Setelah kemenangannya melawan keluarga Ashcroft, Xander menyadari bahwa kejayaan hanyalah gerbang menuju badai yang lebih besar.
Musuh-musuh lama bangkit dengan kekuatan baru, sekutu berpotensi menjadi pengkhianat, dan ancaman dari masa lalu muncul lewat nama misterius: Evan Krest, prajurit rahasia dari negara Vistoria yang memegang kunci pelatihan paling mematikan.
Di saat Xander berlomba dengan waktu untuk memperkuat diri demi melindungi keluarganya, para musuh juga membentuk aliansi gelap. Caesar, pemimpin keluarga Graham, turun langsung ke medan pertempuran demi membalas kehinaan anaknya, Edward.
Di sisi lain, Ruby membawa rahasia yang bisa mengguncang keseimbangan dua dinasti.
Antara dendam, cinta, dan takdir pewaris… siapa yang benar-benar akan bertahan di puncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Sudah hampir sepuluh menit lamanya keheningan meruang di antara Darius dan Franco. Darius berusaha untuk membuka percakapan, tetapi Franco memilih menutup mulut rapat-rapat. Bahkan, tidak mau menatap Darius sekalipun.
"Usia kandungan Evelyn sudah menginjak tiga bulan sekarang, Ayah. Dalam waktu kurang dari enam bulan lagi, cucumu akan segera lahir. Aku benar-benar tidak sabar untuk menjadi seorang ayah,” ujar Darius, tersenyum hangat.
Franco masih diam, tak mengalihkan pandangan dari jeruji besi tempatnya tinggal selama ini. Ia senang mendengar keadaannya cucunya, tetapi hal itu tidak menutup rasa kecewanya pada Darius.
Darius menunduk sesaat. Semua keluarga Ashcroft mengabaikannya dan Evelyn setelah kejadian waktu itu. Ia berusaha sabar dan mengerti bahwa suatu saat keadaan akan kembali ke sediakala.
Darius mendapati Franco yang menjadi lebih kurus dibanding sebelumnya. Di satu sisi, ia merasa bahwa semua ini adalah salahnya, tetapi di hal lain, Franco, Fabian, dan Felix harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama ini. Apa yang dilakukannya semata-mata hanya untuk melindungi keluarganya dari bahaya besar.
Darius menyodorkan sebuah kotak makanan. "Ayah, Evelyn membuat makanan ini untukmu. Kau harus memakannya."
Darius mendorong kursi ke belakang, berdiri. "Aku akan mengunjungimu akhir pekan nanti, Ayah. Aku harap kau selalu sehat.”
Darius menatap Franco sebelum akhirnya pergi, mengembus napas panjang. Saat akan keluar dari kantor polisi, ia berpapasan dengan Dalton. "Dalton, apa kau datang untuk...."
Dalton mengabaikan Darius begitu saja, berjalan terburu-buru menuju tempat Darius baru saja keluar. Ia melirik sekilas, berdecak dengan tatapan tak suka. "Dasar pengkhianat."
Darius terdiam saat mendengar ucapan Darius barusan. Ia sudah berkali-kali mendengar ucapan yang sama, bukan hanya dari Darius, tetapi juga keluarganya yang lain.
Dalton mengawasi Darius, kembali berjalan setelah pria itu benar-benar pergi. Setelah meelwati pemeriksaan, ia datang ke ruangan Franco. "Ayah, bagaimana kabarmu?"
Franco yang baru saja bangkit dari kursi kembali duduk, tersenyum. Setiap kali melihat Dalton, rasa bersalahnya kembali muncul. Selama ini ia terlalu fokus pada Darius hingga mengabaikan Dalton. Ia berharap sangat besar pada Darius sampai akhirnya merasakan sakitnya dikhianati. Pada akhirnya, sosok yang berada di sisinya hanya Dalton.
"Ibu membawakanmu makanan kesukaanmu." Darius duduk di kursi, membuka kotak makan, mempersiapkan untuk Franco.
Franco menikmati makanan dengan lahap, tersenyum sepanjang menghabiskan makanan. Ia melirik makanan pemberian Darius, memilih mengabaikan hal itu.
Dalton tanpa pikir panjang langsung membuang kotak makan yang dibawa Darius. Ia menatap Franco selama beberapa waktu, mempersiapkan minuman.
Dalton mengamati keadaan sesaat, menggeser letak duduk lebih dekat, menunggu hingga Franco selesai menikmati hidangan. "Ayah, apa kau sudah menyiapkan jawaban soal tawaranku saat itu?"
Franco terbatuk beberapa kali, segera mengambil minuman, meneguknya hingga habis. Ia terdiam sesaat di mana tatapannya seolah menerawang ke masa depan.
Dalton kembali mendekatkan kursi, mencondongkan setengah tubuh ke depan. "Akhir-akhir ini penjagaan pasukan Alexander mulai mengendur. Selain itu, aku juga tidak melihat Alexander berkunjung ke rumah kakek. Ada kemungkinan Alexander sedang pergi ke suatu tempat dalam waktu cukup lama."
Franco masih diam, menunduk.
"Jasper mencurigai jika sebenarnya Alexander sudah menikah dan kemungkinan istrinya sudah mengandung anaknya sekarang. Kecurigaan itu terbukti dengan Alexander yang terkesan santai meski usianya sudah menginjak tiga puluh tahun. Alexander sengaja merahasiakan pernikahannya untuk berjaga-jaga. Selain itu, ada juga kemungkinan jika cairan berbahaya yang ayah masukkan ke tubuh Alexander saat itu adalah cairan palsu mengingat bisa saja ada mata-mata yang disusupkan Alexander dan Sebastian."
Franco semakin menunduk, memejamkan mata beberapa saat. Ia melihat kepalan tangannya menguat di atas paha. Sebagian dirinya masih ingin membalas dendam, sebagian yang lain merasa jika hal itu adalah tindakan yang sia-sia.
"Ayah, aku baru mengetahui jika Theo Lennox tewas dalam ledakan bom setelah pertempuran di kediaman Alexander tempo hari."
Franco seketika terkejut, menegakkan punggung.
"Saat ini, Theron Lennox yang memimpin kelompok pembunuh bayaran keluarga Lennox. Menurut kabar yang kudengar, Edward, Troy Lennox yang merupakan putra dari Theo Lennox, dan Tyler Lennox yang merupakan putra dari Theron Lennox membentuk sebuah aliansi untuk membalaskan dendam pada Alexander dan Sebastian. Saat ini, mereka sedang berlatih dengan seseorang. Aku, Jasper dan beberapa anggota keluarga yang lain berniat untuk bergabung dengan aliansi tersebut."
Dalton mengawasi keadaan sekeliling. "Ini adalah kesempatan yang bagus untuk kita membalaskan dendam kita, Ayah. Meski harus menunggu waktu cukup lama, tapi itu bukan masalah besar selama dendam kita terbalaskan. Bagaimana menurutmu, Ayah? Apa kau setuju dengan rencana itu?"
Franco masih terdiam, menimbang. "Dalton, aku minta maaf karena selama ini aku mengabaikanmu. Sebagai seorang ayah, aku merasa sangat bersalah. Meski begitu, kau tetap berada di sisiku walau keadaanku sangat terpuruk sekarang. Anda waktu bisa diulang, aku akan ... aku benar-benar minta maaf.”
"Ayah," gumam Dalton.
"Dalton, seperti yang kau lihat, aku tidak memiliki apapun lagi. Tapi sebagai seorang ayah, aku mengakui kesungguhan dan semangatmu yang besar untuk mengembalikan nama baik keluarga kita. Mulai saat ini, aku menyerahkan semuanya padamu."
"Ayah." Dalton tersenyum.
"Kau menyerahkan kepemimpinan padaku?"
Franco mengangguk.
"Berjanjilah untuk melindungi ibumu, Darius, dan calon keponakanmu, Dalton. Aku percaya padamu.”
Senyum Dalton dengan cepat pudar ketika mendengar nama Darius disebut. "Ayah, aku akan melindungi ibu dan mungkin calon keponakanku, tapi aku tidak bisa melindungi Darius seperti yang kau minta. Darius bukan lagi kakakku setelah dia mengkhianatimu dan keluarga kita. Aku menganggapnya sebagai orang asing yang kebetulan memiliki darah yang sama di tubuh kami. Jika Darius bisa menyakiti kita, aku juga bisa melakukan hal serupa padanya."
"Dalton." Franco hendak menggapai tangan Dalton, tetap Dalton lebih dahulu menariknya. Ia melihat kesungguhan dari mata putra keduanya itu.
"Aku pergi, Ayah. Aku akan kembali dalam waktu dekat." Dalton membereskan kembali kotak makanan, bergegas pergi.
Franco melihat kepergian Dalton dalam diam, memejamkan mata erat-erat. "Apa semua ini hukuman untukku? Aku mengkhianati ayah, dan sebagai balasannya Darius juga mengkhianatiku. Ayah melihatku, Fabian, dan Felix bermusuhan dengan Sebastian dan mendiang Samuel, dan sekarang aku harus menyaksikan Darius dan Dalton bermusuhan."
Dalton keluar dari kantor polisi.
"Kau sudah selesai, Dalton?" tanya Jasper yang datang mendekat.
Dalton dan Jasper memasuki mobil yang sama. Kendaraan melaju ke rumah Ruby
"Jadi, bagaimana keputusan ayahmu, Dalton?" Jasper melirik keadaan jalan raya sesaat.
"Ayahku menyerahkan semuanya padaku." Dalton tersenyum.
"Ayahku juga mengatakan hal yang sama, begitupun dengan paman Fabian. Dengan ini, kita bisa melakukan rencana selanjutnya. Tapi sebelum itu kita harus memberi tahu Ruby mengenai hal ini."
Mobil menepi di kediaman Ruby beberapa menit kemudian. Dalton dan Jasper memasuki rumah setelah melalui pemeriksaan. Rumah tampak sepi.
Dalton dan Jasper pergi ke belakang rumah. Keduanya menemukan Ruby tengah duduk di kursi taman dengan satu tangan memegang perut.
Ruby menatap air mancur dengan tatapan kosong. Hidupnya dihantui oleh ketakutan jika seandainya suaminya, Ezra, tahu kalau ia mengandung anak dari pria lain. "Kalau saja ayah tidak kalah, mungkin keadaan tidak akan berakhir seperti ini. Hidupku terus dihantui ketakutan setiap hari. Setiap kali aku melihat Ezra, aku merasa bersalah padanya, terlebih dia dan keluarganya memperlakukanku dengan sangat baik."
Ruby menghembus napas panjang, menutup wajah dengan kedua tangan. "Sialan! Seharusnya aku tidak termakan rayuan Edward sampai aku harus mengandung anaknya sekarang. Jika tidak, hidupku akan baik-baik saja sekarang.”
"Ruby, apa yang baru saja kau katakan?" tanya Dalton dengan ekspresi terkejut.
"Dalton." Ruby seketika bangkit dari kursi, sama-sama berbagi keterkejutan. "Da-Dalton? Jasper? Sejak kapan kalian-"
"Ruby, apa kau sedang mengandung anak Edward?" Dalton mengulang pertanyaannya.
#✌️✌️✌️
cepat² di up nya min
#makan2