Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
Season 2 : 33
Gudang Pengolahan Kopi di kebun.
Bara dan Kania sedang berada di rumah baru mereka, merencanakan jadwal pernikahan, ketika ponsel Bara berdering keras. Itu adalah panggilan dari Radit.
Radit
Bar! Kau harus cepat kemari! Ada yang menyabotase gudang pengeringan! Sebagian besar kaca pecah, dan mesin pengering sortir kita dirusak!
Bara wajahnya tegang, melompat berdiri.
Sial! Itu pasti pekerjaan Tuan Dirga! Kita kesana sekarang, Kani!
Bara dan Kania tiba di gudang. Mereka melihat pemandangan yang kacau; kaca-kaca pecah, dan beberapa bagian penting dari mesin pengering biji kopi rusak parah. Radit dan beberapa pekerja tampak marah dan frustasi.
Radit menunjuk ke jejak kaki yang besar. “Mereka datang saat subuh. Ini disengaja, Bar. Mereka tahu persis bagian mana yang harus dirusak agar kita tidak bisa memproduksi biji kopi hari ini.”
Kemarahan Bara memuncak. Ia melihat kebun kopinya, warisan yang ia cintai, diserang secara fisik.
Bara mengepalkan tangan. “Pria itu melewati batas! Dia menyerang mata pencaharian seluruh desa!”
Naluri lama Kania menyuruhnya panik, tetapi ia ingat janji mereka. Ia harus menjadi ‘otak’ saat Bara menjadi ‘tangan’ di lapangan.
“Mas Bara, jangan biarkan emosi menguasai! Kita harus membagi tugas!” Ujar Kania tegas, menarik perhatian Bara. “Mas, kau urus keamanan dan estimasi kerusakan. Jangan biarkan ini menyebar menjadi kepanikan. Kau harus menenangkan para pekerja. Aku akan menelepon Dini dan Ayahku. Kita butuh pengacara dan kita butuh damage control digital. Kita akan merekam kerusakan ini dan mengubahnya menjadi bukti untuk melawan narasi kebohongan Dirga di media.”
Bara menatap Kania. Ia melihat Kania yang dulu ketakutan di tengah krisis generator kini berubah menjadi pemimpin yang tangguh. Ia mengangguk, mengakui keahlian pasangannya.
“Baiklah. Kau urus luar, aku urus dalam. Radit, bantu aku mengamankan biji kopi yang tersisa!”
Bara segera mengambil alih komando di antara para pekerja, fokus pada perbaikan dan keamanan. Kania mengeluarkan ponselnya, siap mengubah tragedi ini menjadi babak baru dalam campaign “Akar Kencana”.
Sore hari. Beberapa jam setelah insiden sabotase. Kania duduk di depan laptop-nya, terlibat dalam panggilan video yang serius. Di sampingnya, beberapa foto kerusakan gudang pengolahan dan pecahan kaca terpampang jelas. Ia mengenakan pakaian profesional, kontras dengan latar belakang pohon kopi.
“Ya, Pak Rio. Kami punya rekaman CCTV yang tidak hanya menunjukkan jejak kaki, tetapi juga mobil yang mencurigakan di jalan menuju gudang. Saya ingin Anda fokus pada dua hal: Pertama, ancaman antitrust terhadap Tuan Dirga karena memonopoli pasokan packaging. Kedua, tuntutan perdata atas sabotase dan pencemaran nama baik.”
Di layar laptop terlihat Mr Haryo dan seorang pengacara, Pak Rio.
Mr. Haryo di layar, tersenyum bangga. “Kania, kamu menanganinya dengan sangat baik. Papa akan pastikan Pak Rio dan tim terbaik kami bergerak cepat. Dirga tidak akan menyentuh bisnis calon menantuku.”
“Terima kasih, Pa. Kami akan mengirimkan bukti fisik dan laporan kerugian malam ini juga.”
Panggilan video berakhir. Kania menghela napas, lega tapi lelah.
Tiba-tiba Bara masuk dari pintu belakang, tangannya berlumuran tanah karena baru selesai mengamankan kebun dan mengatur pekerja. Ia membawa dua cangkir teh hangat.
Bara menyodorkan teh. “Aku dengar suara CEO kita. Bagaimana? Apakah ayahmu bisa membantu kita melawan kekuatan Tuan Dirga?”
Kania mengambil teh, wajahnya melembut. “Tentu. Papa dan tim hukumnya akan mengurus tuntutan nya. Sementara kita, Tuan Bara, kita akan melancarkan serangan balik digital kita.”
Kania meraih tablet dan menunjukkan draf video.
“Malam ini, kita rilis video “Mengapa Mereka Ingin Menghancurkan Akar Kencana”. Kita tunjukkan gudang yang rusak, kita tunjukkan ibu-ibu tenun yang kehilangan penghasilan sementara, dan kita tunjukkan bahwa ini adalah perang antara keserakahan dan komunitas Akar Kencana.”
Bara duduk di samping Kania, memandangi wajah lelah tetapi penuh tekad itu. “Aku bangga padamu, Kania. Kamu adalah benteng yang selama ini kucari.”
Kania bersandar di bahu Bara. “Kita adalah benteng yang sama, Mas. Aku mungkin membawa pengacara, tapi kau membawa keberanian dan pondasi yang jujur. Aku tidak takut lagi, selama kita bersama.”
Mereka berdua menghabiskan teh mereka, siap menghadapi malam yang panjang untuk menyusun campaign paling emosional dan jujur yang pernah mereka lakukan.
**************************************
Malam hari, Kania dan Bara duduk berdekatan di depan laptop. Mereka baru saja merilis video campaign “Mengapa Mereka Ingin Menghancurkan Akar Kencana” di semua platform. Video itu menampilkan kerusakan gudang, wawancara jujur dari Radit, dan janji Bara untuk tidak memecat satupun pekerja.
Bara gugup. “Bagaimana, Kani? Apakah ini terlalu emosional?”
Kania memegang tangan Bara. “Tidak. Ini adalah kejujuran. Mereka akan merasakannya.”
Seketika, notifikasi mulai membanjiri layar. Kania menggeser ke bagian komentar.
Komentar-komentar dukungan membanjiri:
“Kami akan membeli kopi ini seumur hidup!”,
“Pengusaha besar itu tidak punya hati!”
“Kami percaya pada Akar Kencana!”
Pesanan Pre-Order langsung melonjak, melampaui kerugian akibat sabotase.
Air mata Kania mengenang, tetapi ia tersenyum lebar. “Kita berhasil, Mas! Mereka memilih kita! Mereka memilih komunitas kita!”
Bara memeluk Kania erat. “Kau luar biasa. Kau menggunakan kepintaranmu untuk menyelamatkan akar kita.”
Kantor Mewah Tuan Dirga di Jakarta.
Tuan Dirga berdiri di depan layar monitor besarnya, wajahnya merah padam karena marah. Di layar itu, terpampang jelas video Kania dan Bara yang viral. Pengacaranya, yang baru saja mendapat tuntutan dari tim Mr.Haryo, berdiri ketakutan.
Tuan Dirga membanting gelas yang ada di meja. “Apa-apaan ini?! Tuntutan antitrust?! Dan video cengeng ini membuat saham kita anjlok?! Aku menyuruh kalian menghancurkan bisnisnya, bukan menjadikannya superstar di media sosial!”
“Tuan, tim hukum mereka sangat kuat. Mereka punya bukti sabotase fisik dan dukungan publik. Serangan kita menjadi bumerang.” Ujar Asistennya.
Tuan Dirga menarik napas. “Aku tidak bisa membiarkan anak-anak bodoh itu menang! Jika aku tidak bisa membelinya, aku akan pastikan mereka kehilangan segalanya.”
Dirga mengeluarkan ponselnya. Ia memanggil seseorang dengan nada dingin dan penuh ancaman.
“Dengarkan baik-baik. Aku ingin kau melakukan satu hal terakhir. Aku ingin kau pastikan Saluran Irigasi Utama di Desa Ranu Asri terputus. Sekarang. Biarkan kebun itu layu dan mati sendiri.”
Sedangkan di tempat lain, Kania dan Bara merayakan kemenangan kecil mereka. Mereka tidak tahu, ancaman terburuk—ancaman yang menyentuh inti kelangsungan Desa Ranu Asri—baru saja dimulai.