⛔: Ini hanya fiksi, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kejadian, itu hanyalah kejadian yang tidak disengaja.
Wilona percaya ia memiliki segalanya—cinta, rumah tangga yang hangat, dan suami yang setia. Tapi semua runtuh saat seorang wanita datang membawa kenyataan pahit: ia bukan satu-satunya istri. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu telah memberinya sesuatu yang tak bisa Wilona berikan—seorang anak.
Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, Wilona harus memilih: terpuruk dalam luka, atau berdiri dan merebut kembali hidupnya.
"Ketika cinta tak cukup untuk setia… akan kau pilih bertahan atau pergi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaeonni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Tiga hari telah berlalu. Meski luka-lukanya masih terasa nyeri, Wilona merasa kondisinya sudah cukup membaik. Ia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan pulang menggunakan taksi.
Karin sebenarnya ingin mengantarnya pulang, namun dengan halus Wilona menolak niat baik itu. Ia merasa tak enak hati terus-menerus merepotkan perempuan yang selama ini begitu peduli padanya. Selama Wilona dirawat, Karin tak pernah absen datang, bahkan sering datang sendiri tanpa ditemani Radit yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
Kini, perempuan itu tinggal di sebuah apartemen yang dibelinya dua tahun lalu, tempat yang dulu hanya ia anggap sebagai investasi iseng. Saat itu, Wilona ikut-ikutan Vania yang baru saja dibelikan apartemen oleh Arga. Bedanya, Wilona tak berani meminta hal serupa pada Aryan. Meski ia tahu jika meminta, pasti Aryan akan membelikannya.
Diam-diam, ia menyisihkan uang bulanan yang diberi Aryan, lalu membeli apartemen ini tanpa sepengetahuan suaminya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa tempat yang dulu ia beli karena iseng, kini menjadi satu-satunya tempat berlindung.
Tempat ini... kini benar-benar menjadi rumahnya.
Apartemen yang kini ditinggali Wilona bukanlah tipe apartemen mewah nan menjulang tinggi yang biasa ditempati para sosialita atau kalangan atas.
Unit yang ia tempati berada di lantai tiga dari sebuah gedung lima lantai yang sederhana namun terawat. Apartemen itu hanya memiliki dua kamar tidur, dua kamar mandi dimasing-masing kamar dan satu didapur, ruang tamu yang menyatu dengan dapur kecil bergaya open space, serta balkon mungil yang menghadap taman kecil di halaman belakang gedung.
Desain interiornya bergaya minimalis modern, dengan dominasi warna netral seperti putih, abu-abu lembut, dan sentuhan kayu terang. Meski tidak banyak perabotan, penataan yang rapi dan fungsional membuat ruang-ruangnya terasa lapang dan nyaman. Sofa dua dudukan berwarna krem diletakkan menghadap televisi datar yang menempel di dinding. Di sudut ruangan, sebuah rak buku kecil memuat beberapa novel dan majalah desain busana.
Dapur mungilnya tampak bersih, dengan kabinet kayu sederhana dan perlengkapan memasak yang tertata rapi. Satu-satunya tanaman hijau di ruang tamu, sebuah monstera dalam pot putih, menjadi elemen hidup yang mempermanis suasana.
Di kamar tidur, ranjang queen size dengan seprai abu-abu polos berada di tengah ruangan. Dinding sebelah ranjang dihiasi dengan bingkai-bingkai foto kecil berisi momen masa lalu, foto orangtuanya, dan satu-satunya foto bersama sang kakak. Sebuah meja rias sederhana dengan cermin bundar berdiri di samping lemari pakaian yang tidak terlalu besar, cukup untuk menampung pakaian dan beberapa rak sepatu dan tas.
Bukan tempat tinggal mewah seperti rumah Aryan, tapi bagi Wilona, apartemen ini terasa jauh lebih seperti "rumah".
Tidak salah kan? Jika Apartemen ini ia beli dari uang pemberian pria itu. Aryan memang pria yang royal untuk urusan keuangan. Beberapa barang berharga juga ia bawa, enak saja, jika tidak ia bawa pasti akan diembat oleh Amanda.
Wanita itu duduk termenung di balkon apartemennya, secangkir coklat panas menjadi temannya. Ingatannya kembali pada kejadian dirumah sakit kemarin malam.
Wilona yang baru saja selesai menyantap makan malamnya, tengah membereskan nampan makanan ketika suara pintu diketuk ringan, lalu terbuka perlahan. Ia menoleh, mengira perawat yang datang untuk memeriksa kondisinya. Namun, seketika tubuhnya menegang dan jantungnya berdegup kencang saat dua sosok melangkah masuk ke ruang rawatnya.
Langkah mereka tenang namun berwibawa, Danu datang dengan Sinta, sekertaris pria itu.
Udara di dalam ruangan seakan menegang. Tatapan Wilona langsung tertuju pada pria paruh baya itu, sosok yang selama ini lebih banyak diam namun penuh pengaruh. Ia menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun rasa tidak nyaman langsung menyergapnya.
"Selamat malam, Wilona. Bagaimana keadaanmu?" ujar Danu dengan nada tegas namun terdengar datar. Pria itu berdiri tegak di kaki ranjang, menatap Wilona tanpa ekspresi yang bisa ditebak. "Maaf, Papa baru bisa menjenguk mu hari ini."
Wilona berusaha tersenyum kecil, walau senyum itu tidak benar-benar sampai ke matanya. "Terima kasih sudah datang, Om… Tante," ujarnya pelan. Ia tak lagi memanggil Danu dengan sebutan "Papa" seperti dulu. Baginya, hubungan itu akan segera berakhir, dan ia merasa tak berhak lagi menyematkan sapaan penuh kedekatan.
Sinta tersenyum dan meletakkan buah yang ia bawa, lalu pergi duduk di sofa, membiarkan Wilona dan Danu berbicara serius.
Danu menatap Sinta sesaat, lalu kembali menatap Wilona. "Papa tidak akan banyak tanya soal apa yang terjadi. Radit sudah menceritakan semuanya."
"Papa minta maaf, Wilona… atas semua kesalahan yang telah Aryan lakukan padamu," ucap Danu dengan suara yang lebih berat dari biasanya. Matanya menatap Wilona datar.
"Seharusnya, sebagai kepala keluarga… Papa bisa lebih tegas. Papa bisa menghentikan semuanya sejak awal, bisa melarang Mama Aryan mencampuri kehidupan rumah tangga kalian… tapi papa terlalu acuh."
"Sekarang, Papa hanya berharap kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Papa akan membantumu lepas dari Aryan dan menjamin Aryan tidak akan menggangu mu lagi dimasa depan."
Suara Danu tetap tenang, nyaris tanpa intonasi, seolah kalimat itu hanyalah bagian dari kewajibannya sebagai kepala keluarga, bukan karena kepedulian. Tidak ada tatapan lembut atau raut bersalah di wajah pria paruh baya itu, hanya sorot mata datar yang sulit ditebak, seperti sedang bernegosiasi dengan mitra bisnis, bukan berbicara pada mantan menantunya yang baru saja mengalami trauma.
Wilona menunduk. Ia mendengar setiap kata itu, tapi tidak tahu harus merasa lega atau justru semakin asing. Pria yang duduk di hadapannya ini adalah ayah dari orang yang menghancurkan hidupnya, dan meski ucapan barusan terdengar seperti bentuk perlindungan, tidak ada kehangatan yang menyertainya. Hanya janji kosong yang menggantung di udara, dingin dan tajam seperti malam itu.
"Perceraian ini akan selesai dengan mudah di tanganku. Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat baik-baik, jangan pernah coba-coba melibatkan polisi. Kita cukup selesaikan ini secara diam-diam. Tenang saja, Papa akan memberikan kompensasi yang layak… dan jumlahnya tidak sedikit.”
Nada suaranya terdengar seperti instruksi, bukan nasihat. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Papa Danu memandang Wilona dengan tatapan datar, seolah masalah ini hanya satu dari sekian banyak urusan yang harus ia bereskan, dan ia ingin semuanya selesai tanpa menimbulkan riak di permukaan. Baginya, harga diri keluarga jauh lebih penting daripada keadilan bagi seorang perempuan yang terluka.
Danu tidak menunjukkan niat untuk tinggal lebih lama. Setelah mengatakan kalimat itu, ia melirik jam tangannya sejenak, lalu kembali menatap Wilona. "Kamu tidak perlu datang ke pengadilan, cukup duduk manis biar semuanya saya yang urus."
Tanpa menunggu respon dari Wilona, ia segera pamit. "Kalau begitu, Papa pergi dulu."
Lalu pria itu bangkit, merapikan jasnya, dan berjalan keluar diikuti oleh Sinta yang sejak tadi duduk manis mendengarkan.
Wilona menyeruput coklat panas yang kini hampir dingin. Mengingat itu semua membuat ia lega, lega karena sebentar lagi semuanya akan selesai. Ia akan benar-benar bebas dari Aryan, tanpa harus kembali menatap wajah pria yang telah menghancurkannya. Tapi meski begitu, ucapan mantan mertuanya tadi masih menempel jelas di pikirannya, memuakan.
"Bagi orang kaya, nama baik lebih berharga dari kebenaran... bahkan lebih dari nyawa orang lain," gumam Wilona dengan tersenyum getir.
BERSAMBUNG.....
Wes to gae duso seng okeh bar iku garek entuk karmane.
ko lek wes miskin po knek penyakit br tau rasa.
bagus bagus biar tmbh hancur nnti.
dah bner si anak dpt wanita baik hidup tertata mlh di hancurkan.
Sekarang balik lagi Aryan suka mabuk dan free sex. sakit kau nnti Amanda kl tau Aryan bgitu 🤣