cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Dua Dunia, Satu Lagu
Setelah panggilan video itu berakhir, Reina masih memandangi layar ponselnya yang telah menghitam. Jantungnya berdetak cepat, tapi bukan karena gugup melainkan karena perasaan yang sulit digambarkan hangat, lega, dan sedikit bahagia.
Ia menarik selimut tipisnya dan menyandarkan diri ke bantal, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu meja.
“Vio… kamu ternyata Violetta…”
Senyum perlahan merekah di bibirnya. Sebuah senyum yang tercipta dari rasa terkejut, kagum, dan… takdir yang terasa nyaris terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Pikirannya melayang ke masa-masa beberapa bulan lalu. Malam ketika dia merasa hancur, dunia seakan menutup dirinya rapat-rapat. Saat itu, tak ada teman yang bisa ia hubungi, tak ada kata-kata penghiburan yang terasa cukup… sampai ia secara tak sengaja membuka sebuah siaran kosong.
Seorang pria dengan suara lembut dan wajah yang nyaris tak terlihat, duduk sendirian di depan mic dan gitar lusuh.
“Selamat malam… untuk mu, terima kasih sudah datang…”
Itu adalah kalimat pertama yang Reina dengar dari Violetta. Siaran itu tak punya penonton lain hanya dia. Dan saat melihatnya, Reina merasakan sesuatu. Pria itu… menyanyi dengan tulus. Suaranya bergetar, bukan karena ragu, tapi karena jujur.
“Kamu gak sendiri, ya? Karena aku juga di sini…” Itu yang ia ketik saat itu di kolom chat. Dan dari sana, semuanya berubah.
Reina mulai menunggu tiap malam. Menyapa. Mendengarkan. Mengirim donasi kecil. Dan perlahan, dia jadi penggemar pertama dan paling setia dari Violetta.
“Siapa sangka… kamu ternyata orang yang setiap hari duduk di samping ku, bersikap dingin tapi selalu memperhatikan,” gumam Reina lirih sambil menyentuh dadanya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan memeluk bantalnya erat. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena perasaan hangat yang mendesak keluar dari dalam dadanya.
“Terima kasih, Vio… karena malam itu kamu siaran.”
Ia menutup matanya, dan dengan senyum kecil di wajahnya, Reina bergumam pelan.
“Kalau kamu nyanyi untuk semua orang… maka malam ini, biarkan aku jadi satu-satunya yang menyanyikan sesuatu untuk kamu dalam hati.”
Dan malam pun berlalu, menyisakan dua hati yang kini mulai memahami bahwa suara dan kehadiran bisa melintasi jarak… bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka hanya duduk sejengkal saja dari satu sama lain.
.
Beberapa bulan yang lalu...
Langit sore telah berubah menjadi kelabu. Awan menggantung rendah, seolah ikut menyesakkan dada Reina. Di taman kota yang hampir sepi, hanya satu bangku yang diduduki oleh seorang gadis kecil yang memeluk lututnya erat. Tangisnya telah reda, tapi matanya masih merah dan bengkak, seperti langit yang akan segera menangis.
Di tangannya, tergenggam erat sebuah ponsel. Casing-nya masih sama, dengan stiker kartun yang mulai terkelupas. Itu satu-satunya benda milik kakaknya yang kini selalu ia bawa.
Kakaknya… satu-satunya keluarga yang paling memahami dirinya, paling mengerti senyumnya dan diamnya, kini telah pergi. Secara tiba-tiba, tak ada lagi pelukan hangat, tak ada lagi suara lembut yang mengucapkan “kamu gak apa-apa kan?” saat ia pura-pura kuat.
Dan sekarang, Reina bahkan tak tahu harus ke mana. Ia hanya lari… ke tempat ini. Menyendiri.
Dengan sisa sinyal dan koneksi seadanya, Reina membuka aplikasi video streaming. Ia tak berharap banyak, hanya ingin melupakan sejenak. Dan di antara deretan thumbnail yang ramai dan ramai, ada satu yang berbeda.
"0 Viewers"
Judul: ‘Jika kamu kesepian malam ini…’
Tanpa berpikir panjang, Reina menekannya.
Layar ponsel berubah gelap sesaat, lalu muncul suara lembut, agak bergetar. Kamera memperlihatkan seorang pria dengan latar ruangan gelap dan sederhana. Ada gitar di pangkuannya, dan wajahnya tersembunyi di balik topeng dan bayangan mic. Tapi ada sesuatu yang jujur dalam suara itu.
“Selamat malam… buat kamu yang di sana…
Ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku hanya ingin bernyanyi.
Kalau kamu sedang lelah, atau sedih…
Biarkan aku menemanimu sebentar saja malam ini.”
Reina tak sadar air matanya jatuh lagi.
Pria itu… benar-benar menyanyi. Suaranya tidak sempurna, kadang gemetar, tapi terasa nyata. Ia tak tahu kenapa- mungkin karena sama-sama merasa sendiri. Atau mungkin karena untuk pertama kalinya, seseorang yang tak mengenalnya bicara seolah dia benar-benar ada.
Pria itu menyanyikan lagu yang tenang, lembut. Tidak ceria, tapi mengangkat. Tidak memaksa bahagia, tapi menyentuh luka dengan tangan lembut.
Dan Reina menangis. Bukan karena sedih, tapi karena suara itu mengobatinya, bahkan hanya sedikit. Saat lagu berakhir, dia akhirnya mengetik:
“Aku di sini. Terima kasih sudah nyanyi malam ini.”
Dan pria itu, dengan suara sedikit terkejut tapi hangat, menjawab:
“Terima kasih sudah mendengarkan… aku pikir gak ada yang bakal nonton malam ini.”
Waktu terasa berjalan lambat setelahnya. Tapi saat panggilan nama dari kejauhan terdengar, Reina menoleh. Itu suara ibunya dan ayahnya juga datang mereka mencarinya.
Ia bangkit, masih menggenggam ponsel itu, dan sebelum mematikan siaran, ia berbisik pelan.
“Aku akan datang lagi. Tolong… nyanyikan sesuatu untukku lagi nanti.”
Malam itu, Reina kembali ke rumah. Luka di hatinya belum hilang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Sejak saat itu, tiap malam ia kembali… dengan nama samaran Zeo— nama yang dulu sering dipanggilkan oleh kakaknya saat kecil.
Dan malam ini, saat ia tahu bahwa orang yang telah menyelamatkannya tanpa sadar… adalah Vio…
Tangisnya yang tertahan perlahan mengalir.
“Terima kasih, Vio… karena sudah ada di malam itu.”
Sisi Vio
Setelah layar akhirnya mati sepenuhnya, Vio hanya bisa terduduk diam di kursinya. Lampu-lampu kecil di sekeliling meja siarannya masih menyala samar, memberikan bayangan keemasan pada wajahnya yang masih memucat dan sedikit berkeringat. Jantungnya belum sepenuhnya tenang, dan pikirannya berputar-putar tak karuan.
Reina… Zeo…
Tangannya perlahan menyentuh permukaan meja, tepat di sebelah mikrofon. Ia menarik napas panjang, lalu menatap ke layar hitam yang baru saja menampilkan wajah yang sangat ia kenal… dan kini terasa sepenuhnya asing sekaligus dekat dalam satu waktu.
“Jadi… sejak awal… dia.” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Reina. Gadis yang selalu duduk tepat di sampingnya setiap hari di kelas. Yang sering menyapanya dengan senyum lembut, yang kadang memperhatikannya diam-diam ketika dia tidak sadar. Yang menatapnya penuh keingintahuan, tapi tak pernah bertanya lebih dari yang seharusnya.
Dan… Zeo.
Nama pengguna yang selalu muncul pertama kali saat ia mulai siaran. Yang pertama memberi komentar, yang menyemangatinya saat suara gitar fals, saat hari-hari terasa berat dan langit malam begitu sunyi. Nama yang ia hapal tanpa sadar, seperti bagian dari rutinitasnya. Seperti bagian dari dirinya.
“Zeo itu… Reina.”
Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kepalanya menoleh ke samping, menatap ke arah jendela yang setengah terbuka. Angin malam masuk perlahan, membawa suara samar kendaraan dan cahaya remang dari luar.
Ia masih tak bisa percaya.
Selama ini, ia merasa bahwa dirinya dan Violetta adalah dua sisi yang terpisah. Dunia nyata dan dunia malam. Di siang hari ia hanya Vio, siswa biasa yang berusaha tak menarik perhatian. Tapi di malam hari, ia menjadi Violetta, suara di balik layar, tempat orang-orang datang untuk merasa didengar. Ia berpikir… semua itu tak akan pernah bertemu di tengah.
Tapi ternyata, dunia itu tidak sejauh yang ia kira. Bahkan… mungkin sudah saling bersinggungan sejak awal.
Sejak hari pertama.
Sejak Reina duduk di sampingnya dengan mata yang tampak menyimpan sesuatu.
Sejak Zeo muncul malam itu, menjadi satu-satunya pendengar setia.
Perasaan hangat dan gugup berkecamuk dalam dadanya. Bukan hanya karena Reina tahu tapi karena Reina adalah satu-satunya orang yang selama ini benar-benar mendengarkan. Yang menemani, meski ia tidak tahu identitasnya. Dan kini, ternyata gadis itu telah duduk begitu dekat selama ini, mengulurkan tangan dalam diam.
“…Kenapa rasanya seperti mimpi?” bisiknya sambil tersenyum lemah.
Vio menutup matanya sejenak. Di balik kejut dan malu, ada perasaan lain yang perlahan tumbuh: lega. Bahwa akhirnya, rahasia kecilnya tidak lagi hanya miliknya seorang. Bahwa orang yang paling ia hargai di antara para pendengar, ternyata juga menghargai dirinya, bahkan sebelum tahu siapa dia sebenarnya.
Dan malam itu, sebelum ia beranjak dari kursinya, ia menatap satu pesan terakhir yang tertinggal di layar:
“Terima kasih, Vio… karena sudah ada di malam itu.” – Zeo
Jantungnya kembali berdebar.
“Terima kasih juga, Reina… karena sudah mendengarkan.”