“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Pel lantai berderit pelan saat Nayla memeras kainnya. Air sabun menetes kembali ke ember, menimbulkan bunyi plok yang berulang. Lantai ruang meeting di lantai dua itu luas, dikelilingi dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi. Dengan cekatan, ia mulai mengepel dari sudut ruangan, menarik pel maju mundur dengan gerakan teratur.
Meja-meja panjang dibersihkannya satu per satu, lalu ia menata kursi-kursi putar agar rapi sejajar. Sesekali, tangannya meraih lap kering untuk mengelap bercak sidik jari di permukaan meja kaca. Setiap gerakan dilakukan dengan penuh semangat, meskipun lelah mulai terasa.
Keringat membasahi pelipisnya, membuat helaian rambutnya yang keluar dari ikatan menempel di dahi. Nayla mengusapnya dengan punggung tangan, lalu kembali bekerja tanpa mengeluh. Baginya, ini pekerjaan yang halal. Tak ada lagi jalan pintas yang kelak membuat adik-adiknya menunduk malu.
Dalam hatinya, terselip satu harapan, suatu hari nanti, Dio akan memaafkan kesalahannya di masa lalu. Bahwa ia akan melihat kakaknya bukan sebagai sosok yang hina, tapi sebagai seseorang yang berusaha memperbaiki segalanya.
...
Sementara itu, di ruangan khusus CEO di lantai teratas, Elvino duduk setengah bersandar di kursi kulitnya. Layar laptop terbuka di hadapannya, namun bukan laporan keuangan atau dokumen bisnis yang ia perhatikan.
Di layar, rekaman CCTV lantai dua menampilkan seorang gadis berseragam biru dongker yang sibuk membersihkan ruang meeting.
Sejak tadi, matanya tak beranjak dari tayangan itu. Ia melihat cara Nayla memeras kain pel, membungkuk mengelap meja, hingga merapikan kursi satu demi satu. Gerakannya cekatan, tapi ada ketulusan di sana. Sudah hampir dua jam ia memperhatikan, dan entah mengapa, ia tak merasa bosan.
Ia tidak tahu sejak kapan rasa ini mulai muncul. Yang pasti, ia menyadari satu hal. ia tertarik pada Nayla.
Pikirannya tak bisa lepas dari masa lalu. Ingatan malam itu muncul begitu saja. Malam di mana ia pertama kali menyentuh Nayla… membeli tubuhnya. Ada kesedihan mendalam di balik sorot mata gadis itu, kesedihan yang bahkan saat ini masih terlihat samar. Meski ia tahu Nayla melakukan pekerjaan itu karena terpaksa, gadis itu tetap bekerja dengan sepenuh tenaga.
Elvino menghela napas. Bayangan tentang malam itu tidak pernah hilang, meskipun ia telah mencoba menyingkirkannya berkali-kali.
Suara ponsel di meja memecah lamunannya. Layar menyala, menampilkan nama yang membuat napasnya berat. Mama.
Dengan enggan, ia mengangkat telepon itu. “Ya, Ma.”
Suara Lidya terdengar tegas dari seberang, tanpa basa-basi.
“Vin, nanti saat jam makan siang, kau ada jadwal untuk fitting baju pengantin. Pergilah bersama Aulia.”
Elvino menutup laptopnya pelan, mencoba meredam nada suaranya. “Ma… aku tidak bisa. Aku banyak pekerjaan saat ini.”
Kebohongan itu meluncur begitu saja. Kenyataannya, pekerjaannya sejak tadi hanyalah memperhatikan gadis yang kini membersihkan lantai dua.
“Mama tidak mau dengar alasan apa pun,” potong Lidya cepat.
“Kalau memang pekerjaanmu banyak, serahkan saja pada sekretarismu atau asisten pribadimu. Kau bosnya, Vin. Bisa mengatur waktu, bukan?”
"Tapi ma...”
“Tidak ada tapi. Pernikahanmu hanya beberapa bulan lagi. Mama ingin semuanya siap sebelum hari H. Mengerti?” Nada Lidya meninggi sedikit, lalu tanpa memberi kesempatan Elvino untuk membalas, ia menutup telepon.
Elvino memejamkan mata, mengembuskan napas berat. Tangannya memijat pelipis, mencoba mengusir pening yang mulai merayap.
Aulia…
Gadis itu baik. Sopan, lemah lembut, bahkan terbilang salehah. Semua sifat yang seharusnya membuatnya menjadi pasangan ideal. Ia tahu Aulia menyimpan perasaan padanya. Tapi hati tetap dingin.
Bahkan saat membayangkan berjalan di pelaminan bersamanya, yang muncul di pikirannya justru wajah lain. Wajah seorang gadis yang sedang mengepel lantai, tersenyum kecil meski keringat membasahi pelipisnya.
Di lantai dua, Nayla menggeser kursi terakhir ke posisinya. Ia menatap hasil kerjanya dengan rasa puas. Lantai mengilap, meja bebas debu, kursi tersusun sempurna.
Rani, rekan kerja yang bertugas di area lain, muncul di pintu sambil membawa alat pel. “Wah… rapi banget. Baru sehari kerja udah begini? Hebat juga kamu.”
Nayla tersenyum malu. “Ah, biasa aja, Mbak. Saya cuma mau kerja sebaik mungkin.”
Rani menaruh alat pelnya di pojok. “Bagus kalau gitu. Tapi hati-hati, ya. Di kantor ini, nggak semua orang ramah. Ada juga yang suka cari gara-gara.”
Belum sempat Nayla bertanya lebih jauh, suara langkah sepatu kulit terdengar dari arah koridor. Seorang pria berjas rapi melintas, sempat menatap Nayla beberapa detik sebelum kembali berjalan. Tatapan itu dingin, lebih seperti menilai daripada sekadar melihat.
Nayla menarik napas pelan. Ia sadar, pekerjaan ini bukan hanya soal membersihkan ruangan. Ada tatapan dan penilaian, tapi semua itu bukan apa-apa dari apa yang sudah ia alami.
Di ruangan atas, Elvino kembali membuka laptopnya. Layar menampilkan wajah Nayla yang sedang berbicara dengan Rani, sambil sesekali menghela napas lelah.
Ada senyum tipis yang muncul di bibirnya, senyum yang jarang sekali menghiasi wajahnya.
“Kau tidak tahu, Nayla… betapa sulit bagiku untuk tidak turun ke sana,” gumamnya pelan.
...
Jarum jam menunjuk tepat pukul dua belas.
Di ruang kerja paling mewah di lantai atas, Elvino menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Langkahnya berat, seperti sedang menyeret beban yang tak terlihat. Ia menatap pintu sebentar, ragu. Tapi suara ibunya yang tegas siang tadi kembali terngiang, tidak ada alasan, tidak ada penundaan. Ia mau tidak mau harus menuruti perintah itu.
Dengan jas rapi membalut tubuh, ia melangkah keluar, menyusuri lorong, lalu masuk ke lift. Jemarinya menekan tombol “G” dengan malas. Musik instrumental yang mengalun di dalam lift pun terasa seperti mengolok-olok suasana hatinya.
Ketika pintu lift terbuka di lantai dasar, langkahnya terhenti. Tepat di hadapannya, Nayla muncul sambil membawa ember dan kain pel. Seragam birunya sedikit basah di bagian ujung lengan.
Nayla menunduk sopan, seperti yang dilakukan karyawan lain setiap kali berjumpa atasan. “Selamat siang, Pak,” suaranya nyaris berbisik.
Elvino sempat melirik. Sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat dadanya terasa hangat, entah kenapa, melihat semangat di wajah Nayla seperti melihat secercah cahaya yang ia rindukan. Ia membalas dengan anggukan tipis, lalu melangkah pergi.
...
Di sebuah butik langganan keluarga besar Elvino, aroma lembut parfum bunga bercampur dengan wangi kain baru memenuhi ruangan. Lampu-lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke segala arah, membuat gaun-gaun pengantin yang tergantung tampak seperti karya seni.
Aulia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih dengan detail renda halus. Wajahnya merona, matanya berusaha menghindari tatapan langsung ke Elvino.
Pemilik butik, seorang wanita paruh baya berwajah ramah, tersenyum lebar sambil memegang pita pengukur.
“Kalian tampak sangat serasi,” ujarnya sambil mengukur lingkar pinggang Aulia.
“Gaun ini akan membuat hari pernikahan kalian sempurna.”
“Terima kasih, Bu.” jawab Aulia. Suaranya pelan, namun senyum yang ia sembunyikan di balik tatapan malu-malu itu jelas terlihat.
Ia bahkan tak berani menatap lama ke arah Elvino. Bagi Aulia, ini adalah pertama kalinya ia pergi hanya berdua dengan seorang laki-laki yang bukan mahramnya. Sejak kecil, ia dididik dengan norma agama yang ketat, menjaga pandangan, menjaga jarak, menjaga hati. Namun hari ini, ia harus mencoba mengabaikan degup jantungnya yang terasa tidak wajar.
Di sisi lain, Elvino berdiri tegak di belakangnya, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Wajahnya datar, pandangannya hanya terarah pada cermin sesekali, lalu berpindah ke ponselnya. Ia berbicara hanya jika perlu.
“Bagaimana menurutmu, Vin?” Pemilik butik itu bertanya sambil menoleh ke arahnya.
“Bagus,” jawabnya singkat. Tidak ada senyum, tidak ada antusiasme.
Pemilik butik itu hanya tersenyum maklum. “Pria biasanya memang begitu. Tapi percayalah, Aulia, dia pasti akan sangat bangga melihatmu di hari pernikahan nanti.”
Aulia tersenyum lagi, meski dalam hatinya ia tahu, kata-kata itu terdengar lebih seperti harapan ketimbang keyakinan.
...
Setelah urusan fitting selesai, mereka keluar dari butik. Elvino berjalan di depan, membuka pintu mobil untuk Aulia.
“Masuk,” ucapnya datar.
Perjalanan pulang berlangsung sunyi. Hanya suara mesin mobil dan sesekali denting notifikasi ponsel Elvino yang terdengar. Aulia beberapa kali melirik ke arahnya, ingin berkata sesuatu, tapi selalu mengurungkan niat.
Sesampainya di depan rumah besar keluarga Aulia, mobil berhenti. Aulia membuka sabuk pengaman, namun tidak langsung turun. Ia memberanikan diri menoleh ke arah Elvino.
Aku tahu… mungkin sekarang hatimu bukan untukku. Tapi aku percaya… suatu hari nanti, kau akan melihat ku dan mencintai ku." Batin Aulia.
“Terima kasih, Kak,” ucapnya pelan.
Elvino menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Hati-hati,” jawabnya singkat.
Aulia tersenyum tipis, lalu turun dari mobil. Langkahnya pelan, tapi ia berhenti di sisi jalan, memandangi mobil itu hingga menghilang di tikungan. Angin sore menyapu wajahnya, namun hatinya tetap menghangat oleh keyakinan yang ia genggam erat.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭