Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Nara memeluk Devan erat-erat, air matanya membasahi kemeja Devan. Rasa syukur yang mendalam memenuhi hatinya. “Devan, kamu sudah kembali,” bisiknya, suaranya masih bergetar karena sisa-sisa ketakutan.
Devan membalas pelukan Nara, tetapi kepalanya dipenuhi pertanyaan. Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Melihat keadaan Nara—pakaiannya yang terbuka, tatapan matanya yang masih dipenuhi ketakutan—Devan merasakan firasat buruk. Sesuatu yang sangat salah telah terjadi.
“Apa aku menyakitimu, Nara? Apa aku … aku sudah membuatmu takut?” tanya Devan dengan lembut, jari-jarinya mengusap rambut Nara dengan penuh perhatian. Ia berusaha mencari jawaban, mencari kepastian.
Nara melepaskan pelukannya sedikit, menatap wajah Devan di tengah cahaya remang yang menyinari ruangan. Wajah Devan terlihat pucat, menunjukkan kelelahan dan kebingungan. Ia mengerti, Devan benar-benar tidak mengingat apa pun.
“Ayo kita pulang, Dev. Kamu perlu istirahat,” kata Nara, suaranya masih terdengar sedikit gemetar, tetapi di dalamnya ada tekad untuk melindungi Devan dari beban yang mungkin akan segera ia ketahui.
Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen mereka, Devan duduk di samping Nara yang menyetir. Pikirannya masih dipenuhi oleh kabut, mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia sama sekali tidak memiliki memori tentang Bara, membuatnya kesulitan memahami situasi.
Hanya kilasan-kilasan samar yang muncul: sebuah tangan yang memegang sesuatu yang lembut … suara isak tangis yang menyayat hati … sentuhan dingin dan kasar yang membuatnya merinding … dan rasa marah yang membara, seakan-akan ada api yang menyala di dalam dirinya. Semua terasa seperti mimpi buruk yang sulit diingat, fragmen-fragmen yang tak terhubung.
“Dev, kamu baik-baik saja?” Nara bertanya dengan khawatir, suaranya lembut.
Gadis itu memperhatikan Devan yang hanya diam, melambung dalam lamunan. Ia takut, takut jika Devan akan kembali berubah menjadi Bara.
Devan menoleh, memandang Nara yang saat ini mengenakan jas hitamnya sebagai penutup pakaiannya yang rusak. Ia menghela napas panjang, rasa bersalah yang dalam memenuhi dadanya. “Aku … aku nggak apa-apa. Aku berusaha mengingatnya. Sepertinya … sepertinya aku sudah menyakitimu, Nara!”
Nara akhirnya memarkirkan mobil di basement. Ia tersenyum, mencoba menyembunyikan ketakutannya. “Itu bukan kamu, Dev. Kamu mungkin kerasukan sesuatu … atau bagaimana, aku juga nggak tahu. Tapi yang jelas, aku percaya, kamu nggak akan pernah menyakitiku.” Ia keluar dari mobil dan menghampiri Devan.
Devan juga keluar dari mobil dan memeluk Nara erat-erat. Ia membutuhkan kekuatan Nara, kehangatannya, untuk menghilangkan rasa bersalah yang menghantuinya. “Maaf, Nara. Nggak seharusnya aku begini. Nggak seharusnya kamu melihatku seperti ini,” bisiknya, suaranya bergetar. Ia takut kehilangan Nara.
Nara membalas pelukan Devan, mengusap punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan.
“Dev, aku rasa kita harus ke rumah sakit. Kita perlu tahu apa yang terjadi sama kamu,” kata Nara, suaranya terdengar serius.
Devan menggeleng cepat, matanya menunjukkan penolakan yang kuat. “Nggak, Nara. Aku nggak mau punya kelemahan. Aku masih harus melakukan sesuatu, dan aku nggak mau kelemahanku dimanfaatkan oleh musuh-musuhku.”
Nara menatap Devan dengan bingung. Ia mengerti kekhawatiran Devan, tetapi ia juga khawatir jika masalah ini dibiarkan begitu saja. Ia tidak bisa memaksa Devan, semuanya harus dari kesadaran pria itu sendiri.
Dalam perjalanan menuju lift apartemen mereka, Nara merangkul lengan Devan. Suasana terasa lebih tenang dibandingkan sebelumnya, tetapi ketegangan masih terasa.
Di dalam lift yang sempit dan sunyi, Devan bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu-ragu. “Nara … apa kamu akan meninggalkanku jika aku … jika aku punya kelemahan?”
Nara tersenyum, senyum yang berusaha mengembang lebar untuk menunjukkan rasa percaya dirinya. Namun, di balik senyum itu, Devan bisa merasakan sedikit keraguan. Ia tahu, pertanyaan Devan menyentuh luka lama Nara.
“Nggak. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu masih memperlakukan aku dengan baik,” jawab Nara, suaranya terdengar mantap. Ia ingin meyakinkan Devan, juga meyakinkan dirinya sendiri. “Dev, aku tahu rasanya ditinggalkan dan dikhianati. Jadi, aku nggak akan melakukan hal yang sama pada orang lain, apalagi padamu.”
**
Nara menyiapkan makan malam sederhana untuk Devan, menggunakan bahan-bahan yang tersedia. Ia menyiapkan hidangannya dengan hati-hati, menunggu Devan keluar dari kamar. Namun, Devan tak kunjung muncul. Kecemasan mulai menggelayuti hati Nara.
Dia memutuskan untuk menyusul Devan ke kamar mandi, takut terjadi sesuatu yang buruk. Beberapa kali ia memanggil nama Devan, tetapi tidak ada jawaban. Untunglah pintu kamar mandi tidak terkunci, memudahkan Nara untuk masuk.
Di dalam kamar mandi, Nara menemukan Devan tertidur di dalam bathtub yang penuh dengan air hangat. Tubuhnya terendam sebagian, terlihat pucat di bawah cahaya lampu kamar mandi.
Nara mendekat dengan hati-hati, membangunkan Devan dengan lembut. “Dev, bangun. Kita belum makan malam.”
Devan membuka matanya perlahan, melihat wajah Nara yang cemas. Ia duduk, mengusap lembut wajah Nara yang menunduk. “Kenapa wajahmu cemas begini? Aku baik-baik saja, Nara.”
Namun, fokus Nara justru tertuju pada tubuh Devan yang terlihat begitu putih, bahkan lebih putih dari kulitnya sendiri. Tubuhnya yang berotot dan basah karena air mandi membuat Nara sulit mengalihkan pandangan.
“Aku … aku pikir … aku pikir kamu ketiduran,” ujar Nara, suaranya hampir tak terdengar. Ia buru-buru memalingkan wajah, mengambil handuk dan memberikannya pada Devan. “Cepat pakai handuknya, dan ganti baju. Aku sudah lapar.”
Devan menatap Nara yang masih berdiri di sana, mengawasi dirinya. Ia merasa gugup, ingin segera mengganti pakaian, tetapi Nara tak kunjung pergi.
“Kenapa kamu masih di sini? Kamu mau lihat apa?” tanya Devan, suaranya sedikit curiga.
Tatapan Nara masih tertuju pada air bercampur sabun yang menutupi bagian bawah tubuh Devan. “Memangnya nggak boleh lihat? Bukankah kita suami istri? Lagipula … malam itu, aku sama sekali nggak ingat bentuknya.” Ucapan terakhir Nara keluar dengan sedikit terbata, mengungkapkan keraguan dan rasa penasaran yang masih membebani hatinya.
***
Yang jelas bentuknya nggak kotak, Nara ☺️☺️ Jangan lupa like komennya, yg gak komen boleh like aja. Makin banyak komen sama like, makin rajin aku nambah bab 🤭🤭
tenang aja..aku nggak bakal ngintip kok.. cuma mantau dari jauh aja 🫣🫣🤣🤣🤣✌️✌️