Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Reany
Ruang keluarga mansion Wijaya selalu hangat, tapi malam itu terasa seperti ruang sidang.
Sisilia duduk tegap, kaki disilangkan rapi. Doroti duduk di ujung sofa, tubuhnya condong ke depan seperti menunggu gosip paling penting dalam hidupnya.
Reani baru saja duduk ketika keduanya langsung fokus padanya.
Sisilia membuka percakapan duluan.
“Jadi, ceritakan. Bagaimana pertemuanmu dengan Gerald?”
Doroti mengangguk cepat, matanya membesar.
“Iya, cepat Rea! Dari awal. Jangan dipotong.”
Reani memutar mata, menyandarkan punggung ke sofa. “Kalian seperti mau mewawancarai kandidat presiden aja.”
“Rea.” Sisilia mendesah, nada suaranya tegas. “Dia itu bukan sembarang pria. Dia Gerald Alfonso. Kamu itu dulu tunangannya.”
Doroti menimpali, “Dan pria itu… hmm… sangat menakutkan.”
Lalu buru-buru menutup mulut saat Sisilia melirik tajam.
Reani mendesah panjang. “Baiklah. Aku ceritakan.”
Sisilia dan Doroti langsung merapat sedikit.
Reani mulai berbicara.
“Pertama… dia datang tepat waktu. Tidak lebih, tidak kurang. Pas.... Seperti orang yang hidupnya diatur dengan stopwatch.”
Sisilia mengangguk kecil. “Memang begitu.”
“Dan… ya ampun… dia tinggi sekali. Aku harus mendongak. Matanya… warna coklat keemasan. Bukan coklat biasa. Kayak… kalau kena cahaya, warnanya berubah.”
Doroti memotong cepat, “Ya itu justru menakutkan, Rea.”
Reani mengabaikannya.
“Dia… dingin, tapi aku juga lihat usaha dia buat… lebih ramah ke aku.”
“Usaha?” Sisilia menyipitkan mata.
“Dia mencoba tersenyum. Tapi… bentukannya seperti orang yang nahan buang air kecil.”
Doroti langsung tertawa keras.
Sisilia menahan tawa, tapi bibirnya naik sedikit.
Reani mengangkat bahu. “Tapi asli… dia sopan banget, nggak ada sentuhan berlebihan, nggak ada tatapan aneh. Dia duduk tegap, seperti manekin. Bahkan saat minum pun dia nunggu aku dulu.”
Doroti bersandar. “Dia sopan karena takut sama kamu mungkin.”
Reani mencibir. “Sopan karena terbiasa, Doroti.”
Sisilia mengetuk meja kecil dengan jarinya. “Bagaimana obrolan kalian?”
Reani mengembuskan napas, lalu mendadak tersenyum kecil.
“Kami ngobrol tentang hobi dulu. Dia ternyata suka traveling… tapi bukan yang santai. Dia suka ke tempat yang dingin, yang sepi. Katanya itu bikin pikirannya jernih.”
“Dia memang begitu,” gumam Sisilia. “Terobsesi pada ketenangan.”
“Aku bilang aku suka menulis. Dan dia bilang… itu menarik.”
Nada Reani melembut.
“Gerald bertanya banyak hal… tapi tanpa menginterogasi. Lebih kayak orang yang ingin memahami.”
Doroti mencondongkan badan, tidak sabar.
“Dan perasaan kamu? Jujur aja deh.”
Reani terdiam sejenak.
“I… was surprised,” katanya pelan.
“Awalnya aku kira dia akan sombong dan dingin. Tapi… dia canggung. Dia berusaha keras untuk jadi ramah. Bahkan… sempat salah panggil namaku.”
Doroti memekik kecil. “Astaga lucu banget! Pria seperti itu salah panggil kamu?”
Reani mengangguk. “Iya. Dia mau bilang ‘Rea’, tapi entah kenapa keluar ‘Re-at… Re-ai… Re…’ gitu. Lucu deh.”
Sisilia menutup mulutnya agar tidak tertawa.
“Aku lihat… dia sebenarnya gugup,” lanjut Reani.
Doroti langsung dramatis memegang dada. “Pria setinggi 189 cm, wajah mirip dewa Yunani, rahang tajam, mata emas, lalu GUGUP?! Ya Tuhan… dunia ini aneh.”
Reani mengedikkan bahu.
“Ya, mungkin karena baru pertemuan pertama.”
Sisilia menatap Reani intens.
“Dan bagaimana kamu memandang dia sekarang?”
Reani menggigit bibir.
“Gerald itu… bukan tipeku. Tapi… dia bukan pria buruk. Dia membosankan, terlalu formal, tapi jujur. Modal wajah bagus bukan sesuatu yang aku cari—meski dia memang… terlalu tampan.”
Doroti bersorak, “itulah masalahnya!”
Reani menambahkan, “Tapi aku nggak benci pertemuan tadi. Bahkan… ya… aku menikmati obrolannya. Dia membuatku merasa dihormati.”
Sisilia bersandar lega.
“Bagus, kalau begitu, kamu boleh bertemu dia lagi. Rea beri dia… kesempatan.”
“Ya Ma, aku tahu.” Reani menatap ke luar jendela.
“Hanya saja, aku belum yakin apa yang aku rasakan.”
Doroti menepuk bahu Reani.
“Yang penting kamu tidak kabur darinya. Dia pria yang… ya… punya masa lalu menyeramkan—”
“Doroti!” Sisilia kembali memperingatkan.
Doroti langsung menunduk. “Maaf, Tante.”
Reani mendesah. “Kalian berdua ini… membuatku makin penasaran, tahu.”
Sisilia tertawa kecil. “Cari tau dong.”
Obrolan itu terhenti dengan Reani yang memutuskan masuk ke kamar dan meninggalkan Mama dan Sepupunya yang sedang asik melanjutkan topik hangat tentang Gerhana.
____
Ditempat lain...
Tepatnya di mansion megah milik Keluarga Alfonso.
Gerald memasuki mansionnya dengan langkah teratur. Suasana rumah besar itu tenang seperti biasa, tapi tubuhnya masih membawa sisa rasa tegang dari pertemuan barusan.
Sebuah suara memanggil dari ruang tamu.
“Gerald?”
Ibu Gerald, Marienne Alfonso, berdiri sambil melipat tangannya. Wajahnya selalu tenang, tapi matanya mengawasi setiap detail. Di sofa, ayahnya, Samuel Alfonso, sedang meletakkan dokumen dan menaikkan sedikit kacamatanya.
“Kau pulang terlambat,” ujar Samuel tanpa nada marah, hanya sebuah observasi.
“Aku mengantar Reani pulang,” jawab Gerald.
Marienne langsung memberi isyarat agar Gerald mendekat. “Kami ingin mendengar bagaimana pertemuan kalian. Janji sebelumnya sempat kau batalkan. Kali ini… berhasil bertemu, kan?”
Gerald menarik napas, lalu duduk.
“Ya. Aku bertemu dengannya hari ini.”
Samuel menatap tanpa ekspresi. “Bagaimana gadis itu?”
Gerald memijit lehernya sebentar. Kebiasaan ketika ia merasa tidak nyaman mengungkapkan sesuatu.
“Dia datang tepat waktu. Dan… komunikasinya baik.”
Itu jawaban aman. Tapi Marienne langsung mencondongkan tubuh.
“Komunikasinya baik?” ulangnya. “Gerald, itu jawaban rapat bisnis. Bukan jawaban dari pertemuan perjodohan.”
Gerald menatap ibunya, lalu menyerah.
“…Pertemuan itu berjalan cukup lancar. Aku kira akan canggung, tapi tidak separah yang kubayangkan.”
“Tidak separah yang kau bayangkan,” gumam Samuel. “Yang berarti kau sempat gugup.”
Gerald terdiam. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi kedua orang tuanya bisa membacanya dengan mudah.
Marienne setengah tersenyum. “Gerald, jangan menutup-nutupi. Kau sebenarnya menyukai pertemuan itu?”
Gerald mengusap telapak tangannya. “Dia… membuatku merasa harus berusaha bicara. Bukan karena terpaksa. Tapi karena… dia menatap langsung dan menunggu jawabanku.”
Samuel mengangguk kecil. “Dia tidak membuatmu tidak nyaman.”
“Tidak, Ayah. Hanya… aku yang terlalu kaku.”
Gerald menahan napas sebentar. “Aku beberapa kali ingin membuka obrolan, tapi malah diam.”
Marienne tertawa tipis. “Itu sudah bagus. Setidaknya kamu mencoba.”
Gerald melanjutkan, suaranya pelan tapi jelas.
“Dia baik, tidak terlalu banyak bicara. Itu membuatku… bisa bernapas.”
Samuel dan Marienne saling bertukar pandang. Keduanya mengerti, ini reaksi yang jarang Gerald berikan pada seseorang.
Marienne kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatnya tentang rencana perjodohan? Ia tampak keberatan?”
Gerald menggeleng. “Aku rasa tidak, dia terlihat menerima dan terbuka disetiap obrolan bahkan Rea juga bertanya beberapa hal tentang pekerjaan dan hobiku.”
Samuel menutup dokumen di pangkuannya. “Dan menurutmu?”
“Dia… gadis yang kurasa bisa cocok untukku,” jawab Gerald.
“Tidak manja, dan yang paling penting.... Rea bukan tipe wanita yang suka bermain drama... wanita itu kuat.”
Marienne memperhatikan wajah putranya yang tampak lebih tenang dibanding sebelum berangkat.
“Gerald, apakah kamu ingin bertemu dia lagi?” tanyanya langsung.
Gerald tidak menghindar kali ini.
“Ya, tentu jika Rea mau.”
Samuel bersandar. “Baiklah, atur jadwal mu dan kali ini jangan membatalkan janji seenaknya.”
Gerald menunduk sedikit. Ia tahu ayahnya benar—pertemuan pertama mereka sudah tertunda dua kali karena pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan.
Marienne menyentuh bahu Gerald singkat. “Kamu berhasil melewatinya. Itu langkah bagus.”
Gerald berdiri, hendak menuju kamarnya.
Sebelum pergi, ia berkata tanpa menoleh.
“Aku akan menunggu dia menghubungi. Atau… aku bisa mengirim pesan dulu.”
Marienne tersenyum. “Itu ide yang lebih baik.”
Gerald mengangguk dan berjalan naik.
Langkahnya masih tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda.
Gerald tidak merasa kosong seperti biasanya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia pulang dengan kepala penuh satu nama.
Rea.
bersambung.....