Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 25 Rasa syukur
Pagi itu aku terbangun dalam keheningan yang hangat. Sinar matahari belum terlalu tinggi, tapi cukup untuk menyelinap pelan dan memberitahuku, bahwa aku masih hidup.
Udara masih sejuk, dan tubuhku terasa lebih ringan dari biasanya. Aku memejamkan mata sejenak sebelum benar-benar bangkit, lalu menatap langit-langit kamar dan menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa bersyukur lagi. Bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena aku masih bertahan sampai di titik ini. Aku masih hidup. Aku masih diberi napas oleh Sang Pencipta, dan itu bukan hal kecil. Aku masih punya tubuh untuk digerakkan, hati untuk merasa, pikiran untuk berdoa, dan harapan kecil yang perlahan mulai tumbuh kembali. Tidak semua orang bangun pagi ini dengan utuh, tapi aku diberi kesempatan itu. Dan untuk itu saja, aku sudah merasa cukup. Terima kasih, Tuhan. Untuk semua luka yang membuatku belajar, untuk semua kehilangan yang membuatku menemukan kembali diriku sendiri. Hari ini, aku tidak ingin marah pada masa lalu, tidak ingin menyesali apa pun. Aku hanya ingin bersyukur, karena aku masih di sini, dan aku masih punya kesempatan untuk mencintai hidupku lagi.
Aku melangkah pelan menuju halaman rumah. Udara pagi masih segar, seperti belum tercemar polusi apapun. Embun yang menempel di ujung daun masih bertahan, seolah enggan menguap. Langkahku terhenti di depan sebatang mawar yang tumbuh di sudut taman kecil rumah nenek. Warnanya merah muda, mekar dengan anggun, seolah tahu bahwa kehadirannya sedang diperhatikan.
Aku duduk perlahan, mendekatkan wajahku pada kelopaknya yang lembut. Harumnya samar, tapi cukup untuk membuatku memejamkan mata sejenak. Bunga itu tumbuh tanpa suara, tanpa keluhan, walaupun tumbuh di sudut yang sepi, tapi tetap indah.
Aku menyentuh daunnya dengan ujung jari, lalu tersenyum tipis. Rasanya seperti melihat refleksi diriku sendiri. Luka yang pernah aku simpan perlahan sembuh, seperti duri di batangnya yang tak menghalangi bunga itu untuk tetap mekar.
Mawar itu tidak bertanya kenapa hujan datang. Tidak mengeluh saat matahari terlalu terik. Ia hanya terus bertumbuh, dan aku ingin belajar darinya. Bahwa mungkin, aku tidak perlu tahu kapan hidup akan berubah menjadi lebih baik. Aku hanya perlu bertahan. Karena seperti bunga ini, aku juga bisa kembali mekar, meski tumbuh dari tanah yang pernah retak.
Pagi itu, aku juga melihat, Kupu-kupu cantik perlahan mendekat. Sayapnya berkilau tertimpa cahaya pagi, menari pelan di antara bunga-bunga. Ia tidak tergesa. Ia hanya melayang lembut, seolah tahu bahwa kedatangannya sedang ditunggu. Aku terpaku memandangi geraknya yang begitu tenang, begitu bebas. Dan entah mengapa, hatiku seperti ditarik menuju seseorang yang jauh di sana. Pulau jauh. Pria yang membuatku tersenyum tanpa sebab. Mungkinkah ini pertanda? Mungkinkah semesta sedang berbisik bahwa ia juga sedang memikirkanku, di antara hutan, langit, dan suara alam liar yang menenangkannya?
Kupu-kupu itu hinggap sebentar di kelopak mawar, lalu terbang lagi. Tapi ia meninggalkan rasa… rasa rindu yang tiba-tiba menghangatkan dada. Aku tersenyum kecil. Mungkin bukan hanya aku yang sedang menanti. Mungkin, ada seseorang di tempat jauh sana yang juga sedang diam-diam berharap kita segera bertemu kembali.
Pagi itu datang dengan sederhana. Udara masih sejuk, langit bersih, dan semuanya terasa berjalan dalam diam yang damai. Aku masih berdiri di halaman rumah, menatap bunga mawar yang mulai mekar. Tidak ada yang istimewa, tapi entah mengapa hatiku sangatlah tenang.
Aku tidak sedang bahagia sepenuhnya, tapi aku juga tidak merasa kehilangan arah. Di dalam sunyi pagi itu, aku sadar, aku baik-baik saja.
Maarten selalu berada dalam pikiranku, bahkan tanpa harus aku panggil namanya. Entah mengapa, setiap kali pagi datang dan cahaya perlahan menyelinap ke kamarku, pikiranku langsung terbang padanya. Bayangannya lebih sejuk dari udara pagi yang menyentuh kulit, lebih hangat dari sinar matahari yang menembus tirai. Dia seperti kehadiran yang tak terlihat, tapi terasa. Ada rindu yang tak menyakitkan, hanya menenangkan. Mungkin karena dia datang di waktu yang tak kuduga, dengan cara yang begitu lembut, membuatku lupa rasanya takut. Bukan karena dia sempurna, tapi karena dia tidak pernah memaksaku untuk menjadi siapa-siapa selain diriku sendiri. Dan saat aku berdiri di halaman rumah, melihat bunga yang mekar, mendengar daun yang bergoyang pelan, semua itu mengingatkanku padanya. Pada caranya tertawa, pada cara dia menatapku seperti aku satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Mungkin dia sedang jauh, mungkin sinyal di tempatnya tidak baik. Tapi aku tahu, dalam diam pun, semesta masih membisikkan namanya ke dadaku.
Menurutku, ada dua jenis cinta di dunia ini.
Pertama, cinta yang datang dengan gemuruh. ia datang dengan tiba-tiba, penuh kejutan, membuat jantung berdebar seperti badai yang menyerbu tanpa aba-aba. Cinta seperti ini biasanya memabukkan, membakar, dan cepat menyala… Namun sering kali juga cepat padam. Ia membuat kita terbang, lalu menjatuhkan kita tanpa peringatan.
Lalu ada cinta yang kedua. Cinta yang datang perlahan, tanpa suara, tanpa janji, tapi terasa hangat seperti matahari pagi. Ia tumbuh diam-diam, mengakar kuat, dan membuatmu merasa tenang bahkan di tengah kekacauan. Cinta seperti ini tidak selalu penuh kata-kata, tapi ia menunjukkan dirinya dalam hal-hal sederhana. Dalam tatapan mata yang jujur, dalam genggaman tangan yang tidak pernah ingin melepas, dalam pelukan yang tidak butuh alasan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa mengenal cinta yang kedua.
Cinta yang membuatku merasa aman. Cinta yang tidak menjanjikan langit, tapi bersedia berjalan bersamaku di bumi.
Aku tak tahu bagaimana akhir dari cerita ini nanti. Aku juga tidak tahu apakah cinta yang seperti ini akan tinggal selamanya atau hanya mampir untuk mengajarkan sesuatu?
Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku mulai memahami bahwa cinta sejati bukan soal seberapa sering seseorang berkata "aku cinta kamu", tapi seberapa sering dia hadir di saat kamu membutuhkannya, tanpa diminta.
Cinta yang tidak terburu-buru mengikat, tapi sabar menemani. Dan dalam setiap detik bersamanya, aku merasa lebih menjadi diriku sendiri. Tidak lagi berusaha keras untuk disukai, tidak lagi merasa harus menjadi sempurna. Karena cinta yang kedua ini, tidak menuntut apa-apa. Ia hanya datang, duduk diam di sampingku, dan tetap tinggal, meski aku pernah patah, meski aku belum sepenuhnya pulih.
Tapi Maarten membawa kedamaian dihidupku...