Aku belum pernah bertemu atau pun berbicara dengan Komisaris di kantorku. Sampai kami bertemu di Pengadilan Agama, dengan posisi sedang mengurus perceraian masing-masing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Tua Pak Komisaris
Andai ku jadi Raja.
Mau apa tinggal minta
tunjuk sini tunjuk sana
Dengan sedikit kata.
"Lagunya siapa sih Mas?" tanya Adit sambil mengernyit menatap display music di layar besar dashboard.
"Enak nggak?" sahut Felix.
"Keren lagunya, beda aransemennya, liriknya juga lugas,"
"Lirik seperti ini kalau di-released zaman sekarang udah di somasi sana sini,"
"Maksudnya?"
"Ini lagu tahun 97an,"
Adit menyeringai, "Belum lahir aku Mas, direncanain aja belum kayaknya,"
"Tahun berapa sih kamu lahir?" Felix mengernyit sambil menoleh sekilas menatap Adit.
"2000,"
"Tahun 2000?! Bercanda kamu! Anak kamu udah tiga loh!"
"Aku nikah belum lulus SMA itu mas,"
"Pergaulan jaman sekaraaaaang," desis Felix.
"Ya namanya anak muda, nggak ada orang tua yang ngawasin, bablas aku,"
Aku ikut nimbrung, "Aku yang kebingungan waktu Tri bilang dia hamil," desisku.
"Terus sekolahnya gimana?!"
"Ya kejar paket C," desis Adit.
"Aku keluar Mas, lulusan SMP jadi jatohnya," kata Tri.
"Bapak ibu nggak marah tuh anak gadisnya di kerjain sama Adit?!" tanya Felix ke mertua Adit.
"Si Adit tak gebuki dulu kok sebelum ijab," sahut Bapaknya Tri. "Si Tri malah sempet ku ruqyah,"
"Sukur," desis Felix pendek. Adit hanya cekikikan.
"Kalo kamu gimana?!" tanya Felix ke Bayu.
"Aku lurusan Mas, sesuai peraturan negara," desis Bayu.
"Nggak menarik banget sih kamu, monoton," kata Felix.
"Lah piye toh?!" seru Bayu kesal. "Mas Felix ini kelahiran tahun berapa coba?!"
"88," jawab Felix pendek.
"Pangapunten, damel repot Paklik," gumam Bayu sambil melipir ke pojok dekat pintu. (Maaf merepotkan, Paman/Om).
"Paklik lambemu…" gerutu Felix.
"Ya memang PakLik, kan nama kamu Felix. Pak Lix…" tambahku sambil berlagak serius ke layar hape. Aku membalasnya atas panggilan Bu Cin ku.
"Terserah kaum mayoritas deh," gerutu Felix.
Tapi tangannya ke belakang, mengelus pipiku.
"Sabar Mas, bentar lagi e," Adit iseng meraih tangan Felix dan menariknya supaya menjauhiku.
"Kenapa harus kamu yang duduk di sebelahku sih?"
"Aku tameng kehormatan Mas," balas Adit.
Rumah Pak Felix di daerah Permata Hijau. Sudah tak usah ditanya lagi kemewahannya.
Aku saja sampai pusing melihatnya.
Karena rumah di Hang Lekir yang ia incar itu menurutku biasa saja, ya besar juga ya di daerah elit juga.
Tapi rumah yang ini… tidak pantas disebut rumah.
Yang tinggal di sini kuajak makan AYCE?! Ku minta dia mengantarku ke Mall naik motor? Kubelikan nasi capcay?!
Astaga…
Aku serasa mengerjai Seorang Raja.
Sesuai dengan lagu Rif yang sedang berkumandang di dashboardnya.
Andai ku jadi Raja.
Yang ini sudah Raja beneran.
"Iki omah e sopo?" tanya bapak mertua Adit. (Ini rumahnya siapa?)
"Rumah orang tuaku Pak," kata Felix sambil mengeluarkan koper adik-adikku dari bagasi.
Dengan terkesima mereka menatap bagunan di depan mereka, sementara Pak Felix sedang estafet koper ke beberapa orang yang berseragam seperti pegawai hotel.
Aku menarik sedikit lengan bajunya dan berbisik, "Orang tua kamu sudah tahu mengenaiku kan?"
"Tahu tidak mereka tanya apa saat kuceritakan dirimu?"
"Apa?"
"Orang kaya atau bukan?"
Jantungku langsung mencelos. "Hm… Begitu," aku sangat kecewa.
"Aku jawab, bukan, yatim piatu, janda. dari keluarga Toxic,"
"Hm," aku beneran sudah tidak mood. Lebih ke takut sebenarnya.
"Dan mereka bilang, 'Cepat kenalin ke Mamah!' gitu,"
"Hah?!"
"Mereka trauma sama yang model Felicia, lebih baik dengan orang biasa katanya,"
"Kamu yakin mereka ngomong begitu?! Salah dengar kali kamu!" aku benar-benar tak Percaya dengan yang ia katakan.
"Kamu menuduhku bohong?"
"Ya nggak nuduh bohong, tapi aku tidak percaya saja!"
"Tanya sendiri manusianya ada di atas tangga tuh ," Felix menunjuk ke atas tangga.
Ada pasangan yang langsung menghampiri kami dengan terburu-buru.
Wanita setengah baya dengan setelan rapi, mengenakan sandal bulu dan dandanan ala nci-nci sosialita.
"Ngaturipuuun, monggo monggo! Ingkang saestu!" tapi bahasanya jawa kromo.
Aku makin terkesima dengan pemandangan itu.
"Ini Chintya, Mah," sahut Felix sambil mendorongku dengan lembut ke depan.
"Walaaah, manis e, pinter kamu Lix. Lah begini dong, kecantikan nusantara. Tinggi yooo!" sahut Mamanya Felix sambil mengelus kedua lenganku.
Tapi aku belum begitu percaya atas antusiasnya, aku takut di belakang ia tidak merestuiku.
"Terus kejadian terakhir gimana? Yang namanya Hani mana?" Mamah Felix tampak mencari-cari Hani. Tampaknya Felix sudah menceritakan kejadian kemarin ke Mamahnya.
"Ini, Tant-... Sik sik, aku sebutnya Tante atau eyang?!" desis Adit kebingungan.
"Ini Hani? Sini sayaaang sama UTI!"
"Mamah kalau mengharapkan cucu nggak usah segitunya nyindir aku dong!" seru Felix.
"Cepat sana nikah! Untung kamu belum punya anak sama Badarawuhi!" seru Mamahnya Felix sambil menggendong Hani dan kabur ke dalam rumah secepat kilat.
Kini kita semua tahu darimana mulut pedasnya berasal. Badarawuhi yang dimaksud mungkin Felicia.
Seorang Pria eropa menghampiriku. Gaya jalannya sangat anggun ala-ala peragawan. Wajahnya bisa dibilang seperti malaikat yang nyasar ke bumi. Rambut coklat mata hijau kulit putih ala-ala Keluarga Kerajaan Inggris, "Ibunya memang biasa bawel begitu, maaf ya agak heboh. Dia udah nungguin sejak semalam sih," dia bicara bahasa Indonesia dengan lancar.
"Eh iya Om, maaf kami merepotkan," aku menjabat tangannya yang besar.
Kami dibawa masuk ke dalam rumah yang perabotannya sudah jangan ditanya lagi. Aku pun tak sanggup menjabarkan saking penglihatanku langsung seperti di awang-awang karena kilauannya.
Maling masuk ke sini saja bingung apa yang mau diambil duluan, kesetnya saja dari sutra.
"Eeeh, maaf Om saya bertanya," Aku memberanikan diri mengobrol dengan sang Papah.
Dia tampak mundur dan berjalan sejajar denganku.
"Keluarga Ranggasadono itu, mata pencaharian utamanya apa ya Pak?" tanyaku.
Karena memang keluarga ini tidak terlalu populer di negara ini seperti Garnet dan Beaufort. Setahuku mereka bergerak di properti dan transportasi, tapi melihat rumah ini dan pekerjaan Felix, kok sepertinya aku merasa usaha mereka bukan hanya itu.
"Kami lebih banyak berinvestasi di Amerika dan EUA, sadar diri saja kalau di sini birokrasinya kurang mendukung. Tapi Felix berhasil memperkaya diri lewat Three Kings dan 12 Naga. Termasuk menjadikan rumah ini tampilannya seperti di Nirwana," desis Papah Felix. "Tinggal Mamahnya tuh tiap bulan teriak bayar listrik sampai 40 juta,"
Dalam hati aku berhitung… Ini baru rumah orang tuanya yang notabene di sana hanya tinggal bertiga saja, dengan pembantu sekitar… Banyak sih ya. Kalau kuamati secara sekilas ada kali 20 orang.
Sambil makan siang aku mendengarkan Mamah Felix bercerita ini-itu.
"Ranggasadono itu dari keluarga saya" dia bicara dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, karena Felix kurang lancar. Ternyata ada juga kelemahannya. Sejujurnya aku pun tidak terlalu mengerti bahasa Jawa karena lama tinggal di Jakarta. Apalagi kalau yang kromo, sudah pusing duluan kepalaku.
"Mohon maaf saya juga Janda, keturunan chinesse pula. Sudah lah di bullynya dobel kalau tinggal di sini," dia menyeringai sambil menatapku. "Makanya saya ke luar negeri, eeeh dapat bapaknya. Orang Eropa kan tidak mempermasalahkan masa lalu kecuali dia kriminal,"
"Padahal bapak saya itu bilang dia akan melindungi saya dari setiap gangguan loh. Ya tapi saya tak tahan teman-teman saya jahat semua, kalau jalan pulang sekolah tuh dikata-katain sipit sipit cicih Akiong! Gituuuu," sungutnya.
"Ohiya saya juga anak dari istri ke tiga. Bapak saya itu, Mbah Rangga, punya istri empat. Ya tumenggung jaman dulu masa istrinya cuma satu ya. Ibu saya kebetulan memang anak pedagang imigran China. Pernikahan bisnis kayaknya, hehe."
Dan banyak cerita lain.
Sepanjang cerita, Felix tidak menatapku. Tapi dia menatap yang lain. Saat tak sengaja pandangan kami bertemu, dia menunduk atau mengalihkan pandangannya.
"Besok ke PIK yuk? Teru kita ke ancol, terus ke pulau seribu, atau langsung aja ke singapur gimana?!" penawaran dari Mamahnya Felix macam-macam.
"Kita belum punya Passport, Uti," kata Adit.
"Gampang itu Dit, langsung aja urus. Di sini seminggu kan?!"
"Mah, jangan berlebihan, terserah mereka dong," kata Papahnya Felix
"Gimana kalau langsung saja umroh?" Tembak Mamah Felix.
Aku melongo.
Semua juga bengong.
"Pertimbangkan ya, kalau sudah siap, jangan ragu telepon saya. Okeee?!" kata Mamahnya Felix.
Belum sampai siang, mereka sudah akrab bercengkrama di area kolam renang.
"Alhamdulillah kepake juga kolamnyaaaa, ini si Felix membangun kolam buat apa saya juga nggak ngerti! Sopo sing arep kungkum yo?!" (siapa yang mau berendam ya?!) kata Mamah Felix.
Hari sudah mulai siang, dan aku memutuskan untuk pulang ke kosan. Tapi Felix mencegahku. Karena katanya belum aman. Dia malah memintaku untuk membereskan barang-barangku dan tinggal di salah satu hotel.
"Garnet kan punya hotel. Kamu bisa-"
"Kita belum resmi menikah Lix. Aku nggak ingin memanfaatkan pengaruh kamu dan keluargamu untuk kepentinganku sendiri," kataku. "Ini sudah lebih dari cukup," aku menunjuk adik-adikku dan keluarga mereka.
Felix mengambil nafas panjang dan berkacak pinggang, tapi ia tetap enggan menatap mataku. "Pernikahan kita sebulan lagi, kurasa tidak apa kalau kamu langsung tinggal di sini,"
"Dalam sebulan itu bisa jadi banyak hal yang akan terjadi."
Felix menatap Adit yang akan jadi waliku saat pernikahan nanti.
"Aku hubungi penghulu sekarang ya? kudengar mereka juga menyediakan saksi. Pihak kelurahan juga akan kuundang. Kalau kamu setuju,"
"Setuju untuk??"
"Nikah Siri. Besok pagi,"
Bayangkan, betapa kagetnya aku.
sesuka itu aq pada karyamu thor
cuma 4 kata tapi paham kan maksudnya apa/Facepalm//Facepalm/
cari novel dengan gaya penulisan seperti ini yg susah, makanya sambil nunggu update novel terbaru aku baca ulang novel yg dah tamat.
aku terlalu dimanjakan , gk kerja , mau belanja di kang sayur tinggal teriak dari luar rumah " mas habis segini , bayarin ya.." belanja kebutuhan pokok , beli skincare, aku yg ambil dia yg bayarin. gk pernah ngerti harga beras berapa sampai harga gincu aku gk tau.. suami yg bayarin.
aku gk takut dia selingkuh tapi aku takut dia gk ada di bumi untuk selama lamanya.. telat aku mau mandiri , suami yg ambil alih sini aku aja.
definisi UJIAN yang mengENAKkan
Tommy : kamu bekerja juga atas ridho dariku
Cintya : ya karena klo aku gk kerja kamu yg mati
Tommy udah mokondo , toxic, manipulatif pula
novel ini dibuat tahun 2023, tahun 2025 ada kasus yg mirip banget , kasus perselingkuhan suami dilan janiar.
wes mokondo(modal Ko**ol doangl) gak kerja, ngikut istri kerja minta digaji , digugat cerai karena ketahuan selingkuh , malah minta harta Gono gini. kevarat bener lakik nya