Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : VERONICA' BELOVED MOTHER AT THE ORPHANAGE
Mentari pagi di Insomnia menyentuh lembut atap Panti Asuhan Bunga Harapan, mewarnai udara dengan kehangatan yang kontras dengan nama kotanya. Di halaman belakang yang asri, dekat pohon apel tua, Veronica sedang mengawasi beberapa anak yang sibuk menyiram tanaman di kebun kecil. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, rambut hitamnya diikat longgar, namun sikapnya memancarkan aura ketenangan yang tidak lekang oleh waktu.
Seorang wanita paruh baya, yang menjabat sebagai kepala juru masak panti, menghampirinya dengan langkah tergesa.
"Nyonya," sapanya dengan nada sedikit khawatir, "Gandum kiriman minggu ini jumlahnya kurang dari catatan. Pedagang dari gerbang barat itu bersikeras ia sudah memberikan jumlah yang seharusnya."
Veronica menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia memegang bahu wanita itu dengan lembut.
"Tenanglah. Biar saya yang urus. Sudah sering hal seperti ini terjadi. Fokuslah untuk sarapan anak-anak."
Wanita itu mengangguk, merasa ditenangkan oleh ketenangan Veronica yang menular, lalu kembali ke dapur.
Veronica kemudian beranjak, berjalan menuju gerbang panti. Tidak jauh dari gerbang, seorang pria berbadan besar dengan janggut tebal, pedagang gandum yang dimaksud, sedang berbicara keras dengan seorang pemuda yang membantu mengurus logistik panti.
Ketika Veronica mendekat, pedagang itu langsung mengalihkan perhatiannya, raut wajahnya berubah dari berang menjadi sedikit tidak nyaman.
"Ah, Nyonya Kepala Panti," kata si pedagang dengan suara yang dibuat ramah, "Saya hanya memastikan bahwa hitungan gandum saya sudah benar. Pemuda ini tampaknya kurang teliti."
Veronica berdiri tegak di hadapan mereka, tingginya tidak seberapa dibandingkan si pedagang, namun auranya membuat si pedagang terasa mengecil. Mata ungunya menatap lurus, tanpa keraguan.
"Anda datang ke sini setiap minggu, Tuan," ujar Veronica dengan nada yang tenang namun tegas, menggunakan bahasa yang sangat baku. "Selama lima tahun terakhir. Jumlah gandum yang kami pesan selalu seragam, dan tidak pernah kurang. Tanda tangan Anda ada di setiap surat pesanan."
Si pedagang mencoba tersenyum, menyeka keringat di pelipisnya.
"Tentu saja, Nyonya. Saya ingat. Namun, kali ini, mungkin ada kesalahan di gudang saya. Kesalahan yang tidak disengaja."
"Kesalahan yang tidak disengaja, begitu?" Veronica mengulangi, nadanya datar. "Bulan lalu, adalah minyak masak yang kurang sepuluh liter. Tiga bulan lalu, kain wol yang seharusnya lima puluh gulungan, hanya empat puluh lima. Semuanya 'kesalahan yang tidak disengaja' dari gudang Anda, yang selalu merugikan panti asuhan tempat puluhan anak yatim bergantung."
Pemuda logistik di sampingnya menatap kagum. Ia belum pernah melihat Veronica berbicara sekeras ini.
Si pedagang mulai kehilangan kesabarannya. Ia membusungkan dada.
"Hati-hati dengan tuduhan Anda, Nyonya. Saya adalah pedagang terhormat di kota ini. Saya hanya menuntut apa yang menjadi hak saya. Jika Anda pikir saya berbuat curang, buktikan."
Veronica tidak gentar. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Ekspresinya sedikit mengeras, seolah topeng kelembutan yang biasa ia kenakan baru saja retak. Selama sepersekian detik, ia tidak terlihat seperti ibu panti yang awet muda, melainkan seseorang yang terbiasa menghadapi tantangan yang jauh lebih berbahaya daripada seorang pedagang serakah.
"Baiklah. Jika Anda ingin bukti, maka kita buktikan. Anda menyebutkan sepuluh karung gandum ini adalah kiriman minggu ini, bukan?" Veronica menunjuk tumpukan karung. "Setiap karung dari pemasok ini memiliki cap khusus di jahitan bawah, cap yang mudah luntur jika gandumnya dipindahkan, untuk memastikan tidak ada pencampuran dengan gandum berkualitas rendah."
Ia maju selangkah, menunjuk jahitan karung paling atas.
"Gandum yang kami pesan seharusnya dari panen awal musim semi. Capnya berwarna hijau zamrud. Saya melihat tiga karung di tumpukan Anda memiliki cap berwarna cokelat kemerahan—gandum yang Anda jual dengan harga lebih rendah di pasar selatan. Anda telah mengganti tiga karung gandum kami dan berharap kami tidak menyadarinya."
Si pedagang terdiam, wajahnya pias. Ia tidak menyangka seorang ibu panti yang lembut akan mengetahui detail serapi itu, sebuah teknik yang hanya diketahui oleh mereka yang menguasai logistik militer atau perdagangan skala besar.
"Nyonya... saya..." ia tergagap.
Veronica menghela napas, aura tegang yang sempat muncul kini mereda, digantikan oleh kelelahan yang samar.
"Saya hanya ingin anak-anak ini makan dengan layak, Tuan. Anda dapat mengambil tiga karung gandum Anda yang berkualitas rendah itu. Berikan gandum yang sesuai dengan pesanan kami dalam waktu satu jam, atau saya akan melaporkan kecurangan ini kepada Persatuan Pedagang dan Kerajaan. Anda tahu betul, mereka tidak akan mentolerir penipuan terhadap anak yatim."
Ancaman itu diucapkan dengan nada tenang, tanpa amarah, yang membuatnya terdengar semakin meyakinkan. Pedagang itu menelan ludah, buru-buru mengangguk, dan segera memerintahkan pengawalnya untuk mengambil kembali tiga karung yang ketahuan curang.
Pemuda logistik itu berbalik kepada Veronica setelah si pedagang pergi.
"Nyonya, bagaimana Anda bisa tahu tentang cap panen itu? Saya bahkan tidak tahu."
Veronica tersenyum, senyum tulus seorang ibu yang telah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
"Ada banyak hal yang dapat Anda pelajari jika Anda memperhatikan sekitar, Nak. Selalu teliti dalam segala hal, terutama jika itu menyangkut makanan anak-anak. Sekarang, mari kita pastikan gandum yang akan datang itu benar-benar sesuai."
Ia berbalik, kembali ke halaman panti yang dipenuhi tawa anak-anak. Di matanya, bukan lagi bayangan medan perang yang terlihat, melainkan masa depan yang cerah dan harapan yang ingin ia pelihara dengan tangannya sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pengalaman yang ia dapat di bawah bendera Shirayuki Sakura, bukan hanya mengajarkannya cara bertarung, tetapi juga cara melindungi dan memastikan setiap detail kehidupan. Ia tidak butuh kemuliaan sebagai prajurit. Ia hanya membutuhkan kehangatan sederhana sebagai seorang ibu.
Matahari telah bergerak tinggi, menandakan waktu istirahat siang. Setelah insiden dengan pedagang gandum, ketenangan kembali meliputi Panti Asuhan Bunga Harapan. Veronica duduk di bangku kayu di bawah naungan pohon apel. Ia sedang sibuk menjahit robekan kecil pada boneka kain usang milik seorang anak perempuan.
Di sekitarnya, beberapa anak sedang bermain. Dua anak laki-laki berpura-pura menjadi ksatria dengan ranting kayu, sementara beberapa anak perempuan berbagi cerita di rerumputan. Suara tawa dan celoteh anak-anak menjadi musik latar yang menenangkan bagi Veronica.
Seorang anak laki-laki kecil, sekitar usia lima tahun dengan rambut ikal berwarna madu, berjalan mendekat sambil membawa buku sketsa kumal. Ia adalah anak yang paling pendiam di antara semuanya, selalu menggambar kapal layar dan pemandangan laut, meski Insomnia adalah kota daratan.
Ia berdiri di samping bangku Veronica, menarik ujung gaunnya pelan.
"Ibu," panggilnya pelan.
Veronica menoleh, meletakkan boneka dan benang jahitnya sejenak. Ia tersenyum lembut.
"Ada apa, Sayang? Apakah kau lapar?"
Anak itu menggeleng. Ia mengangkat buku sketsanya, memperlihatkan sebuah gambar yang baru ia selesaikan. Gambarnya adalah sosok Veronica, tetapi bukan dalam gaun sederhana yang ia kenakan. Gambar itu memperlihatkan Veronica dengan pakaian yang sedikit berbeda, tampak gagah, berdiri di atas benteng yang tinggi dengan rambut hitamnya tertiup angin.
"Tadi malam, aku bermimpi," bisik anak itu, matanya yang besar menatap Veronica penuh tanya. "Di mimpiku, Ibu tidak sedang menjahit. Ibu memegang pedang yang sangat besar dan berkilauan. Ibu melindungi kami semua dari naga yang besar."
Veronica memandangi gambar itu dengan saksama. Garis-garisnya sederhana, tetapi ada aura kebenaran yang tidak disengaja dalam goresan pensil anak-anak tersebut. Itu adalah gambaran yang mengejutkan, mengingatkannya pada seragam militer Shirayuki Sakura dan posisi pertahanannya di masa lalu.
Ia menghela napas samar, namun cepat-cepat menghapus jejak masa lalunya dari ekspresinya. Ia menunjuk gambar pedang yang dipegang sosok itu.
"Wah, pedang yang indah. Tampaknya Ibu di mimpimu adalah pahlawan yang tangguh, ya?"
"Ya! Ibu adalah prajurit paling kuat!" seru anak itu dengan bangga. "Apakah benar, Bu? Apakah Ibu benar-benar prajurit?"
Veronica mengambil tangan anak itu, menggenggamnya hangat. Ia melihat kejujuran murni di mata anak itu.
"Setiap orang yang pernah berjuang untuk hidupnya adalah seorang prajurit, Nak," jawab Veronica, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dulu, Ibu memang harus menjadi tangguh, untuk bertahan dan untuk mencari tempat di mana Ibu bisa merasakan kedamaian."
Ia mengusap lembut rambut ikal anak itu.
"Namun, sekarang, Ibu bukan lagi prajurit yang harus memegang pedang. Sekarang, Ibu hanya seorang 'Ibu'." Ia menunjuk jarum jahit di tangannya. "Pedang Ibu sekarang adalah jarum ini, yang Ibu gunakan untuk memastikan semua anak Ibu hangat. Benteng Ibu sekarang adalah panti asuhan ini, tempat yang Ibu jaga agar kalian semua aman dan bahagia."
"Jadi, Ibu tidak akan pergi lagi?" tanyanya lagi, nada khawatir tersembunyi di balik keingintahuannya.
Veronica menarik anak itu ke pelukannya, memeluknya erat.
"Tidak akan. Ibu sudah menemukan tempat kedamaian Ibu, dan tempat itu ada di sini, bersama kalian semua. Ibu akan selalu ada untuk melindungi benteng ini."
Seorang anak perempuan yang lebih tua, yang sedang bermain tidak jauh dari situ, mendekat dan tersenyum nakal.
"Dasar pemimpi! Ibu itu bukan prajurit, Ibu itu jago membuat kue! Kemarin kue apelnya sangat lezat!"
Anak laki-laki itu cemberut, tetapi senyum muncul kembali ketika Veronica memberikan kue kering dari kantong kecil di saku gaunnya.
"Ibu adalah apa pun yang dibutuhkan oleh anak-anak Ibu," kata Veronica, berdiri dan menuntun kedua anak itu. "Dan hari ini, Ibu rasa, Ibu adalah pembuat kue dan pelayan di meja makan. Sekarang, mari kita lihat apakah ada yang mau membantu Ibu di dapur, sambil kita tunggu makan siang?"
Ketiga sosok itu berjalan beriringan menuju dapur, suara langkah kaki mereka yang ringan menyatu dengan tawa anak-anak lainnya.
Tidak ada lagi bayangan pertempuran, tidak ada lagi kilau pedang. Hanya ada kehangatan Panti Asuhan Bunga Harapan, tempat di mana seorang mantan prajurit memilih untuk menggunakan kekuatan dan ketenangan batinnya untuk merawat, bukan bertempur, dan menjadi pahlawan yang tidak terlihat di mata dunia, tetapi sangat nyata di mata puluhan anak yatim piatu.