"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ba 25 Nikah Dadakan
"Assalamu'alaikum!" Lisna menggigit bibir bawahnya saat kini berdiri di depan rumah besar milik keluarga Arya.
la sempat bersiteru dengan satpam di depan karena memang tak sembarang orang boleh dipersilakan masuk. Namun, saat Lisna memperlihatkan foto kebersamaannya dengan Arya, satpam tersebut percaya dan menyuruhnya masuk.
"Wa' alaikum salam. Loh, kamu, Lis?" Bu Lila melongok ke depan, menoleh ke kanan dan kekiri. "Mana Arya? Kamu sendirian?"
"Iya, Ma. Ma, ada yang mau saya sampaikan," kata Lisna.
Bu Lila heran menatap wajah gelisah Lisna. Ia menatap kekasih putranya dari atas ke bawah.
"Masuklah!"
Lisna mengangguk. la mengikuti langkah Bu Lila memasuki hunian besar dan mewah bila dibanding dengan rumahnya. Sangat jauh berbeda. Ia lantas duduk di sofa empuk yang tak pernah sekali pun terbesit sofa seempuk itu ada di rumahnya.
"Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini tanpa Arya, Lisna?"Bu Lila menyilangkan kakinya.
Gayanya yang anggun membuatnya tampak sangat berwibawa.
"Mama, tolong percepat pernikahan kami, Ma."
Kedua alis Bu Lila saling bertaut."Maksud kamu? Beberapa hari yang lalu bapakmu datang kesini meminta hal yang sama dan sekarang kamu. Ada apa sebenarnya?"
Lisna menelan ludahnya. "Mas Arya kan udah gak kuliah lagi, Ma. Dia fokus sama pekerjaannya dikantor. Lebih baik kalau kita dinikahkan saja, Ma. Soalnya..." la menunduk, menyembunyikan wajahnya.
"Soalnya apa?" Tatapan Bu Lila semakin tajam. Perasaannya mulai tak enak.
"Ma...." Lisna mendongak.
"Saya .... Tiba-tiba saja, suara mobil milik Arya terdengar. Lelaki itu bergegas masuk saat melihat motor scoopy milik Lisna terparkir di halaman.
"Lisna, ngapain kamu ke sini?" todongnya.
Pak Herman yang heran melihat sikap putranya segera mengikuti. Ia melihat Lisna yang terlihat seperti ingin menangis.
"Mas Arya ... kita harus segera menikah. Aku takut kalau perutku semakin besar, Mas," ungkap Lisna dengan bercucuran air mata.
"A- apa maksud semua ini?" Bu Lila sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini. Hanya saja ia ingin dengar sendiri pengungkapan dari mulut Lisna dan Arya.
"Saya hamil, Ma! Saya hamil ...." Lisna tergugu.
Pak Herman membelalakkan mata, terkejut dengan kabar ini. Seketika ia terpejam dan menghela napas panjang. Tak menyangka bahwa putranya bisa melakukan hal sejauh ini.
Sementara Arya menunduk karena takut dengan reaksi orangtuanya. Arya sama sekali tak menduga bahwa Lisna nekat datang ke rumahnya.
"Setiap kali saya meminta Mas Arya segera menikahi saya, Mas Arya selalu saja berkelit dengan banyak alasan. Bagaimana nasib saya dan anak ini?!" kata Lisna lagi.Air matanya semalkin deras mengalir. "Kehamilan saya tidak akan mungkin bisa ditutupi terlalu lama," imbuhnya dengan terisak-isak.
"Kamu ini, seharusnya gak usah datang menemui mamaku, Lis! Lagian aku bakalan nikahin kamu!" kata Arya, menahan emosi.
"Kapan?!" sentak Lisna. "Kapan kamu mau nikahin aku, Mas Arya?Apa kamu mau nunggu sampai anak ini lahir? Itu pun aku nggak yakin kalau kamu emang mau nikahin aku," katanya.
Bu Lila memejamkan mata."Sudah berapa bulan kandunganmu?" tanyanya.
Lisna menatap Bu Lila. "Duabulan."
Bu Lila berdecak. "Kamu ini lagian gimana? Apa gak bisa jaga diri, Lis? Kamu dan Arya itu kan belum menikah. Mau aja kamu digituin. Di mana harga dirimu sebagai wanita?" kesalnya.
Lisna menatap tak percaya pada Bu Lila. Ia kira wanita itu akan membelanya, karena sama- sama perempuan. Namun, kenyataannya malah ia yang disalahkan dan disudutkan.
"Ma, sudah hentikan! Jangan hanya menyalahkan Lisna. Karena perbuatan ini dilakukan oleh Arya juga. Tak mungkin hal ini bisa terjadi kalau Arya tidak merayu Lisna," timpal Pak Herman. Ia berusaha menengahi. la paham betul bagaimana sifat putranya itu sehingga dapat ia simpulkan bahwa kesalahan ini murni dari keduanya.
"Papa ini selalu saja!" Bu Lila mendengkus kesal.
"Lalu bagaimana?"
"Mau bagaimana lagi? Jelas kalau mereka harus segera menikah, Ma. Kasihan Lisna, lagian bagaimanapun, Lisna hamil anaknya Arya. Cucu kita."
Lisna merasa hatinya lega usai mendengar penuturan Pa kHerman. Namun, ucapan Bu Lila selanjutnya malah membuatnya kembali gelisah.
"Setahuku nih, ya! Anak kalau hadir sebelum pernikahan nasabnya cuma ke ibunya. Itu artinya, Arya gak ada hak sama anak itu!"
Arya hanya berkedip- kedip seperti orang bodoh mendengar perkataan ibunya.
"Ma, itu memang benar. Tapi, bagaimanapun ada darah Arya, darah kita yang mengalir di bayi yang ada dalam kandungan Lisna. Jangan terlalu memojokkan Lisna karena dia hanya terbuai oleh rayuan Arya. Kita sudah membuatnya lama menunggu, Ma. Jadi, secepatnya kita harus menikahkan mereka."
Pak Herman sangat bijak dalam membuat keputusan. Ia mendekati Lisna yang masih berderai air mata.
"Apa orang tuamu tau soal kehamilanmu?" tanyanya.
Lisna menggeleng. "Belum, Pa.
Saya takut mau bilang yang sebenarnya."
"Ya sudah, sekarang kita berangkat ke rumahmu. Sekalian menikahkan kalian sesegera mungkin!" putus Pak Herman yang membuat ketiga orang di hadapannya melotot kaget.
"Sekarang, Pa?" Arya tak percaya mendengarnya.
"Ke-kenapa harus sekarang, sih?" protesnya.
Lisna menatap Arya. Kesal bercampur marah ia rasakan mendengar ucapan Arya yang seolah tak mau segera menikahinya. Entah apa yang membuat lelaki itu sulit sekali menikahinya.
"Mau sampai kapan? Papa gak mau kalau reputasi keluarga kita jadi jelek gara- gara ulahmu! Kamu juga tahu kalau Lisna itu bidan.Semua teman sesama bidannya pasti bisa melihat tanda- tanda kehamilan Lisna, Arya. Apa kamu gak kasihan?"
Arya mendengkus. "Ya udahlah, terserah Papa saja."
Bu Lila melirik tajam. "Kalau kalian sudah menikah nanti, tinggalnya di sini saja. Mama gak rela kalau kamu, Arya tinggal digubuk itu," celetuknya, yang membuat hati Lisna teriris.
Ternyata, Bu Lila yang ia kenal ramah dan baik padanya, ucapannya sangat pedas meski berhadapan dengannya.
"Iya, Ma. Itu sudah jelas. Tapi, sesekali bolehlah aku tinggal dirumah Lisna. Lumayan bisa manas- manasin si OB itu," sahut Arya.
"OB siapa?" Kening Bu Lila berkerut.
"Suaminya Hanin. Dia kan nikah sama OB, Ma. Mana dia jadi OB di Nirwana Grup lagi."
Bu Lila ternganga. Namun, seketika tertawa. "Astaga, emang bener kan ucapan mama. Jodoh Hanin itu gak jauh- jauh dari dia.Dia cuma pelayan toko kecil, suaminya OB. Bener- bener cocok!"
"Tapi, meski begitu sombong banget dia, Ma. Gayanya udah kayak yang punya perusahaan saja," celetuk Arya.
Pak Herman hanya geleng-geleng kepala. "Kalian kok malah ngegosip? Udah, ayo berangkat sekarang! Kita pakai satu mobil saja!" ajaknya.
"Mama ganti baju dulu sebentar, Pa." Bu Lila bergegas masuk ke kamarnya.
"Lisna, tenanglah! Arya akan menikahimu seperti niatnya semula," kata Pak Herman yang dibalas anggukan oleh Lisna.
Sementara Arya hanya mencebik.
Pak Abdul dan Bu Daning terkejut saat Lisna tiba- tiba datang bersama keluarga Arya. Bahkan, kedua orang tua Arya juga hadir.
"Pak, kok tumben sih mereka semua datang ke rumah kita?" bisik Bu Daning.
"Bapak juga gak tahu, Bu. Sepertinya ada masalah serius," jawab Pak Abdul.
Mereka berdua mempersilakan tamunya masuk. Namun, anehnya Lisna malah duduk di barisan keluarga Arya.
Rumah sederhana milik Pak Abdul dan Bu Daning terasa lebih tegang dari biasanya. Lisna berdiri dengan kepala tertunduk di tengah ruang tamu, diapit oleh Arya dan kedua orang tuanya, Bu Lila dan Pak Herman.
"Pak Abdul, Bu Daning. Kami datang ke mari untuk menikahkan kedua anak kita. Arya dan Lisna sudah waktunya menikah," ujar Pak Herman.
Tatapan mata kedua orang tua Lisna tajam, penuh keterkejutan dan kekecewaan.
Pak Abdul menghela napas panjang, mencoba menguasai diri."Jadi, ini maksud kedatangan kalian semua? Menikahkan Lisna dan Arya hari ini juga?"
la heran, beberapa waktu lalu, ia pernah meminta agar pernikahan Arya dan Lisna segera digelar. Namun, ditolak oleh Bu Lila. Tapi, sekarang keduanya malah meminta agar Arya dan Lisna segera dinikahkan. Aneh sekali!
Pak Herman mengangguk tegas. "Betul, Pak Abdul. Kami merasa ini adalah solusi terbaik. Bagaimanapun, Lisna sudah mengandung anak Arya. Kami tidak ingin memperpanjang masalah. Dan ini juga untuk kebaikan kita bersama.
Perkataan itu terasa seperti ledakan di telinga Bu Daning. Ia menatap Lisna dengan mata berkaca -kaca. "Kamu hamil, Lisna?
Kenapa kamu nggak bilang sama Ibu? Kenapa kamu sembunyikan ini dari kami?"
Pantas saja ia merasakan perubahan putrinya. Namun, Bu Daning tetap berpikir positif bahwa Lisna gemukan karena suka jajan.
Lisna menunduk lebih dalam,tidak berani menatap ibunya. Airmatanya mulai mengalir, tetapi tidak ada kata- kata yang mampu keluar dari bibirnya.
Pak Abdul mengangkat tangan, meminta istrinya tenang. "Tunggu dulu, Pak Herman. Kita semua ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik. Tapi kenapa baru sekarang kami tahu? Kenapa Lisna tidak pernah bicara soal ini sebelumnya?"
Pak Herman menatap Pak Abdul dengan raut bersalah. "Kami juga baru tahu hari ini, Pak. Lisna datang ke rumah kami danmengaku sudah hamil dua bulan. Begitu kami tahu, kami langsung memutuskan untuk datang ke sini dan mengajukan niat baik kami. Kami ingin semuanya selesai tanpa mempermalukan keluarga kita."
Bu Daning mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. "Ini semua terlalu tiba-tiba. Lisna ... kenapa kamu diam saja?"
Lisna akhirnya mengangkat wajahnya, meski matanya bengkak oleh tangis.
"Maaf, Bu ... Maaf, Pak ... Aku takut. Aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak mau kalian malu."
"Tapi dengan menyembunyikan ini, kamu justru mempermalukan kami!" suara Pak Abdul meninggi, membuat semua orang di ruangan terdiam. "Apa kamu pikir masalah seperti ini bisa selesai dengan diam- diam?"
Arya maju, mencoba menjelaskan. "Pak Abdul, Bu Daning, ini semua salah saya. Saya yang harus bertanggung jawab. Makanya, saya dan keluarga datang ke sini untuk meminta izin menikahi Lisna. Kami akan memastikan semua berjalan baik setelah ini," ucapnya bak seorang pahlawan.
la sengaja berkata lantang karena melihat Raffa dan Hanin ada di ruang tengah. Mereka pasti juga mendengar permasalahan ini.
Bu Lila, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami mohon, Pak Abdul, Bu Daning. Jangan pikirkan apa kata oranglain. Kami hanya ingin memastikan masa depan Lisna dan anak yang dikandungnya terjamin. Ini semuakan juga demi menjaga nama baik kalian."
Bu Daning berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir sambil memikirkan situasi yang terjadi. "Kalau kami terima, pernikahan ini akan jadi pernikahan terburu- buru. Apa kalian sadar dampaknya? Bagaimana kalau orang-orang bertanya -tanya? Apa kalian siap menanggung semua itu?"
"Bu Daning," suara Bu Lila lembut tapi tegas,
"lebih baik kita hadapi pertanyaan mereka dari pada menunda ini. Semakin lama, semakin banyak hal yang bisa terjadi. Kami yakin ini jalan terbaik."
Pak Abdul terdiam, pandangannya jatuh pada Lisna yang masih berdiri di tempatnya.Air mata gadis itu terus mengalir,menunjukkan betapa hancurnya ia. Sebagai seorang ayah, Pak Abdul merasa hatinya pedih melihat putri bungsunya berada dalam situasi seperti ini.
"Apa kamu yakin, Lisna? Kamu mau menikah dengan Arya sekarang?" tanya Pak Abdul dengan nada lebih lembut.
Lisna mengangguk, suaranyan yaris berbisik. "Iya, Pak. Aku mau. Aku nggak mau memperpanjang masalah ini."
Pak Abdul menutup matanya sejenak, lalu menarik napas panjang. "Baiklah. Kalau ini memang keputusan kamu, Bapak setuju."
Bu Daning terkejut. "Pak? Ini terlalu mendadak! Apa tidak ada pesta seperti rencana awal?" Iaingin protes, sebab ia sudah sesumbar akan mengadakan resepi mewah saat pernikahan Lisna berlangsung nanti.
"Tidak ada gunanya menunda, Bu. Untuk apa sebuah pesta kalau anak kita saja sudah hamil?" jawab Pak Abdul dengan suara lelah."Anak kita sudah membuat keputusan. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendukungnya."
Bu Daning hanya membisu.Pasrah. Sementara Hanin yang ada di ruang tengah begitu miris dengan nasib yang menimpa adiknya. Inilah hasil yang adiknya dapat karena sering mendatangi hotel.
Dan ia yang selalu dimarahi ibunya dengan dikatakan iri sehingga memfitnah Lisna. Pada kenyataannya, apa yang dikatakan Hanin terbukti sekarang.Ia bisa merasakan bagaimana hancurnya perasaan ibu dan bapaknya. Apalagi sang ibu sudah bermimpi mengadakan sebuah resepsi besar- besaran. Namun, mimpi itu lenyap seketika.
Beberapa jam kemudian, di bawah pengawasan seorang penghulu yang dipanggil mendadak, Lisna dan Arya akhirnya resmi menjadi suami istri.Pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga inti. Namun, sesederhana apa pun sebuah pernikahan pasti akan terendus keluar.
Kabar pernikahan diam- diam dan dadakan antara Arya dan Lisna mulai menyebar ke seantero kampung. Banyak orang yang menghina Bu Daning karena hanya omong kosong.
"Tuh, kan? Dulu aja bilangnya calon suami Lisna kaya raya dan bakalan ngadain resepsi mewah? Kenyataannya apa? Sama saja sama si Hanin.
"Tapi, anehnya kenapa mendadak ya? Apa jangan- jangan ..
"Udah ketebak kalau Lisna hamidun!"
Gosip mulai menyebar. Bahkan mereka tak segan tertawa terbahak-bahak atas apa yang terjadi pada Bu Daning.