mengepalkan tangan, tak mampu menahan senyum.

“Baiklah... waktunya panen!!”

Untuk saat ini, targetku jelas: semua film yang diadaptasi dari komik Indonesia.

Deretan kotak DVD memanggil-manggilku. Ada serial tentang pendekar super bertopeng, pahlawan legenda, bahkan petarung dari pulau terpencil.

Aku melongo sejenak. “...Kamu pasti bercanda. Sebanyak ini!?”

Hanya tumpukan itu saja sudah bisa memenuhi ranselku sampai meledak.

Tapi, ya sudah. Aku mengangguk kecil pada diriku sendiri. Tetap sesuai rencana awal. Bungkus saja, bungkus saja.

Selain itu, mataku otomatis mencari film-film yang sejak dulu ingin kutonton, tapi belum sempat. Atau yang sampulnya sekilas terlihat menarik. Insting kolektor di tengah kiamat.

Dan ternyata—wah—banyak sekali film aksi kelas B berjejer di rak. Poster lebay, judul bombastis, dan ekspresi aktor yang seperti dipaksa serius padahal kocak.

Aku nyengir. “Heh... siapa tahu malah seru.”

Satu demi satu, DVD itu masuk ke dalam tumpukan rampasanku.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Semua ini menyenangkan.

Aku tahu ada sebagian orang yang menyebut katalog perusahaan alat berat sebagai mahakarya seni modern, tapi begitu melihat tumpukan DVD segunung begini… jujur saja, itu agak bikin tertekan juga.

Aku mengalihkan langkah ke bagian film animasi. Ada beberapa judul yang langsung mencuri perhatian, jadi tanpa ragu aku ambil.

“…Eh? Bagian drama sejarah sekecil ini?” Aku mendengus pelan, sedikit kecewa. Tapi ya sudah, itulah arus zaman. Rak-rak penuh dengan hal-hal baru, dan aku tinggal memilih yang menarik, entah itu rilisan segar atau klasik lama.

Akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuatku tersenyum lebar: satu set kotak drama pendekar yang sudah lama kuincar, lengkap dengan jubah batik dan parang berkilat. Tanpa pikir panjang, aku masukkan juga.

Dan begitulah, ranselku kini padat merayap penuh seperti milik seorang pedagang keliling di Pasar Banyuwangi.

Untuk saat ini, sudah cukup. Panen besar selesai.

Sayang sekali aku tidak sempat menjelajah ke bagian film silat.

Tapi ya sudahlah, toh toko ini tidak akan hilang hari ini atau besok. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari sini. Aku bisa datang lagi kapan saja.

Dengan hati lega, aku menuruni tangga, kembali ke lantai pertama. Saat melangkah keluar, aku merasa jauh lebih bahagia daripada ketika masuk tadi—seolah seluruh isi rak DVD itu adalah pecel pincuk untuk jiwa.

Dalam perjalanan pulang, mataku menangkap sebuah toko serba ada di pinggir Jalan Kalilo.

“Hmm… mampir sebentar, ah.”

Aku pun membelokkan truk ke sana.

Aku mampir ke sana dengan tujuan sederhana: membeli rokok Gudang garam dan mencari beberapa batang cokelat—stok manis yang beberapa hari terakhir sudah kulahap habis-habisan.

Toko serba ada itu berdiri di pinggiran kota. Nama “Alfamart” jelas berasal dari konsep toko serba ada yang praktis. Dari luar, aku tak melihat tanda-tanda penjarahan.

“Oh? Apakah ini sukses?” gumamku sambil menyipitkan mata.

Aku meluangkan waktu sejenak untuk memeriksa keadaan sekitar. Menyapu pandangan ke kanan-kiri, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. Baru setelah itu aku membuka pintu perlahan.

Dan—wah—hebat sekali. Semua rak terlihat utuh, sama sekali tak tersentuh. Hanya bagian makanan segar dan kotak bento yang kosong, habis dipereteli lebih dulu. Sisanya rapi, menunggu untuk dipetik.

Jackpot kedua hari ini.

Ternyata ada banyak sekali rokok Gudang garam juga!

“…Kurasa alasannya karena mereknya kurang populer, ya.” Aku mengangkat bahu. Tidak masalah, toh asap tetap asap.

Ranselku sudah penuh sesak dengan hasil panen dari toko buku tadi, jadi aku memasukkan beberapa bungkus rokok ke saku rompi, lalu menggendong karton sebanyak yang bisa kubawa dengan tangan.

Lagipula, karena bukan merek favorit, kemungkinan besar tidak akan ada yang meributkan kalau aku mengangkut semuanya.

Aku kembali ke truk ringan, menaruh rokok-rokok itu dengan hati-hati, lalu masuk lagi ke dalam toko.

Mataku menangkap sesuatu yang tampak seperti bar cokelat di sudut rak. “Oh… ya, ada juga ternyata.”

Rak itu penuh dengan berbagai pilihan. Aku meraih beberapa batang cokelat dan menyelipkannya ke setiap kantong yang kupunya—tiga, empat jenis berbeda.

Tetap saja, begitu kulihat lagi, jumlahnya cukup besar. Aku jadi terlihat lebih seperti penyelundup rujak soto daripada penyintas.

Semua ini bisa jadi camilan untukku sendiri, dan juga oleh-oleh yang menyenangkan untuk Yuni dan yang lainnya di posko pengungsian.

Baru saja aku membayangkan wajah bahagia mereka…

Graaak.

Suara aneh terdengar dari arah halaman belakang.

Hampir bersamaan, hembusan angin menusuk telinga—sesuatu yang panjang melintas cepat di udara. Instingku langsung bereaksi; aku merunduk secepatnya.

Whuuush!

Sebuah tongkat kayu—aku bahkan tidak tahu namanya—melayang tepat di atas kepalaku. Sejenis alat yang biasanya dipakai untuk mengganjal atau menutup jendela.

Benda itu berputar di udara, lalu BRAK! menghantam pintu rak penuh cokelat, membuat kaca bergetar dan bunyi dentingan memenuhi ruangan.

Aku membeku sejenak. Apa-apaan itu barusan?

“Itu berbahaya! Syukurlah aku sempat menyadarinya!”

Masih dalam posisi tengkurap, aku segera menggeser tubuh, menyelinap ke bayangan rak terdekat.

Krakk!

Aku merasakan sesuatu pecah di dada—shuriken yang kusimpan di saku rompi hancur berkeping-keping akibat benturan tadi.

“Wah… sayang sekali,” gumamku, menahan napas.

Lalu, telingaku menangkap suara lain. Ada gerakan samar di sekitar kasir. Suara langkah. Berat dan teratur.

Aku menajamkan pendengaran. Dari arah halaman belakang… lebih dari satu.

Jumlah mereka banyak.

“Hei! Keluar! Kita bertiga! Kita nggak mungkin kalah!”

Suara itu menggema dari arah kasir—anehnya seperti dengan sopan memberitahuku posisi mereka.

Aku mengernyit. Jangan gampang percaya angka, bisa saja cuma gertakan.

Dengan hati-hati, aku melirik lewat celah rak. Dari balik bayangan, samar terlihat pola seragam yang khas.

“…Pegawai Alfamart?” Aku menelan ludah. Kalau benar begitu, berarti akulah pencurinya di sini.

“Maaf! Kupikir tidak ada orang di sini!” aku berseru terburu-buru, berusaha terdengar meyakinkan. “Aku akan kembalikan semua yang kuambil, jadi tolong jangan kasar padaku! Aku… bahkan bisa bayar kalau perlu!”

Sambil berkata begitu, sosok itu perlahan berdiri.

“Seperti yang kukatakan, kami bertiga,” ucapnya.

Dari balik bayangan, tiga orang muncul jelas di hadapanku—dua pria dan satu wanita. Semuanya mengenakan seragam Alfamart.

Kedua pria itu menggenggam pipa besi yang dililit kain, sementara si wanita berdiri sedikit di belakang, menatap tajam seolah siap melompat kapan saja.

Aku sempat tertegun. Jadi ini benar-benar pegawai Alfamart…? Rupanya mereka penjaga sejati.

Lelaki yang tampak paling tua melangkah maju, jelas terlihat aura sebagai pemimpin. Tatapannya menusuk, dan suara beratnya menggema di antara rak-rak.

“Itu belum cukup! Aku juga mau kau meninggalkan trukmu di luar!”

“Hah? Hei, hei, hei… apa itu nggak berlebihan? Aku kan sudah bilang akan mengembalikan semua yang kuambil.”

“Diam! Kalau nggak mau dibunuh, lakukan saja yang kami perintahkan! Serahkan kuncinya padaku!!”

Nada suara si pemimpin semakin tajam, membuat suasana menegang.

Aku menarik napas dalam. Jujur saja, kali ini memang salahku. Aku benar-benar ingin minta maaf dengan tulus… tapi tetap saja, aku tidak bisa menyerahkan trukku.

Truk itu nyawaku. Tanpanya, aku tidak akan bisa bergerak bebas, apalagi bertahan hidup di Banyuwangi yang kacau ini.

Tapi ada satu hal yang benar-benar tidak kumengerti. Kenapa sih semua orang mengincar truk ringan usangku? Masih banyak kendaraan lain di kota, yang jauh lebih bagus.

Aku mengangkat tangan perlahan, mencoba tetap tenang. “Maaf… tapi aku nggak bisa. Aku akan benar-benar kesulitan tanpa truk itu.”

“S-Siapa peduli!? Kau bisa ambil kuncinya dari mayat itu! Cepat!!”

Pria satunya yang wajahnya masih tampak muda, mungkin siswa SMA, berbicara dengan nada terburu-buru. Pada saat yang sama, ia mengangkat pipa besi di tangannya, siap diayunkan.

Aku mengangkat suara. “Hei, hentikan. Jangan coba menyerang. Aku akan melawan.”

Kalimat itu keluar begitu saja, berat tapi tegas.

Tidak bisa diabaikan. Situasi ini jelas berbeda—aku tidak berniat mati konyol hanya karena dirampok di Alfamart. Jika mereka memaksa, aku akan bertarung.

Aku menggenggam erat pegangan tongkat bambu di punggungku.

Apakah ini yang mereka sebut berani? pikirku, menahan napas.

“Diam!! Cukup!! Mati saja!!!”

Pemuda itu tampak benar-benar hilang kesabaran. Dengan wajah merah padam, ia meraung lalu menerjang ke arahku, pipa besi siap diayunkan.

Hei… apa orang-orang di Banyuwangi ini memang titik didihnya serendah sambal rujak? gumamku dalam hati. Sungguh tidak ada yang bisa kulakukan lagi.

Refleks mengambil alih. Tanganku menyambar shuriken dari dudukan di pergelangan. Dalam satu gerakan, aku melemparkannya lurus ke arahnya.

Syut!

Besi itu berputar secepat kilat dan—duk!—menancap dalam di paha kirinya.

Mata pemuda itu membelalak. Ujung logam yang sudah diasah di batu asah menusuk daging, meresap sampai ke tengah, membuat tubuhnya terhuyung dengan jeritan nyaring.

Bidikanku memang agak meleset, tapi tenaga lemparannya masih cukup kuat.

“Aduh!?!!”

Pemuda itu terhuyung, kehilangan keseimbangan. Tubuhnya menabrak rak majalah, membuat tumpukan terjungkal dan beterbangan ke lantai. Ia jatuh bersama suara brakk! keras, lalu kepalanya membentur sudut rak. Seketika tubuhnya terkulai, wajahnya melemas.

“Itu saja!!!”

Pria yang satunya langsung maju. Gerakannya cepat, mantap, penuh tenaga—jelas bukan orang sembarangan. Dari gaya tubuhnya, aku bisa langsung menebak: ini orang yang terbiasa kerja kasar, mungkin buruh pelabuhan di Pantai Boom.

Pipa besi di tangannya berkilat samar dalam cahaya redup, diayunkan dengan penuh niat mematahkan tulang.

Itu… berani.

Aku melirik sekilas ke arah pintu kaca, lalu berteriak keras.

“ZOMBIE!!!”

Refleks, lelaki itu menoleh ke luar. Hanya sepersekian detik, tapi itu cukup.

Dengan jentikan pergelangan tanganku, shuriken melesat. Syut! Besi itu menancap dalam di bahu kirinya.

“Guahh!” Lelaki itu terhuyung, wajahnya meringis menahan sakit.

Namun yang membuat bulu kudukku berdiri adalah matanya. Meskipun bahunya tertusuk, ia tetap menatap lurus ke arahku, tak mau melepaskan pandangan.

“A-apaaa?!” suaranya tercekat, lebih karena terkejut ketimbang rasa sakit.

Aku melangkah mendekati pria yang masih menjerit kesakitan, lalu memutar pinggangku.

Tah! Ujung sepatu botku menghantam perutnya dengan kekuatan penuh, seperti penari gandrung menghentak di Taman Blambangan. Tendangan itu menembus daging yang sudah kehilangan ketegangan karena rasa sakit.

“Guaaahhh!!!” jeritannya menggema, tubuhnya melipat dua sebelum terjatuh ke lantai. Cairan asam dari lambungnya menyembur keluar, mengotori lantai toko yang masih rapi tadi. Ia menggeliat, meronta seperti ikan yang baru ditarik dari Sungai Kalilo, tak berdaya selain meraung panjang.

“Hhh—aaahhh!!! Tolonggg!!!”

Suara tangisan itu bercampur dengan aroma muntah yang menyengat.

Wanita yang tersisa akhirnya terduduk di lantai. Tangannya gemetar menutup mulut, tubuhnya bergetar seperti boneka rusak. Matanya tak lagi menatapku sebagai sesama manusia—hanya ketakutan murni yang membuatnya tak sanggup berdiri.

Sepertinya kakinya sendiri sudah menyerah sebelum sempat ia berlari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!