Tiba-tiba saja nenek menyuruhku menikah dengan pria kurang mapan. Aku adalah seorang wanita yang memiliki karier mapan!! Apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek memilih laki-laki dibawah standarku? Apa sebenarnya tujuan nenek?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 24 - Kecemburuan
Rizal mellihat istrinya turun dari mobil itu. Hatinya seketika mendidih oleh amarah.
Ingin sekali dia meninju laki-laki yang berada di dalam mobil itu. Dia menarik
tangan Tia.
“Darimana saja Dek?” tanyanya sembari memegang lengan Tia. Dengan terkejut Tia menoleh
dan dia lebih terkejut lagi setelah melihat siapa yang memegang lengannya.
“Err…Eh…Ma..makan siang Mas…” Tia menjawab dengan gelagapan. Dia merasa seperti
kedapatan telah berselingkuh. Perasaan bersalah menyelimutinya. Melihat ada
laki-laki yang memegang tangan Tia, Alex turun dari mobilnya.
“Ada apa ini?” Tanyanya dengan marah. Rizal menoleh padanya. Aura tatapan membunuh
menusuk jantungnya. Alex menjadi ciut nyalinya ditatap seperti itu. Laki-laki
ini bukan tandingannya, pikirnya kecut.
“Kau bawa dia kemana?!” bentak Rizal pada Alex. Tia terkejut melihat Rizal berbicara
seperti itu. Selama ini dia tidak pernah melihat Rizal meninggikan suaranya.
Rizal begitu marah.
Rizal berjalan ke arah Alex dan menarik kerah bajunya.
“Aku Tanya, Kau bawa dia kemana?!!”
“Ehh…eh…ha…hanya makan siang kok Mas…” jawab Alex tergagap. Bukankah laki-laki ini yang
Tiia kenalin sebagai kakaknya? Kenapa seorang kakak harus over protektif
seperti ini pada adiknya? Bukannya dia memperkosa Tia, dia hanya membawa Tia
makan siang tapi kenapa reaksinya sangat berlebihan sekali? Seolah-olah dia
telah menodai adiknya itu? Alex tak habis pikir dengan sikap Rizal padanya.
“Lepasin Mas… Tadi Mas Alex cuman ngajak makan siang kok…”
“Kenapa Adek mau?! Bukankah Adek tahu kalau tiap
hari Mas bawain makan siang?!” Tanya Rizal sedikit membentak. Amarah
mempengaruhinya. Dia tidak bisa lagi mengontrol nada suaranya yang tinggi. Tia
menjadi gemetar ketakutan. Tapi dia tetap berusaha memisahkan Alex dari Rizal.
“Iya Mas, Aku salah. Lepasin dulu Mas. Ayo Kita ngobrol ditempat lain.” Tia berusaha
mendinginkan amarah Rizal dengan membujuknya secara halus. Akhirnya Rizal
melepaskan cengkraman tangannya pada kerah baju Alex.
Tanpa berkata apa-apa pada Alex, Tia menarik tangan Rizal menjauh dari tempat itu.
Dia mencari tempat yang tenang. Kemudian dia mengeluarkan air dari dalam tasnya
dan menyerahkannya pada Rizal.
“Minum dulu Mas…” Rizal menepis minuman itu. Napasnya masih terengah-engah. Kemarahan
belum hilang dari dalam dirinya. Tanpa menyerah Tia tetap menyodorkan minuman
itu, akhirnya Rizal mau menerima dan meminumnya. Setelah Rizal tenang, Tia
menjelaskan.
“Tadi Mas Alex ngajak makan siang diluar Mas…”
“Kenapa Adek mau?!”
“Lho, bukannya Aku udah minta ijin ke Mas ya? Lalu masalahnya dimana?”
“Adek gak tahu bahayanya laki-laki dan perempuan berduaan?”
“Ya ampun Mas, aku gak berduaan. Tadi makan ditempat rame…”
“Kalian hanya berdua di dalam mobil!! Apa itu bukan berduaan?? Dia bisa melakukan apa
saja di dalam mobil. Adek harus pikirkan hal itu.”
“Mas Alex bukan orang yang seperti itu Mas…”
“Darimana Adek tahu dia bukan orang yang seperti itu? Bukankah kalian baru kenal?”
“Tapi Aku yakin dia bukan orang yang seperti itu Mas.”
“Mas gak suka Adek pergi berduaan dengannya. Ini tidak adil Dek.” Rizal berkata dengan
putus asa. Raut wajah kesedihan memayungi wajahnya.
“Tidak adil bagaimana Mas?”
“Adek memberi kesempatan laki-laki itu untuk mendekati Adek, tapi kenapa tidak
memberi Mas kesempatan yang sama? Apa Mas sungguh tidak pantas untukmu Dek? Apa
karena pekerjaan Mas? Apa Adek akan memberi Mas kesempatan kalau pekerjaan Mas
lebih baik darinya?” Rizal bertanya dengan sedih. Hatinya begitu sakit melihat
istri kesayangan keluar dengan laki-laki lain. Pikiran-pikiran buruk melintas
dikepalanya. Apa saja yang mereka lakukan? Apa yang dilakukan baj*ngan itu
terhadap istrinya? Apa mereka berpegangan tangan? Berpelukan? Berciuman?
Arrrgggghhhhhh!!!
Tia terdiam mendengar pertanyaan Rizal. Hatinya sudah begitu picik. Dia
membeda-bedakan orang berdasarkan pekerjaannya. Betapa kotor hatinya. Memang
kenapa dengan pekerjaan Rizal?? Pekerjaannya halal, tidak merugikan orang.
Rizal bukan seorang pencuri, perampok, atau pun penipu. Dia pekerja buruh
bangunan. Lalu kenapa?? Ada yang salahkah dengan pekerjaan itu?
Tia tertunduk malu. Selama ini dia sudah begitu tidak memiliki perasaan. Hanya karena
pekerjaan suaminya yang seperti itu, dia sudah menyepelekan laki-laki itu. Tia
merasa sangat bersalah. Apa seorang buruh benar-benar tidak pantas untuknya?
Sehebat apa dirinya sehingga berhak menilai pantas tidaknya seseorang untuknya?
Dia juga hanya seorang pekerja, bukan seorang bos. Kalaupun dia seorang bos,
dia juga tidak boleh memandang rendah pekerjaan orang lain.
“Jawab Mas Dek. Apa Adek akan memberi Mas kesempatan jika pekerjaan Mas lebih baik
dari dia?” Tia tersentak dalam lamunannya, dengan lemah dia menjawab.
“Kesempatan seperti apa yang Mas inginkan?”
“Mas ingin Adek adil. Kalau Adek memberikan laki-laki itu kesempatan untuk mendekati
Adek, Mas juga pengen Adek memberikan kesempatan itu. Mas ingin Adek menilai
Kami secara adil. Berilah Mas kesempatan untuk dekat denganmu Dek, pleaseeee…”
Rizal memohon dengan mata sedih dan berkaca-kaca, tersentak hati Tia
melihatnya. Begitu besar kah cinta lak-laki ini untuknya? Apa dia harus
memberikan kesempatan itu?
Tia begitu bingung, namun setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia menjawab.
“Ya udah terserah Mas saja.”
“Beneran Dek? Adek ngasih Mas kesempatan kan?”
“Iya…”
“Beneran ya Dek?? Beneran? Mas gak akan sungkan-sungkan mulai sekarang.” Raut wajahnya
yang awalnya lesu dan penuh kesedihan berubah menjadi keceriaan. Rizal sangat
senang dengan jawaban istrinya itu.
“Tapi ada syaratnya Mas.”
“Apa syaratnya Dek?”
“Tetap mengacu pada perjanjian. Tidak boleh ada yang tau Kita sudah menikah. Tidak ada
kontak fisik tanpa persetujuan. Karena Aku akan memberikan Mas kesempatan yang
sama dengan Alex, Mas tidak boleh mencampuri urusanku atau apapun yang Aku
lakukan dengan Alex. Mas cukup mengambil kesempatan yang Aku berikan.
Bagaimana?” Sebenarnya Rizal keberatan dengan semua syarat yang diajukan Tia,
tapi mau tidak mau dia harus mengambil kesempatan ini.
“Baiklah, Mas setuju. Terima kasih ya Dek.” Rizal meraih tangan Tia dan menggenggamnya.
Memandang wajah Tia dengan tatapan inten. Tia menjadi gelagapan dan salah
tingkah. Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya mulai berkeringat dingin.
Tangan Rizal seolah-olah memancarkan aliran listrik dan membuatnya tersengat.
Dia menepis tangan Rizal.
“Ingat Mas, tidak ada kontak fisik! Aku masuk dulu Mas.” Tia berlalu dengan
terburu-buru. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Nanti Mas jemput Dek.” Tia melambai-lambaikan tangannya tanpa menoleh. Seolah-olah
mengatakan bahwa hal itu bisa dibicarakan nanti. Rizal tersenyum puas. Akhirnya
kesempatan datang padanya.