Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Libur sekolah datang tanpa banyak peringatan. Setelah semua yang terjadi tenda misterius, suara dari jurang, hingga potongan-potongan masa lalu yang makin mengerikan Kirana merasa mereka semua butuh jeda. Sesuatu yang ringan. Sesuatu yang bisa disebut “liburan”.
“Aku dapat vila murah dari kenalan Papa, lokasinya di atas bukit, jauh dari pemukiman,” kata Kezia saat mereka berkumpul di taman belakang sekolah.
“Jauh dari sinyal juga gak?” tanya Radit sambil menggenggam HP-nya dengan penuh cemas.
“Justru itu poin utamanya. Biar kita gak sibuk scroll sosmed, tapi fokus istirahat,” jawab Diriya.
“Aku oke asal gak ada tenda muncul mendadak,” sahut Jalu
Mereka tertawa. Tapi Kirana tidak. Ia hanya tersenyum tipis.
Senyum yang menyembunyikan firasat.
---
Perjalanan menuju vila butuh dua jam dengan mobil. Jalanan menanjak dan sepi, hanya diapit pohon pinus menjulang tinggi.
Setibanya di lokasi, mata mereka langsung disuguhi pemandangan menakjubkan. Vila itu berdiri megah dengan arsitektur kuno, batu bata ekspos dan jendela-jendela besar. Di halaman belakang terbentang danau kecil berair tenang, dikelilingi kabut tipis.
“Waaah... ini kayak vila di film luar negeri,” seru Nila sambil melompat keluar dari mobil.
“Terlalu damai,” gumam Kirana, pelan.
---
Sore harinya.
Mereka duduk di teras, menyesap teh panas, sambil menikmati pemandangan kabut turun perlahan.
“Kalian sadar gak?” tanya Jalu. “Sejak kita sampai tadi, gak ada suara burung, jangkrik, atau hewan lain.”
Radit memutar tubuhnya. “Benar juga ya... padahal kita di alam bebas.”
“Cuma suara air dan angin,” bisik Kezia.
Kirana berdiri dari duduknya, menatap danau. Ia merasa seperti sedang diperhatikan.
Samar-samar, di balik pepohonan seberang danau, ia melihat seorang wanita bergaun putih berdiri diam, tubuhnya kaku, wajahnya tidak terlihat.
Sekejap kemudian, kabut menutup semuanya.
---
Malam tiba.
Mereka menempati tiga kamar:
Kirana, Kezia dan Nila, Diriya sekamar.
Radit dan Jalu di kamar sebelah.
Satu kamar kosong dibiarkan tertutup karena tidak diperlukan.
Namun... malam itu, sekitar pukul 02.30, suara kursi berderit terdengar dari bawah.
“Denger itu?” bisik Kezia dari ranjangnya.
“Aku pikir itu mimpi,” jawab Nila pelan.
Kirana sudah duduk sejak tadi, tak bisa tidur.
“Aku mau turun.” ujar Kirana
“Gila, Kirana! Kamu gila!” Diriya setengah berbisik.
Tapi Kirana sudah melangkah keluar kamar dengan senter kecil. Ia menuruni tangga kayu dengan langkah pelan.
Dan di ruang tamu, ia melihatnya.
Kursi goyang itu bergerak sendiri.
Di atasnya duduk wanita berambut panjang, mengenakan gaun tidur lawas, seperti sisa dari masa lalu.
Kirana tidak takut. Ia mendekat, menatap langsung ke arah wajah sosok itu yang ternyata tidak punya mata.
Hanya dua rongga hitam gelap yang menganga di wajah pucat itu.
---
“Kenapa kamu datang ke rumahku?” Suara itu terdengar jelas, langsung di dalam kepala Kirana. Sosok wanita itu tidak membuka mulutnya, tapi kata-katanya berdentum seperti dentingan lonceng rusak.
“Aku... hanya menginap. Kami tidak bermaksud mengganggu.” jawab Kirana
“Pergi sebelum malam keempat.” ujar sosok itu
Kirana mengedipkan mata. Dan sosok itu hilang. Kursi pun berhenti bergoyang.
---
Pagi harinya.
Radit mengeluh. “Semalam ada yang lari-lari di loteng atas kamar. Aku kira itu Jalu. Ternyata Jalu tidur sambil ngorok.”
“Aku denger suara perempuan nyanyi,” timpal Diriya.
Kezia dan Nila juga bercerita hal yang sama suara derap langkah di luar kamar, dan ketukan pelan dari kamar kosong yang terkunci.
Mereka semua saling pandang.
“Ini... bukan liburan healing, kan?” tanya Nila lirih.
Kirana hanya menjawab satu kalimat. “Malam keempat kita harus pergi.”
---
Mereka memutuskan untuk menelusuri vila.
Kezia menemukan loteng kecil yang diakses dari ruang makan. Tangga kayunya tua, dan berdebu.
Mereka naik satu per satu.
Di atas loteng, mereka menemukan kamar anak-anak. Ada ranjang kecil, boneka tua, dan lukisan seorang gadis kecil bernama "Anissa" tertulis di bawahnya.
Tapi yang lebih mengejutkan dinding belakang penuh coretan.
Tulisan-tulisan samar, menumpuk, seperti ditulis oleh banyak tangan kecil.
“Mama di bawah dan tidak pernah tidur.”
“Jangan buka kamar nomor tiga.”
“Anissa ingin main, tapi Mama marah.”
“Kami semua tinggal di sini sekarang.”
Semua bergidik.
Radit berbisik, “Kita di vila... atau penampungan arwah?”
---
Malam ketiga.
Kabut lebih tebal dari malam sebelumnya. Danau seakan menelan cahaya bulan. Vila terasa lebih dingin, walau api unggun menyala.
Kirana berdiri di beranda.
Di seberang danau... Anissa muncul.
Gadis kecil bergaun putih itu menatap Kirana, lalu menunjuk ke arah belakang vila.
Tanpa sadar, Kirana berjalan ke belakang. Mengikuti instingnya. Ia menemukan sumur tua yang hampir tersembunyi di balik semak.
Ia mendekat.
Dan dari dalam sumur, terdengar suara... “Mama marah...”
Tiba-tiba sumur itu bergetar pelan. Uap dingin merambat keluar.
Kirana mundur cepat. “Kita harus pergi malam ini juga.”
---
Tapi saat mereka semua bersiap pulang...
Mobil tidak bisa dinyalakan. Aki mati.
Semua panik.
“Bagaimana bisa? Kita baru pakai kemarin!” kata Jalu sambil memeriksa mesin.
“Aku telepon sopir sewaan... gak ada sinyal,” kata Kezia frustasi.
“Mereka tidak mau kita pergi,” ucap Kirana pelan.
Diriya menelan ludah. “Mereka siapa?”
Kirana menatap ke arah kamar kosong yang sejak awal tidak pernah dibuka.
"Mereka yang tinggal sebelum kita. Dan tidak pernah pulang."
Kabut semakin tebal.
Udara menggigil hingga menembus ke tulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.47 dini hari.
Di dalam vila, suasana tak lebih hangat dari luar. Api di perapian mulai melemah, dan tubuh-tubuh remaja itu berkumpul di ruang tengah, saling menatap penuh waspada.
“Ini malam keempat,” gumam Kirana. “Mereka bilang jangan bertahan sampai malam keempat.”
“Siapa mereka?” desak Radit yang sejak tadi mondar-mandir, gelisah.
Kirana menatap Radit dengan mata dalam, lalu menjawab perlahan.
“Anissa. Lia. Dan yang satunya... dia belum memperkenalkan diri. Tapi aku yakin, dia yang mengikat semua arwah di sini.”
Semua terdiam. Bahkan suara detak jam tua pun terdengar menggema seperti palu godam di kepala mereka.
---
Tiba-tiba…
Tok... tok... tok...
Suara ketukan itu datang dari kamar nomor tiga kamar kosong yang sejak awal tidak pernah dibuka.
Semua menoleh bersamaan.
“Siapa yang mengetuk?” tanya Kezia dengan suara gemetar.
Radit memegang bahu Jalu. “Bukan kamu kan?”
Jalu geleng cepat. “Aku duduk di sini dari tadi, Bro!”
Tok... tok... tok...
Kirana berdiri.
Dengan langkah pelan namun mantap, ia berjalan menuju kamar tersebut. Tangannya terulur, menyentuh gagang pintu kuno dari besi hitam yang berembun.
“Aku buka.” ujar Kirana pelan
“Kirana, jangan!” seru Diriya. “Bukannya jelas-jelas sudah ada peringatan—”
KLEK!
Pintu itu terbuka pelan.
---
Dalam kamar itu... kosong.
Tidak ada perabot, hanya lantai kayu kusam dan jendela kecil dengan tirai robek. Tapi udara di dalam kamar sangat dingin, hampir seperti ruangan beku.
Lalu perlahan, noda merah mulai muncul di dinding. Membentuk tulisan yang meleleh perlahan.
“Mama marah karena kami ingin keluar.”
“Mama bilang, kalian harus ikut tinggal.”
“Mama sudah memilih Kirana.”
Kirana menelan ludah. Tiba-tiba, jendela tertutup sendiri dan pintu kamar menutup keras di belakangnya.
BRUUUKKKk!
“Kiranaa!” teriak Kezia dari luar.
bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏