NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:574
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24

Udara di ruang autopsi terasa konstan.

Bagi Dr. Samuel Adhinata, ini adalah satu-satunya tempat di dunia yang benar-benar masuk akal. Dingin, terkendali, 18°C tepat, tanpa fluktuasi. Suara hum pelan dari sistem ventilasi dan pemurni udara HEPA adalah satu-satunya musik yang ia butuhkan sebuah mantra keteraturan di dunia yang penuh kekacauan. Aroma formaldehida dan ozon yang tajam adalah parfum kejernihan, membersihkan indra penciumannya dari bau dunia luar yang kotor: keringat, kebohongan, dan emosi yang tidak perlu.

Di sini, di atas meja baja tahan karat yang dingin, kebohongan tidak bisa hidup. Di sini, yang ada hanyalah kebenaran.

Dan di atas meja itu, terbaring Kebenaran Nomor Tiga.

Samuel memandang "karya"-nya Ahmad Sahroni bukan dengan kebanggaan seorang seniman, melainkan dengan kepuasan seorang ahli bedah yang telah menyelesaikan prosedur yang rumit dengan sempurna. Tentu, ada darah. Tentu, ada kerusakan. Orang-orang biasa seperti Iptu Hasan hanya akan melihat kekacauan yang mengerikan, sebuah tindakan brutal.

Mereka salah. Mereka melihat "pembunuhan". Samuel melihat "koreksi".

Monolog internalnya berputar dengan presisi yang sama seperti skalpel yang kini ia bersihkan.

Mereka menyebutnya kekerasan, pikir Samuel, sambil mengamati dengan cermat garis sayatan Y-incision yang telah ia buat di dada Sahroni. Mereka tidak mengerti.

Dengan jemarinya yang bersarung lateks, ia menelusuri tepi sayatan itu. Rapi. Bersih. Profesional. Ini adalah pembedahan kosmis.

Saat seorang ahli bedah onkologi mengangkat tumor ganas dari otak pasien, apakah itu 'kekerasan'? Saat dia mengamputasi kaki yang membusuk karena gangren untuk menyelamatkan sisa tubuh, apakah itu 'pembunuhan'?

Samuel tersenyum tipis di balik maskernya. Tentu saja tidak. Itu adalah pemurnian. Itu adalah pemulihan keseimbangan.

Lukas Santoso. Riana Wulandari. Ahmad Sahroni. Mereka bukan korban. Mereka adalah tumor. Mereka adalah kebusukan yang tersembunyi, dibungkus dengan citra "penebusan" palsu yang manis dan diterima masyarakat. Kebohongan mereka adalah infeksi yang berjalan di antara manusia, dan infeksi itu menyebar.

Dan dia... dia adalah sang Ahli Bedah.

Dia memikirkan tentang lidah itu. Mengambilnya bukanlah "flourish" atau keputusan impulsif di saat-saat terakhir. Itu adalah keharusan medis. Lidah Sahroni adalah organ primer penyakitnya. Sumber infeksi. Lidah yang digunakan untuk menipu Bintoro, untuk mencuri dari para nelayan, dan untuk berpidato indah tentang "reformasi" palsunya di televisi. Mengambilnya bukanlah tindakan mutilasi. Itu adalah prosedur pengangkatan jaringan yang terinfeksi.

Dia tidak merasakan apa-apa saat melakukannya. Tidak ada amarah. Tidak ada kegembiraan. Dan tentu saja, tidak ada rasa bersalah. Rasa bersalah adalah emosi yang tidak efisien, dirancang untuk orang-orang lemah yang tidak yakin akan kebenaran tindakan mereka.

Samuel 100% yakin.

Dia hanya merasakan... kepuasan. Kepuasan yang dingin, murni, dan logis dari sebuah persamaan yang telah diselesaikan. Sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan presisi absolut.

Pintu ruang autopsi berdesis terbuka, suara hidroliknya memecah kesempurnaan keheningannya.

AKP Daniel Tirtayasa masuk, dan dia membawa bau dunia luar bersamanya.

Samuel bisa mendiagnosisnya bahkan sebelum Daniel berbicara. Dia mencium bau kopi basi, keringat asam dari stres yang berkepanjangan, dan feromon ketakutan yang tertahan. Dia tampak mengerikan. Pakaiannya kusut cerminan dari pikirannya yang juga kusut. Matanya merah, dan Samuel bisa melihat tremor halus di jari-jarinya saat Daniel mengusap wajah. Terlalu banyak kafein, terlalu sedikit tidur, dan terlalu banyak kepanikan.

Aura "Gembala" yang terluka parah itu begitu pekat hingga hampir terlihat.

Video itu bekerja dengan sempurna, pikir Samuel. Dan ultimatum dari Jenderal Hartono juga. Tentu saja Samuel tahu tentang ultimatum itu; dia punya teman di setiap lantai.

"Sam," kata Daniel, suaranya serak. Dia tidak membuang waktu untuk basa-basi. "Apa yang kau dapat?"

Daniel memaksa dirinya untuk menatap mayat Sahroni di meja. Samuel mengamatinya dengan minat klinis, melihat otot kecil di rahang Daniel berkedut. Reaksi emosional yang bisa ditebak.

"Selamat pagi juga, Daniel," kata Samuel, nadanya ringan dan tenang, sambil dengan metodis meletakkan instrumennya di baki. "Kau tampak seperti butuh tidur."

"Jangan main-main denganku, Sam!" bentak Daniel, suaranya lebih keras dari yang seharusnya. Kehilangan kontrol. Menarik. "Aku punya dua belas hari lagi. Aku butuh sesuatu. Serat. Jejak DNA. Apa saja!"

Samuel perlahan melepaskan sarung tangan lateksnya dengan suara 'snap' yang memuaskan. Dia berjalan ke wastafel dan mulai mencuci tangannya, gerakannya metodis, tidak tergesa-gesa, membiarkan Daniel menunggu.

"Secara forensik?" kata Samuel, mematikan keran. "Tidak ada. Nihil. Sama bersihnya dengan dua yang pertama. Pelaku kita lawan kita sangat teliti. Sangat bersih. Tidak ada DNA asing, tidak ada sidik jari, tidak ada serat pakaian. Dia seperti hantu. Kau tahu itu."

"Jadi... buntu?" Suara Daniel pecah karena frustrasi. "Kau tidak memberiku apa-apa?"

"Aku tidak bilang begitu," kata Samuel, mengeringkan tangannya dengan handuk bersih.

Dia berjalan melewati Daniel, yang berbau putus asa, menuju kantor kecilnya yang terhubung dengan ruang autopsi. Kantor itu sama sterilnya dengan ruang bedah. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada pernak-pernik pribadi. Hanya rak-rak buku yang tertata rapi.

"Kau salah fokus, Daniel," kata Samuel, punggungnya menghadap si detektif. Dia menikmati momen ini. "Kau mencari siapa pelakunya. Kau mencari sehelai rambut. Itu pertanyaan yang salah."

"Lalu apa pertanyaan yang benar, Sam?" desak Daniel, mengikutinya masuk ke kantor kecil itu.

Samuel berbalik. Di tangannya ada sebuah buku bersampul tebal berwarna biru tua. Judulnya dicetak dengan huruf emas sederhana.

"Pertanyaan yang benar," kata Samuel, "adalah kenapa."

Dia menyerahkan buku itu kepada Daniel.

Daniel menatap sampulnya dengan bingung. "The Scales of Nemesis: A Treatise on Retributive Justice." (Timbangan Nemesis: Sebuah Risalah tentang Keadilan Retributif). Penulisnya seorang filsuf Jerman yang namanya tidak bisa diucapkan Daniel.

"Apa ini?" tanya Daniel. "Buku filsafat? Aku tidak punya waktu untuk ini, Sam!"

"Kau memintaku untuk membantumu membedah pikiran-nya, bukan?" balas Samuel, suaranya kini mengambil irama seorang dosen yang sabar. "Tapi kau masih berpikir seperti polisi. Kau berpikir soal hukum positif apa yang tertulis di KUHP. Itu hukum yang dibuat manusia, dan bisa dibengkokkan oleh manusia, seperti yang dilakukan Sahroni."

Samuel menunjuk buku di tangan Daniel. "Pelaku kita tidak beroperasi di level itu. Dia beroperasi di level hukum kosmis. Keadilan yang absolut."

"Aku tidak mengerti," kata Daniel, tapi dia memegang buku itu erat-erat.

"Kau adalah seorang 'Gembala', Daniel," kata Samuel.

Satu kata itu. Daniel membeku. Napasnya tertahan sepersekian detik. Samuel melihatnya. Pupil mata Daniel melebar bukan lagi panik, tapi syok.

Daniel kini sadar. Dia sadar bahwa Samuel tahu. Dia sadar bahwa ini bukan lagi ahli forensik yang membantunya, tapi sesuatu yang lain. Dan itulah alasan mengapa Daniel, yang putus asa, kini akan mendengarkan.

"Kau percaya pada pengampunan," lanjut Samuel, suaranya tenang. "Rehabilitasi. Keadilan restoratif. Itu filosofi 'Gembala'-mu."

Samuel mengambil napas, menikmati momen pencerahan sang detektif.

"Pelaku kita... lawan kita... percaya pada keadilan retributif. Keadilan yang mengoreksi. Dia percaya bahwa beberapa kejahatan, beberapa kebohongan, sangat merusak tatanan alam semesta sehingga 'pengampunan' itu sendiri adalah sebuah kejahatan. Itu adalah penghinaan moral. Dan satu-satunya cara untuk memulihkan keseimbangan... adalah dengan koreksi."

Dia menepuk buku di tangan Daniel. "Bacalah. Bab 3, 'Keadilan sebagai Koreksi, Bukan Rehabilitasi'. Dan Bab 7, 'Hipokrisi Pengampunan'."

Daniel menatap Samuel, lalu ke buku itu. Dia terlihat pusing. "Kau... kau ingin aku membaca ini? Sekarang?"

"Aku ingin kau mengerti," kata Samuel. Arogansinya nyaris tak tertahankan. "Kau tidak bisa menangkapnya jika kau tidak bisa berdebat dengannya di levelnya. Kau sibuk mencari di lumpur untuk mencari jejak kaki, sementara dia berdebat di level filosofis jauh di atas kepalamu."

Daniel menatap mata Samuel. Dia mencari ejekan, tapi yang dia temukan hanyalah... intensitas seorang akademisi yang tulus.

"Ini mungkin petunjuk terbaik yang pernah kuberikan padamu, Daniel," kata Samuel pelan. "Lebih baik dari serat apa pun."

Daniel terdiam lama. Rahangnya mengeras. Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia menyelipkan buku berat itu di bawah lengannya.

"Terima kasih, Sam," katanya kaku. "Aku akan... melihatnya."

Saat Daniel berbalik dan berjalan keluar dari ruang autopsi, meninggalkan tempat kudus itu, Samuel Adhinata kembali ke mejanya. Dia tidak bisa menahan senyum tipis.

Permainan ini menjadi jauh lebih menarik.

Dia tidak hanya membunuh korbannya. Dia tidak hanya bermain dengan polisinya.

Sekarang, dia sedang mendidik polisinya. Dia sedang menyerang fondasi moral "Gembala" itu. Ini bukan lagi soal forensik. Ini adalah perang ideologi.

Dan Samuel baru saja menyerahkan cetak biru filosofinya langsung ke tangan musuhnya. Dia tidak sabar menunggu debat mereka yang berikutnya.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!