Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Setelah kemarin nangis bombay, sekarang kita akan senyum-senyum sendiri 🤭
**
**
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Alina akhirnya mengantongi izin pulang ke rumah.
Kondisi fisiknya stabil, ia membaik dalam beberapa hari ini.
Selama ia dirawat, tidak pernah satu malam pun Brayn meninggalkannya.
Ia menjaga istrinya seperti permata yang berharga. Bahkan Alina tidak diizinkan turun dari tempat tidur tanpa diawasi.
Berlebihan memang.
Sambutan hangat dari keluarga melengkapi kebahagiaan Alina malam itu.
Mereka membuat makan malam keluarga yang hangat untuk menyambutnya.
"Lain kali kalau sakit harus cerita ke suami, jangan dipendam sendiri," ucap Zahra sambil menyerahkan sebuah hadiah kecil.
"Insyaallah. Terima kasih, Zahra."
"Sama-sama, Kakak iparku. Cepat sehat, dan kasih Mama sama Papa cucu yang banyak." Zahra terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu.
"Kamu saja dulu, Dek! Kan kamu yang nikah duluan. Masa diserobot," sahut Brayn, sambil menuangkan secangkir teh untuk istrinya.
"Takut anaknya diambil Papa," gurau Raka tertawa.
"Gak ada akhlak menantu satu ini." Pak Vino ikut tertawa.
"Oh jadi itu alasan kamu menunda punya anak?" sudut mata Bu Resha memicing.
"Salah satunya ya itu, Ma. Nanti setiap punya anak diambil Papa lagi anaknya."
"Ya bikin lagi!" sahut Pak Vino.
Tawa menggema di ruangan itu. Alina melirik suaminya dengan pipi merona, terlebih saat Brayn memberinya isyarat dengan kedipan mata.
Selepas makan malam, seluruh keluarga masih berkumpul di ruang keluarga.
Brayn membawa Alina ke kamar sebab Alina tampak sedikit lelah dan mengantuk.
"Oh iya, aku sudah siapkan rumah untuk kita tinggal nanti. Semuanya sudah lengkap, kita tinggal masuk saja," papar Brayn saat telah berdua di kamar.
Ia menunjukkan gambar sebuah rumah minimalis yang nyaman. Ada taman, kolam renang mini, dan kebun buah kecil.
"Rumahnya bagus sekali. Ini pasti mahal."
"Tidaklah, standar untuk ukuran dokter seperti aku. Maaf ya, aku tidak bisa kasih rumah mewah. Rumah sederhana saja, yang penting kamu nyaman."
"Terima kasih, Kak."
"Duh, sama suami sendiri panggil Kakak. Mana romantis?"
"Terus panggil apa?"
"Sayang kek, Mas, Ayang, Pipi ...."
Pipi Alina semakin memerah. Ia menunduk.
"Malu, Kak."
"Ya Allah, Alina Putri Khoirunnisa binti Om Bro." Ia bangkit dan meletakkan ponsel ke meja setelah mengetikkan pesan. Mengacak rambut istrinya, lalu kemudian membuka pakaian dan menyambar handuk. "Mau mandi dulu, mau ikut?"
"Tidak," sahut Alina menggeleng.
Ketika Brayn masuk ke kamar mandi, Alina mulai merapikan tempat tidur.
Mengatur bantal dan mengganti pakaian dengan piyama.
Perhatiannya kemudian teralihkan pada ponsel milik sang suami yang sejak tadi terus berbunyi.
Ia mendekat, menatap layar yang menyala.
Grup whatsapp yang hanya diisi tiga orang itu terasa ramai. Pipi Alina langsung merah membaca pesan teratas.
"Ada yang malam pertama nih!" Rafa.
"Diam!" -Brayn.
"Butuh tutorial, tidak, Bro? Takut abang iparku kesasar." -Raka.
"Kasih lah, kan kamu yang paling senior di sini." -Rafa, disertai emoji tertawa.
"Tapi yang sudah punya hasil kan kamu, Bro!" Raka membalas.
"Dan hasilnya sedang marah." Ia mengirim foto Mia yang sedang manyun. Duduk di sofa ruang keluarga membelakangi suaminya. "Anakku sepertinya perempuan deh. Ibunya ngambekan."
"Ayo, Bro. Jangan mau kalah sama Rafa. Apa perlu minuman penambah stamina?" - Raka
"Tidak usah minum apa-apa. Tidak minum saja dia pasti garang kalau di kasur." -Rafa dengan emoji tertawa.
"Jangan kenceng-kenceng, Bro! Kasian anak perawan." -Raka.
Merah sudah pipi Alina.
Ternyata seabsurd ini obrolan suami-suami kalem jika sedang berkumpul.
"Ya ampun, pembasahannya." Alina menggelengkan kepala setelah membaca obrolan di salah satu grup whatsapp suaminya.
Kemudian melirik ke kamar mandi dan melihat pintu yang masih tertutup.
Suara gemercik air menandai bahwa suaminya itu masih lama di dalam sana.
Alina agak penasaran dengan kehidupan suaminya selama ini.
Seperti apa lingkup pertemanannya selain dengan Rafa dan Raka.
Maka, ia membuka lagi ponsel dan memeriksa pesan masuk. Melihat siapa saja sering berinteraksi dengan suaminya.
Adakah wanita selain Siska yang mengharapkannya?
Namun, setelah memeriksa deretan pesan, tidak ada hal mencurigakan. Bahkan Brayn tidak memiliki akun media sosial.
Ketika mendengar suara gemercik air terhenti, Alina segera meletakkan ponsel.
Merapikan rambut dan segera berdiri ke dekat jendela.
Brayn hanya mengenakan handuk sebatas lutut yang menutupi area pribadinya.
Terlihat lebih segar dengan rambut basah, belum lagi aroma wangi dari tubuhnya yang menguar.
Obrolan di grup whatsapp lagi-lagi berputar di ingatan dan membuatnya tiba-tiba gugup.
Melihat reaksi Alina, Brayn spontan mendekat.
Keningnya berkerut saat melihat Alina malah mundur ke belakang hingga punggungnya menempel pada jendela kamar.
"Kenapa? Kamu sakit?"
"Tidak."
"Terus kenapa mukanya agak merah?" tanyanya sambil menyentuh kening. "Aku pikir kamu demam."
Napas Alina semakin tertahan di tenggorokan.
Melihat dada bidang dan postur tubuh yang kekar membuatnya gugup setengah mati.
"Sini!" tangan Brayn mengulur memintanya mendekat.
"Mau apa?" ia refleks bertanya tanpa sadar.
"Mau ajak kamu tidur."
Bibir mungil Alina terbuka lebar. Tidak menyangka bahwa Brayn Hadiwijaya yang biasanya tenang itu, kini terasa lebih frontal. Mengajak tidur tanpa basa-basi.
"Sekarang?"
"Iya, ini kan sudah malam. Kamu masih dalam tahap pemulihan, tidak boleh begadang."
Ketika Brayn menggiring istrinya ke tempat tidur, Alina semakin gugup.
Terlebih saat lelaki itu membaringkan dan membalutkan selimut ke tubuhnya. Lalu, duduk di tepi tempat tidur dan memandangnya. Tersenyum penuh cinta.
"Tenang, aku tidak akan makan kamu sekarang," guraunya seolah mampu menebak pikiran istrinya.
Rona merah di pipi Alina tampak semakin jelas.
Sayang, ia tak memiliki apapun untuk menutupinya. Karena kedua tangannya kini digenggam suaminya dengan erat.
"Kamu baru keluar dari rumah sakit sore ini. Belum boleh beraktivitas berat. Kegiatan itu memang dilakukan di tempat tidur, tapi untuk itu butuh stamina yang kuat."
Ia tersenyum, membungkuk mendekatkan wajah mereka hingga ujung hidung saling bertemu.
Alina bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan napas suaminya.
"Nanti saja kalau kamu sudah pulih. Aku masih bisa tahan, kok." Tangannya mengulur membelai rambut, lagi-lagi Alina terbuai menikmati kelembutan yang dicurahkan padanya. "Tapi, kalau kamu sudah pulih, harus siap-siap setiap malam."
Kelopak mata Alina membulat, kedua tangannya refleks menutup wajah.
Melihat tingkah istrinya, Brayn menahan senyum.
Alina yang biasanya percaya diri dan terkesan pemberani itu ternyata memiliki sisi pemalu kalau sudah berdua di kamar.
Padahal Brayn sengaja menggoda hanya untuk melihat reaksinya.
"Baru juga pemanasan, belum keluar aslinya," gurau Brayn terkekeh.
"Memang yang aslinya seperti apa, Kak?"
"Yang asli ada gambar badaknya."
Tepukan keras mendarat di dada laki-laki itu.
************
************
up lagi thor