Jourrel Alvaro, pembunuh bayaran yang selalu melakukan pekerjaannya dengan sangat bersih tanpa kendala berarti. Banyak para pejabat atau pengusaha yang menyewanya untuk menghabisi musuh-musuh mereka.
Cheryl Anastasia, gadis 24 tahun yang berbakat menjadi seorang arsitek. Darah seni mengalir dari ibunya, sedang jiwa kepemimpinan merupakan turunan dari sang ayah.
Suatu hari, Jourrel dibayar untuk menghabisi nyawa Cheryl. Namun seolah memiliki nyawa seribu, gadis cantik itu selalu lolos dari kematian.
Hingga akhirnya, kekaguman Jourrel meluluhkan hatinya. Ia kalah dan justru jatuh cinta dengan Cheryl karena gadis itu ternyata bukan gadis lemah. Memiliki banyak talenta luar biasa.
Akankah Cheryl membalas cintanya? Lalu bagaimana jika ayah Cheryl yang seorang ketua mafia dapat mengendus pria bayaran itu mengincar putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 : BERHARAP TIDAK TERLAMBAT
Usai berdiam diri selama 2 jam duduk di bukit sendirian, Jourrel memutuskan kembali. Langkahnya gontai dan tak terarah. Pikirannya carut marut sekarang.
Saat memasuki rumah, Jourrel langsung membuka kamar ibunya. Memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Kembali menarik daun pintu hingga tertutup rapat, setelah melihatnya masih seperti semula.
Jourrel kembali masuk ke kamarnya, merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Memejamkannya sejenak, memikirkan bagaimana ending dari sekelumit permasalahan hidupnya.
"Aahh sial!" serunya meraih jaket dan kunci motor lalu bergegas keluar rumah.
Buru-buru pria itu menyalakan mesin motornya, melaju dengan kecepatan rata-rata. Setelah keluar dari gang kecil dan berada di jalan raya, laju kendaraannya bagaikan angin yang bertiup.
Tak berapa lama, Jourrel sampai di bengkel Tristan. Namun sudah tidak menemukan siapa pun kecuali para karyawan bengkel. Jourrel membuka helm lalu turun dari motor.
"Di mana Tristan?" tanyanya pada salah satu karyawan.
"Baru saja pergi, belum lama. Mungkin belum jauh dari sini," sahut lelaki muda yang sedang bekerja.
Tanpa membalas ucapannya lagi, Jourrel berlari kembali ke motornya. Melaju dengan kecepatan tinggi agar bisa bertemu Tristan tanpa membuang waktu. Akan tetapi, sudah satu jam ia berkendara, tidak menemukan keberadaan sahabatnya itu.
Jourrel menepikan motornya. Ia meraih ponsel dan segera menelepon. Tak berapa lama, terdengar sahutan dari seberang. Riuh dan ramai menelusup telinga Jourrel.
"Bro! Lu di mana?" teriak Jourrel.
"Hah, apa?" sahut Tristan yang juga berteriak. Ia tidak dapat mendengar dengan jelas karena suasana di sekitarnya yang sudah sangat ramai.
"Di - ma - na?" Jourrel mempertegas setiap suku kata.
"Di arena! Cheryl mau coba mobilnya!"
Jourrel mendelik, dadanya seolah dihantam beban yang berat. Napasnya pun menderu dengan kasar.
"Share lock sekarang juga!" pekik Jourrel frustasi.
"Kenapa?" Tristan memekik bingung karena nada suara Jourrel terdengar begitu panik.
"Buruan!" berangnya mematikan telepon. Lalu meletakkan ponselnya pada phone holder di stang motornya.
Sembari menunggu, ia membenahi helm dan semua perlengkapan berkendara. Hingga tak berapa lama, notif pesan yang menunjukkan arah lokasi Tristan berada.
Jourrel menyalakan maps tersebut, mengikuti detail arah yang ditunjukkan layar ponselnya. Matanya fokus pada jalan raya dan penunjuk jalan secara bergantian.
Lampu merah ia terobos begitu saja, mengabaikan keselamatannya sendiri, berharap ia tidak terlambat. Dengan kegesitan dan kelincahannya, Jourrel akhirnya sampai di sebuah kawasan arena balap.
Ia tetap tidak mengurangi laju kecepatan, dengan mata elang yang memindai setiap sudut jalan. Jarak gerbang pintu masuk dengan Tristan masih cukup jauh. Jourrel tak menghiraukan apa pun lagi. Selain bertemu dengan Tristan dan menghentikan Cheryl.
Jourrel membuka kaca helm, matanya mendelik ketika Cheryl sudah mulai mencoba mobilnya pada lintasan yang ada.
"Tan! Stop! Hentikan Cheryl!" teriaknya dari jauh yang tentunya tidak didengar oleh siapa pun.
Apalagi helm full face yang menutup kepalanya, membuat suara bariton itu teredam dan sama sekali tak terdengar. Namun Jourrel seolah tak sadar. Ia terus berteriak dari atas motornya.
Hatinya berdecak kesal ketika Cheryl sudah mulai memacu kendaraan sport roda empat itu. Jourrel terlambat, ia baru saja sampai di titik Tristan berdiri.
"Tan!" seru Jourrel mengepalkan kedua tangannya.
"Hei, Bro. Kenapa? Penting banget ya, kok sampai nyamperin ke sini!" Tristan menepuk bahu Jourrel.
"Di mana bisa memotong jalan arena itu. Aku harus lewat mana?" tanya Jourrel cepat mengabaikan pertanyaan Tristan.
Tristan mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti maksud ucapan sang sahabat itu. Jourrel menarik kerah kaos Tristan hingga tubuhnya mendekat.
"Cepat katakan, Tristan! Di mana saja jalan yang bisa memotong lintasan?" pekiknya hampir memukul Tristan karena tak sabar.
"Di sisi kiri lintasan. Seratus meter! Setiap seratus meter ...."
Belum sempat Tristan melengkapi kalimatnya, Jourrel menghempaskan tubuh Tristan, lalu memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh.
"Semoga saja tidak terlambat!" gumamnya dalam hati dengan perasaan was was.
Bersambung~
Terima kasih banyak ya hadiah, gift vote dan like komennya 🥰💋