Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Checkmate
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai kamar Xanara yang menjadi tempat Harvey dan Xanara menginap. Harvey duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh rencana.
“Aku nggak mau Rey merasa dia bisa seenaknya menguji kita,” katanya sambil melirik Xanara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi longgar.
Xanara tersenyum miring, mengeringkan rambutnya.
“Kalau kita mau membalas, kita harus main di level dia, tapi lebih elegan. Biar dia belajar, hubungan kita bukan mainan.”
Harvey berdiri, mendekat, lalu menyentuh dagunya dengan lembut.
“Aku punya ide. Malam ini ada gala dinner di hotel. Semua orang penting ada di sana termasuk Rey.” Ucap Harvey
Xanara menaikkan sebelah alis.
"Dan rencananya?” Tanya Xanara
“Kita datang berdua, terlihat mesra… tapi bukan mesra biasa. Aku mau semua orang di ruangan itu, termasuk Rey, tahu kalau kamu adalah wanitaku.” ucap Harvey.
Tatapannya tajam namun ada nada posesif yang membuat Xanara merasakan sensasi listrik di kulitnya.
.
.
Malamnya, keduanya tampil memukau. Harvey dengan setelan jas hitam yang terpotong sempurna, Xanara dengan gaun merah yang memeluk tubuhnya di semua tempat yang tepat. Ketika mereka memasuki ruangan, pembicaraan seakan mereda sejenak, semua mata tertuju pada mereka.
Rey yang tengah berbicara dengan beberapa rekan bisnis langsung menoleh, matanya menyipit sedikit.
Harvey, tanpa ragu, menggenggam tangan Xanara lalu mendaratkan ciuman singkat di bibirnya, cukup lama untuk menegaskan kepemilikan, tapi cukup singkat untuk tetap sopan di depan publik.
Percakapan Rey terhenti total. Ia menegakkan bahu, berusaha menyembunyikan reaksi yang jelas terbaca.
Harvey kemudian membawa Xanara berkeliling ruangan, memperkenalkannya sebagai 'wanita yang akan selalu di sisinya' kepada semua orang penting di acara itu.
Xanara memainkan perannya dengan sempurna, ramah, anggun, dan memancarkan kepercayaan diri yang menusuk ego siapa pun yang mencoba meremehkannya.
Dan ketika Rey akhirnya mencoba mendekat, Harvey hanya tersenyum tipis.
"Terima kasih, Rey, sudah mencoba menguji kami. Tapi sayangnya, ujian itu justru membuat kami semakin solid.” Ucap Harvey
Rey tidak menjawab. Senyum tipisnya terlihat seperti topeng yang retak. Xanara yang berada di sisi Harvey, merasakan kemenangan yang manis, balasan sempurna tanpa harus mengotori tangan mereka.
Winny yang berdiri di ujung ruangan, berusaha menutupi keterkejutannya dengan senyum tipis. Tapi matanya tajam, penuh amarah dan mengikuti setiap langkah Harvey dan Xanara.
Ia menggenggam gelas sampanye terlalu kuat sampai jemarinya memutih.
“Bereng-sek” desisnya pelan.
Semua skenarionya untuk membuat Harvey ragu terhadap Xanara hancur hanya dengan satu malam pamer kemesraan ini.
Harvey, yang sadar betul akan tatapan Winny, justru sengaja mempertebal aksinya. Ia melingkarkan lengan di pinggang Xanara dan membisikkan sesuatu di telinganya. Xanara tertawa kecil, kepala sedikit menunduk, tapi matanya sengaja melirik ke arah Winny membuat pesan itu semakin jelas jika merrka tak tergoyahkan.
Rey di sisi lain sudah seperti api yang padam terkena hujan deras. Ia memutar gelas anggurnya tanpa bicara, menyadari satu hal pahit, permainan yang ia rencanakan telah menjadi bumerang.
Ketika acara berakhir, Harvey dan Xanara berjalan menuju pintu keluar dengan langkah mantap. Sedangkan Winny yang tidak tahan lagi, mencoba menahan mereka.
“Harvey, kita perlu bicara,” ucap Winny dengan nada tegas, nyaris menuntut.
Harvey tidak memperlambat langkahnya.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Winny. Yang kemarin itu cukup jadi sejarah.”
Xanara menoleh sedikit, memberikan senyum manis namun menusuk.
"Selamat malam, Winny Semoga kamu menemukan apa pun yang kamu cari.”
Kalimat itu terdengar seperti salam perpisahan dan tantangan sekaligus. Winny terdiam di tempat, dadanya naik-turun menahan amarah.
Begitu mereka keluar dari ballroom, udara malam yang segar menyambut.
Harvey meraih tangan Xanara dan mengecup punggung tangannya.
“Permainan selesai. Sekarang, giliran kita menikmati kemenangan ini.”
“Kemenangan kita dan kekalahan mereka.” Ucap Canara dengan tersenyum penuh arti.
Malam itu, tanpa kata tambahan, mereka tahu bahwa posisi mereka sebagai pasangan sudah berada di level yang tidak bisa disentuh siapa pun.