Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Tamu Sepupu
"Ayah berangkat ke restoran dari kantor, nggak akan pulang dulu. Sampai ketemu nanti malam, kita kumpul bersama. Ayah ingin semuanya rukun, saling menyayangi." Hilman menutup acara sarapan bersama dengan nasihat bijak versinya. Menyapukan pandangan pada istri pertama, anak, dan menantu. Menurut kacamatanya, anggukan tiga orang yang duduk di kursi makan itu adalah bukti kepatuhan.
"Yah, udah jam setengah delapan. Mau berangkat sekarang?" Suri mengingatkan sambil menatap jam tangan dengan rantai emas dan 12 butir berlian kecil sebagai penunjuk angka.
"Ah iya. Asyik makan sambil ngobrol jadi lupa waktu." Hilma menyusut bibirnya dengan selembar tisu. "Bu, transfer 10 juta hadiah buat Tya."
"Oke, Yah."
"Makasih banyak, Ayah. Duh speechless aku. Besar sekali Ayah ngasihnya." Tya benar-benar bingung harus mengucapkan kalimat terima kasih seperti apa lagi. Hanya senyumnya yang lebar dengan wajah berseri mewakili sukacitanya.
"Lumayan buat jajan. Ayah pergi dulu ya."
Melihat Diaz yang beranjak dari kursinya dan menyalami Ayah Hilman, Tya turut melakukan hal yang sama. Di ruang makan hanya tinggal berdua karena Ibu Suri mengikuti langkah suaminya, mengantar hingga ke teras.
"Mas Diaz..." Tya tersenyum miring.
"Apa senyam senyum."
"Jangan kura-kura dalam perahu, mas bos. Denda..tadi udah tium-tium" Tya menyeringai. "Perlu aku buat surat tilangnya, mas bos. Tenang...ku kasih keringanan. Paling telat bayar dendanya nanti malam sebelum tidur."
"Surat tilang...emangnya pelanggaran lalu lintas. Iya nanti aku transfer," sahut Diaz dengan lesu. Penyebab utama lesunya adalah kenapa bisa khilaf mencium pipi Tya. Gara-gara dimulai kemarin jadi kebablasan.
"Yuhuu...hari ini 12 juta bakal masuk rekening. Alhamdulillah." Tya masih senyum-senyum sambil mengedipkan mata.
Diaz hanya geleng-geleng kepala. Ia kembali duduk. Mulai menyeruput kopi yang tadi disajikan Bi Saroh.
Tubuh dewasa kelakuan bocah. Modelan gini jadi istri gua. Mudah-mudahan Ayah segera nyuruh gua tanda tangan warisan biar kontrak segera end.
Tya kembali duduk di kursi semula. Menatap Diaz yang mulai membuka ponsel. "Mas Diaz, hari ini tugas atau kegiatan aku apa?"
"Nanti tanya Ibu. Gimana dalang."
Tya mengangguk pelan. Senyum kecil terukir di bibir karena mengingat status nya sebagai wayang. "Mas Diaz nggak ke kantor?"
"Besok. Sekarang masih masa cuti. Aku sebenarnya bosan kalau seharian harus di rumah terus."
"Bisa WFH mungkin, Mas. Aku nggak akan ganggu waktumu."
Belum sempat Diaz menanggapi ucapan Tya, Ibu Suri datang dan mengajak berpindah tempat sambil berkata, "Ada yang harus kita diskusikan bertiga."
Tya meniti tangga paling depan bersama Ibu Suri yang merangkul lengannya. Barulah tangannya dilepaskan begitu duduk di sofa yang menghadap televisi layar datar yang besar. Ia menyimpulkan di otaknya jika ini ruang keluarga seperti yang ada di lantai bawah karena sama-sama memiliki televisi.
"Tante Hani siang ini bakal datang sama Ikram. Jadi meskipun Ayah mulai malam nanti giliran di rumah Selly, kalian harus tetap akting karna ada Tante Hani dan Ikram."
Diaz menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Tidak kaget karena sepupunya itu juga mengabari. Dan pesannya baru dibaca saat minum kopi tadi. "Iya tadi Ikram juga nge-chat. Lagi antri boarding pass. Mau nginep berapa hari katanya, Bu?"
"Ibu nggak tanya. Lagian mau lama juga Ibu kangen sama kakak sendiri. Lama tak jumpa."
Tya duduk manis menjadi pendengar. Nama-nama yang barusan dibahas sama sekali belum dikenalnya. Tapi ia bisa menarik kesimpulan dari dialog Ibu Suri dan Diaz itu.
"Ah, lupa. Tya kan belum kenal. Tante Hani itu kakaknya Ibu. Punya dua anak. Yang pertama Rianti udah nikah, Ikram anak kedua seusia Diaz, belum nikah. Kemarin nggak bisa datang karna barengan Ikram wisuda S2 di UGM. Tante Hani single mom. Dulu waktu Ikram umur 12 tahun, suaminya terciduk lagi di kamar hotel sama teman satu kantor. Akhirnya gugat cerai. Nasib adik kakak kok mesti sama ya diduakan suami. Bedanya kalau Ibu, suaminya terang-terangan minta izin nikah lagi dan Ibu harus nurut." Ibu Suri tertawa sumbang.
"Tapi Ibu juga udah bersiap menyambut kebebasan dengan elegan. Dan pemegang kuncinya ada di kalian. Diaz, Tya," pungkas Ibu Suri kali ini tersenyum lembut dengan tenang.
Ketika perempuan terlalu sakit hati, reaksinya bisa berupa kesedihan mendalam, perubahan emosi ekstrem, bahkan depresi. Itu semua sudah dilalui Suri di masa-masa awal suaminya punya istri kedua. Pada akhirnya, hati yang luka bisa pulih dengan cara mengizinkan diri berduka, curhat kepada orang terdekat, merawat diri, mencari kesibukan baru, dan fokus pengembangan diri.
Tya mengedip dengan tatapan tak beralih memandang wajah ibu mertuanya itu. Terkesima sekaligus takjub karena ketegaran yang tampak kasat mata. Namun, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
"Nanti dinner jam berapa, Bu?" Diaz mengalihkan pembahasan.
Tidak ingin larut dalam suasana melankolis. Keputusan Diaz menuruti misi Ibu dengan mengorbankan perasaannya yang terpaksa menurut menikah, semata demi pengabdian pada wanita tangguh yang telah mendidiknya untuk jadi laki-laki tahan banting. Ditambah didikan ayahnya juga keras. Sedari kecil sering diajak ke lapangan. Ayah Ilham memang pekerja keras dan bertangan dingin di dunia bisnis.
"Jam tujuh udah sampai di hotel. Kita datang dengan kepala tegak. Tunjukan dominasi kita dengan cara elegan."
Waduh. Kalau udah lihat ekspresi Bu Suri sangar begini jadi merinding ngeri-ngeri sedap.
"Orang suruhanku lagi mengawasi gerak gerik Boby dan Leony. Aku pengen dapetin video aib mereka buat ditunjukin ke Ayah."
"Bagus. Kerjakan dengan smooth, Nak. Soalnya mereka juga lagi pada ngincer hak warisan. Mereka takut haknya dipangkas kalau sampai terlibat pergaulan negatif."
"Dan untuk, Tya. Tanggapi keramahan mereka dengan keramahan yang sama tapi harus waspada ya, Nak. Mereka ibu dan anak suka licik."
"Siap, Bu. Aku udah persiapkan mental. Kalau mereka jadi bawang merah, aku siap jadi bawang bombay."
Ibu Suri tertawa. "Bisa aja nih mantu. Istilahnya lain dari yang lain. Oh ya, Ibu barusan udah transfer. Ada notif nggak?"
Tya merogoh ponsel yang ada di saku roknya. Sedari keluar kamar sudah dipasang mode silent, tidak tahu berapa banyak notifikasi yang masuk.
"Ada, Bu. Tapi kelebihan transfernya. Ini 30, Bu." Tya mendongak menatap Ibu Suri. Ia berpikir mertuanya itu salah ngetik angka.
"Yang 10 hadiah dari Ayah. Yang 20 itu nafkah kau, Tya. Ibu udah tunaikan kewajiban kontrak, ngasih nafkah pertama."
Tya tercengang. "Ibu tapi kenapa ngasih sekarang. Ibu belum lihat kerja aku. Padahal nanti aja setelah sebulan. Ibu harus evaluasi dulu kerja aku."
Ibu Suri terkekeh. "Bukan lagi udah mulai, tapi kerja udah dimulai, Tya. Ibu udah menilai. Dan kau sama Diaz chemistry-nya dapat. Uang nafkah itu sepenuhnya untuk kebutuhanmu. Jangan pikirkan kebutuhan rumah tangga dan pekerjaan rumah. Itu udah jadi tugas tiga ART. Kau senangkan diri. Treatment ke salon, shopping, nonton. Pokoknya nikmati hidup, jangan stres."
***
Tamu yang dinanti datang siang hari setelah dijemput Husain ke bandara. Hani dan Ikram disambut sukacita oleh Suri yang memang antusias menanti. Saling berpelukan, saling bertanya kabar.
"Diaz mana, Tante?" Ikram sudah menyapukan pandangan tetapi tak melihat adanya sang sepupu. Ia dekat dengan Diaz meski tinggal di kota yang berbeda.
"Lagi di kamar. Harap maklum pengantin baru..." Suri tertawa kecil.
"Wah ini si Diaz kena peribahasa 'dunia selebar daun kelor'. Aku ganggu ah. Aku boleh ke atas ya, Tante?"
"Boleh. Sana gedor aja."