NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Keesokan harinya, saat jam hampir menunjukkan pukul sebelas siang, ponsel Amira bergetar di meja dapur.

Nama "Arif" terpampang di layar.

Dengan cepat, Amira mengangkatnya.

"Halo, Mas?"

“Amira, aku mau kasih kabar," suara Arif terdengar di seberang, lembut. "Tadi Livia nelpon, katanya sekalian lewat sekolah Maira. Dia tawarkan buat jemput Maira pulang."

Amira terdiam sejenak. Ada rasa tak nyaman menggelitik dadanya, tapi ia menepisnya.

"Oh... baiklah," jawab Amira akhirnya, berusaha terdengar biasa.

"Dia sudah aku kasih izin. Aku juga bilang supaya langsung antar Maira pulang ke rumah. Nanti kalau Maira sudah sampai, kabari aku, ya," kata Arif.

"Iya, Mas. Hati-hati kerjaannya."

Setelah menutup telepon, Amira menatap jendela dapur. Perasaan aneh itu tetap mengendap, tak mau pergi.

Siang itu, Livia sudah berdiri di depan gerbang sekolah Maira, mengenakan kacamata hitam besar dan gaun santai berwarna pastel.

Begitu melihat Maira keluar bersama teman-temannya, Livia melambaikan tangan.

"Maira sayang! Di sini!" panggilnya ceria.

Maira yang melihatnya langsung berlari kecil.

“Tante Livia jemput?" tanyanya polos.

"Iya dong. Yuk, kita pulang," kata Livia sambil menggandeng tangan mungil itu ke mobilnya.

Dalam perjalanan, suasana di dalam mobil terasa nyaman. Musik anak-anak mengalun pelan dari radio.

Livia menyetir dengan tenang, sementara Maira sibuk memeluk boneka kecil yang baru ia dapat dari sekolah.

Saat itulah Livia mulai menebar racunnya, dengan suara penuh perhatian:

"Maira... sebentar lagi kamu punya adik, ya?"

Maira mengangguk, wajahnya berseri.

"Iya! Mama bilang adik kecil di perut Bunda."

Livia tersenyum, senyuman yang hanya setengah tulus.

"Kamu tahu nggak, kadang-kadang... kalau sudah punya adik, papa sama mama bisa berubah," katanya, pura-pura lirih.

"Bisa saja mereka nanti lebih sibuk ngurus adik, terus... lupa sama Maira."

Maira mengerutkan kening kecilnya.

"Nggak mungkin... mamakan sayang Maira," katanya pelan.

Livia menghela napas berat, pura-pura prihatin.

"Iya, sayang... tapi adik itu butuh banyak perhatian, lho. Bunda harus gendong, kasih susu, nyanyiin lagu.

Nanti papa Maira juga sibuk bantuin Mama.

Kalau Maira mau main... mungkin Papa dan Mama sudah terlalu sibuk buat dengar."

Suara Maira mulai mengecil.

"Maira tetap disayang, kan?"

Livia berpura-pura berpikir, lalu meraih tangan kecil itu dan mengelusnya.

"Tante Livia selalu sayang Maira," katanya, suaranya seolah membisikkan janji.

"Kalau nanti Maira sedih... cerita aja ke Tante ya. Tante janji akan selalu ada buat kamu."

Maira hanya diam.

Hatinya mulai terasa aneh — perasaan asing yang belum pernah ia kenal: takut, cemas... seolah sebentar lagi dunia kecilnya akan berubah, dan ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Di belakang kemudi, Livia tersenyum tipis.

Satu langkah lagi dalam rencananya berjalan dengan sempurna.

Mobil terus melaju perlahan di jalanan desa yang sepi.

Maira duduk diam di jok belakang, memeluk bonekanya erat-erat.

Kata-kata Livia tadi terus berputar-putar di kepalanya.

Tentang adik kecil yang akan mengambil semua perhatian Mamanya.

Tentang Papa yang mungkin tidak akan punya waktu lagi untuk menggendong atau membacakan dongeng.

Hati kecil Maira terasa berat. Ada rasa takut, ada rasa cemburu yang belum bisa ia mengerti sepenuhnya.

Akhirnya, dengan suara pelan, hampir seperti berbisik, Maira bertanya:

"Tante Livia…”

Suara kecilnya bergetar.

Livia melirik lewat kaca spion, menahan senyum penuh kemenangan.

"Iya, sayang?" sahutnya lembut.

Maira menggigit bibir bawahnya, ragu. Lalu, dengan mata berkaca-kaca, ia berkata:

"Kalau... kalau Maira nggak mau punya adik... Maira harus gimana?"

Seketika, Livia menahan napas.

Ia tidak menyangka anak sekecil itu akan bertanya seputus asa itu.

Tapi di balik keterkejutannya, Livia tahu... ini adalah peluang emas.

Livia mengatur ekspresi wajahnya, berusaha terlihat prihatin.

"Sayang..." katanya lirih. "Vivi ngerti kok. Kadang, kalau adik kecil datang, memang semua jadi berubah."

Maira menunduk, mengusap bonekanya.

"Papa sama Mama…tetap sayang aku, kan?" tanyanya lagi, suaranya nyaris tak terdengar.

"Ya... mungkin tetap sayang, tapi... nggak sebanyak dulu," kata Livia, pura-pura jujur.

"Kalau mau, kamu harus pintar cari perhatian. Harus selalu jadi anak yang paling Papa dan Mama lihat. Kalau enggak... ya, nanti mereka sibuk sama adikmu."

Maira mengepalkan tangannya kecil-kecil.

Ada ketakutan yang menggerogoti hatinya — takut dilupakan, takut tidak disayang lagi.

"Aku... aku harus gimana supaya adiknya nggak jadi lahir?" gumamnya lirih.

Livia menahan senyum puas, tapi ia tetap menjaga suaranya penuh belas kasihan.

"Tante nggak tahu, sayang. Adik kecil itu sudah ada di perut Mama.Tapi kalau Maira sedih... Maira bisa tunjukin ke Mama kalau kamu nggak mau punya adik."

"Maksudnya?"

"Ya... Maira bisa marah. Bisa diem aja. Bisa bilang sama mama kalau kamu nggak suka ada adik.

Biar mama tahu, Maira juga butuh perhatian."

Maira terdiam.

Ia tidak mengerti semua, tapi ia tahu satu hal: ia takut kehilangan mama dan Papa.

Dan kalau harus marah supaya mereka tetap menyayanginya... mungkin itu yang akan ia lakukan.

Di kursi kemudi, Livia tersenyum samar.

Perlahan, ia telah menanamkan bibit kecil di hati polos seorang anak.

Bibit ketakutan...

yang bisa tumbuh menjadi tembok pemisah antara Amira, Arif, dan Maira.

Mobil Livia berhenti perlahan di depan rumah sederhana yang penuh kehangatan itu.

Maira membuka pintu mobil tanpa banyak bicara, boneka kecilnya dipeluk erat-erat di dada.

Livia turun, ikut membukakan pintu pagar.

"Tante nggak masuk, ya. Kamu hati-hati, ya, sayang," kata Livia sambil membelai kepala Maira.

Maira hanya mengangguk kecil, tanpa senyum.

Livia memandang punggung mungil itu berjalan masuk rumah, lalu tersenyum licik sebelum berbalik menuju mobilnya.

Amira membuka pintu begitu mendengar suara pagar dibuka.

"Maira!" serunya riang, menunduk untuk menyambut anak kecil itu.

Biasanya, Maira akan langsung berlari memeluknya. Tapi kali ini...

Maira hanya berdiri kaku, menghindari pelukan Amira, lalu berjalan masuk tanpa berkata apa-apa.

Amira tertegun.

Senyumnya perlahan memudar.

"Maira... kenapa, sayang?" tanyanya pelan, berusaha meraih tangan kecil itu.

Tapi Maira menarik tangannya cepat-cepat, memeluk bonekanya lebih erat.

"Capek..." gumamnya pendek, lalu berjalan cepat ke arah kamarnya, menutup pintu pelan tapi tegas.

Amira berdiri terpaku di ruang tamu, merasakan perih yang asing menggores hatinya.

Bukan marah... tapi sedih.

Sedih karena ada jarak yang tiba-tiba muncul tanpa ia tahu sebabnya.

"Ada apa denganmu, Maira..." bisiknya, nyaris tak terdengar.

Amira berusaha menguatkan diri. Ia tahu, anak kecil kadang suasana hatinya naik turun.

Mungkin Maira lelah. Mungkin hanya butuh waktu.

Ia memutuskan memberi ruang. Tak ingin memaksa.

Tapi jauh di dalam hatinya, Amira merasa... ada sesuatu yang berubah.

Ada sesuatu yang disusupkan ke dalam hati kecil Maira — sesuatu yang dingin, asing, dan membuatnya merasa... sangat jauh.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!