NovelToon NovelToon
WHO¿

WHO¿

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Genius / Identitas Tersembunyi / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: jewu nuna

Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.

Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?

Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duapuluh Tiga

Pria itu menghela napas. Menatap bayangan tubuhnya seakan bicara kalau semua perjalanan ini sia-sia. Terkesan apa yang disampaikan tidak benar dan jadi boomerang untuk dirinya sendiri. Harusnya sejak awal dia tidak mau berurusan dengan gadis itu. Harusnya dia tidak penasaran dengan sikap misterius Aletha yang justru menjerumuskannya pada palung yang paling dalam. Harusnya demi harusnya, seandainya demi seandainya terus menghantui isi kepalanya.

Saat semua orang menganggap Aletha itu aneh, Khalil berusaha untuk memahami sudut pandang gadis itu. Sama seperti yang Avrem dan Kasandra bilang, bahwa Aletha adalah gadis yang unik.

Tepat pukul lima sore lebih satu menit, pada jam tangan yang tergelang di lengan kirinya. Khalil berdiri didepan pintu rumah Delleta. Gadis yang memilih untuk menghindar saat pembicaraan soal Sean memenuhi ruangan. Delleta mendekap tubuh Khalil saat pria itu menangis tanpa suara. Ekspektasi yang dia ciptakan sendiri jadi pembunuh paling kejam sekarang.

“Kenapa?”

“Sean nggak akan kaya gitu, Del”

“Kaya gitu gimana?”

“Lo inget pas gue tanya soal kasus pembunuhan tempo hari?” Khali melepas pelukan mereka, mengusap pipi sebelum benar-benar melihat ke arah Delleta.

Gadis itu terdiam. Semakin menutupi sesuatu, justru akan semakin ketara. Itulah yang Khalil lihat, bagaimana gelagat sahabatnya, bahkan gerakan kecil di sudut matanyapun. Khalil mampu memaknai tersiratnya pergerakan Delleta.

“Del, apa yang lo sembunyiin?”

“Gue nggak terlibat”

“Gue nggak nanya lo terlibat apa enggak, tapi apa yang lo tahu sampai gue aja nggak boleh tahu soal ini?”

Delleta menghela napas, menepuk pundak Khalil. Baginya, Khalil adalah anak yang baru tumbuh, baru berkembang daya pikirnya, dan belum bisa berpikir rasional. Pria itu hadir bukan untuk memproses keadaan sebesar ini. Bahkan Delleta saja tidak mau menerima kenyataan ini jatuh pada Sean, bagaimana dengan Sean?

“Khal, ini bukan ranah kita”

Khalil terkekeh, mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali ke arah tujunya. Manik tajam merah itu terlihat sangat murka. Memilih mengadili siapa jika tersangkanya justru sahabatnya sendiri? Saat dia berpikir semua yang Aletha peperkan adalah kotoran. Tapi ternyata pemutih yang Sean pakai justru lebih mahal.

“Dimana Sean?”

“Gue nggak tahu”

“Dimana dia!”

Delleta diam. Tidak ada suara selain sisa gema disekitar rumah Delleta. Beberapa tetangga yang ada diluar hanya sempat sesekali menoleh dan memilih tidak peduli. Bahkan dengan kemarahan Khalil yang meradang.

“Dimana, Dell” sesalnya.

“Khal, udah ya?”

“Apa?” Khalil kembali tertawa. Bahkan seseorang yang dia anggap sedekat itupun menyembunyikan fakta menyedihkan. Fakta yang harusnya dia tahu tapi sengaja semua orang tutupi, tentang kebusukan sahabatnya. Tentang seseorang yang dia pikir tidak sekejam ini.

“Kita semua udah selesai, satu Indonesia sudah selesai sama masalah ini”

Khalil menggeleng, pria itu menerobos masuk tepat pada kamar yang bersuhu dingin. Seperti tidak pernah dijamah oleh sang pemilik. Khalil menghela napas resah saat Delleta berusaha menghalanginya, mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan Khalil.

“Ya udah, kalau lo nggak mau kasih tahu apa kelakuan dia, gue bakal cari tahu sendiri. Tentang kenapa lo milih buat diem aja, selama ini emang kaya gitu kan, Dell?”

Delleta menggeleng penuh, mengusap pundak Khalil dengan tangan yang lain. Menyampaikan rasa sayang yang belum sempat tersulurkan dengan baik. Pada adik yang sangat susah sekali dia ajak bicara. Bukan karena Khalil, tapi karena dirinya sendiri.

“Apa sih yang bisa gue harapin dari kalian? Bahkan saat gue udah naruh semua beban gue disana, kebohongan yang gue terima”

“Enggak, Khal”

“Enggak apa? gue tuh kadang suka berandai-andai, Dell. Seandainya gue nggak ikut kalian masuk ke Samudra, andai gue nggak tahu semua masalah ini, andai gue nggak kenal kalian atau bahkan Athena”

“Athena?”

Amukan pria itu pecah jadi tangisan kembali.

“Gue harus ngomong sama dia, Khal”

Khalil tersenyum, “Buat apa? lo mau bujuk dia supaya ngelupain semuanya, tentang kematian Revano yang satu Indonesia tutupi sama kekuasaan bokap dia. Tentang arah pandang dia yang menurut lo bisa lo provokasi?”

Delleta melepas genggaman tangannya. Terakhir kali melihat Athena, gadis itu masih SMP. Tidak tahu persisnya kapan, tapi Delleta bisa lihat jelas kematian menyelimuti sudut pandangnya, gelap dan tidak ada harapan. Delleta tahu gadis itu berduka dan seperti kehadirannya saat itu tidak pantas untuk sementara. Sebelum akhirnya memilih menjauh, dia justru kehilangan jejak seseorang yang dia hutangi penjelasan.

“Munafik, tahu kan?”

Khalil berbalik, menjamah isi kamar Delleta berharap menemukan bukti. Memang tidak ada yang berubah sejak terakhir dia datang dengan maksud yang sama. Namun dengan aksi yang sedikit berontak. Gadis itu hanya diam bersandar pada ambang pintu. Menyaksikan kemurkaan Khalil yang selama ini tidak pernah dia temui lagi.

Pria itu sejenak diam. Pada buku diary dan album foto usang yang dia letakkan dilaci meja belajar. Khalil ingat, Delleta menyembunyikan sesuatu disana. Tidak jauh dari tumpukan buku pelajaran SMA dan beberapa jurnal materi kampus. Sang pemilik hanya menghela napas resah, karena sampai kapanpun dia menyembunyikan bangkai, pasti akan ketahuan juga.

Beberapa tulisan kebahagiaan karena kehadiran Sean dan Khalil. Tentang bagaimana hancurnya dia ketika nilai ulangan menurun. Fakta kehadiran Sean adalah anugrah terbaik karena hanya dengannya dia membagi waktu dan jatuh cinta sendirian.

“Iya, gue suka sama dia”

Pria itu hanya diam. Khalil pernah membaca sebuah kata yang bicara, kalau laki-laki dan perempuan itu sepatutnya jangan bersahabat, karena cepat atau lambat salah satu atau keduanya akan berkhianat. Dan Khalil tidak bisa membenarkan atau menyalahkan, lagian kalau bicara soal hati dan isi kepala pasti tidak akan ada habisnya juga.

Sebuah foto jatuh tepat saat tulisan cinta terukir pada lembar sebelumnya. Tiga manusia yang berjejer dengan senyum bahagia, seragam Samudra High School yang mereka pakai, dengan gaya Sean yang brandalan, dan gaya culun Revano. Sayang sekali, kedua dimensi itu, penengah mereka justru membiarkan semuanya terjadi. Bekas sobekan pada foto tubuh Delleta yang tersambung dengan solatip bening. Tertera tanggal yang jadi kenangan paling menyedihkan bagi ketiga manusia itu.

Khalil menghela napas panjang. Lusuh foto dengan bercak darah. Senyum yang tidak akan pernah Khalil jumpai lagi. Entah untuk Sean, Delleta, atau bahkan Revano.

“Kita temenan sejak Vano sempet cidera pas turnamen atau apa gue lupa, Sean jadi palang merah yang all control kondisi dia karena sempet patah tulang ringan”

Khalil masih sibuk membuka diary dan memori pada album ditangannya.

“Sean udah nggak mau berurusan sama si culun Revano, tapi dia juga nggak mau tindakan lanjut ke dokter, kata dia cuman luka kecil”

Malam ini, Khalil tahu semuanya. Bagaimana persahabatan mereka terbentuk hanya karena patah tulang ringan yang Revano alami. Pria yang memilih mempercayai dua manusia naif, menyangkal kebrengsekan jadi rasa ingin mengerti. Padahal kalau saja Revano tidak sebaik itu, emosi yang telah merenggut seluruh jiwa Sean, nyawa bukan taruhannya.

“Gue nggak tahu lo percaya apa enggak, tapi serangan Sean waktu itu bener-bener,” Delleta menelan ludah susah payah. Mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu dan memilih untuk menceritakannya kembali adalah hal terburuk yang harus dia jalani. Dia bahkan belum sempat berdamai dengan luka itu tapi Khalil menuang air garam pada lukanya.

“Hari itu Sean bunuh Revano, gue nggak tahu harus ngapain”

Delleta menatap Khalil yang membaca kalimat tulisannya beberapa tahun lalu. Sisa air mata yang terlihat jelas, seperti setiap gadis itu membaca halaman ini, selalu meninggalkan jejak.

“Gue dibelakang mereka, gue lihat darah itu ngucur ke tanah, kena tembok, Khal”

Khalil menutup dua buku yang dia pegang. Meletakkannya ke meja belajar sebelum kembali pada ketakutan yang tiba-tiba menyelimuti tubuh gadis itu. Sekujur tubuh bergetar dan arah mata tak karuan, Delleta ada pada masalah yang belum selesai. Sekalipun dia kabur, masalah itu akan terus membuntutinya.

“Kita harus ke kantor polisi”

Delleta menggeleng, “Ini bukan solusinya, lo bener soal bokap dia”

“Gue bahkan baru tahu, semua yang jelas dimata gue malah gue anggap sebagai ancaman karena gue menyangkal kalo Sean ngelakuin perbuatan kriminal itu?”

“Khal, tenang ya”

“Ketenangan nggak akan bikin Revano hidup lagi, nggak akan bikin keluarga mereka nangis diatas ketidak adilan ini,”

“Atas dasar apa sih, jatuh cinta?”

“Kemanusiaan” Khalil merampas buku diary dan album yang tidak dihalang sekalipun dengan Delleta. Gadis itu bahkan diam saja setelah Khalil memilih pergi.

To Be Continue...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!