Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stay
Dia tidak bisa ke mana-mana.
Sebuah kalimat yang terus berdengung, seakan ditanam paksa di otaknya, mengganti semua harapan dengan kehampaan.
Sara mengusap jemarinya sendiri perlahan, seolah mencoba memastikan bahwa ia masih hidup. Masih nyata. Tapi bahkan napasnya pun terasa berat .
Ia bangkit perlahan dari sofa. Kakinya gemetar, tapi langkahnya tetap ia paksa .
"Sofia?" panggilnya lirih.
Wanita paruh baya itu segera muncul dari arah dapur, dengan senyum tenang dan gerak yang terlatih. Wajahnya selalu teduh, langkahnya tak pernah membuat gaduh.
"Aku... ingin keluar sebentar. Jalan-jalan." suara Sara hampir seperti bisikan.
Sofia mengangguk lembut. "Tentu, Nona. Akan saya siapkan."
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap meluncur perlahan keluar dari basement.
Sara duduk di kursi tengah, mengenakan mantel krem tipis dan syal lembut melingkari lehernya. Jendela dibuka sebagian. Udara sore itu menyentuh wajahnya dengan dingin musim semi yang belum benar-benar reda, tapi menyegarkan.
Di seberangnya, Sofia duduk dalam diam. Rafael ada di depan bersama sopir pribadi, memandangi pemandangan kota yang perlahan berganti menjadi wilayah pesisir.
Tujuan mereka bukan pusat kota. Dan bukan taman.
Tapi pantai.
Sebuah pantai kecil di pinggiran kota, terlalu jauh untuk ramai dikunjungi, dan hampir tidak ada yang tahu keberadaannya.
Mobil berhenti di tepi jalan berbatu. Dari sana, jalan setapak kecil menurun langsung ke bibir laut. Tak ada kafe. Tak ada turis. Hanya debur ombak dan garis langit yang kosong.
Sara melangkah turun pelan, menapaki pasir yang belum sepenuhnya mengering. Angin asin menyambutnya, menggulung pelan ujung mantel dan mengibaskan helaian rambutnya.
Langit menjelang senja menggantung murung di atas kepala, seperti matanya yang tak sanggup menangis tapi juga tak bisa berpaling.
Ia terus berjalan menyusuri garis pantai, membiarkan sepatunya tenggelam sebentar lalu terangkat oleh pasir basah.
Di sekelilingnya, dunia terasa membisu.
Hanya suara ombak yang datang dan pergi seperti tarikan napas-nyaris seperti pengingat bahwa waktu masih berjalan, meski hatinya tertinggal di tempat yang tak bisa ia lihat.
Di balik ketenangan itu, pikirannya masih kacau.
Masih menolak, berusaha memahami bagaimana pria itu... kini ada di hidupnya lagi. Bukan sebagai bayangan, tapi sebagai kenyataan. Sebagai... suami.
Dan meski laut membentang di hadapannya, Sara tahu...
Ia tidak bisa ke mana-mana.
Ia berhenti di sebuah bangku kayu tua yang menghadap langsung ke laut. Air berkilau dipantulkan cahaya matahari senja, memendar lembut di antara riak-riak kecil yang datang dan pergi tanpa tergesa.
Sofia berdiri tak jauh di belakangnya. Memberi ruang, tapi tetap berjaga.
"Tempat ini seperti bukan bagian dari Manhattan," gumam Sara pelan, menatap ombak yang berkejaran pelan di bibir pantai berpasir pucat.
Sofia tersenyum. "Iya nona, bahkan kota yang paling bising pun menyembunyikan ruang untuk diam."
Sara menoleh, menatap wanita itu sejenak. Lalu akhirnya bertanya, "Sudah lama bekerja untuk Nicko?"
"Cukup lama," jawab Sofia dengan tenang. "Tapi baru kali ini... Tuan membawa seseorang ke dalam dunianya."
Sara tertawa kecil-hambar, nyaris seperti angin yang lewat tanpa suara. "Seseorang... atau sesuatu?"
Sofia menunduk sebentar, menatap tangan di pangkuannya sebelum menatap Sara lagi. “Mungkin keduanya, Nona. Cara Tuan Velmier melihat Anda… berbeda. Tatapannya jelas hangat dan tulus.”
Sara tetap diam, menatap laut di depan mereka. Setulus apapun perasaan Nicko, tetap terasa salah jika ia memaksakan ketulusan itu pada orang yang salah. Ia menelan napas, mencoba menjauh dari rasa itu.
Sofia memperhatikan diamnya Sara, menahan diri untuk tidak menekan. “Saya hanya bisa memberi sedikit pandangan, Nona. Tidak semua hal bisa dijelaskan dengan kata-kata, apalagi soal Tuan Velmier.”
Sara menoleh sekilas ke Sofia, alis terangkat. “Jadi… itu cuma sepotong gambaran saja?”
Sofia tersenyum tipis, mengangguk. “Betul. Kadang yang bisa kita lakukan hanyalah melihat dari jauh dan memahami secukupnya, Nona. Sisanya… waktu yang akan menjawab.”
"Kita jalan sedikit," ucap Sofia akhirnya. "Di ujung sana ada jalur kecil di balik bukit pasir. Kalau sore begini, cahaya matahari tembus dari sela ilalang. Cantik sekali."
Sara mengangguk. Mereka mulai berjalan perlahan, menyusuri garis pantai yang ditingkahi jejak camar dan angin asin. Di sisi kiri, hamparan bukit pasir menjulang rendah, ditumbuhi ilalang tinggi dan semak liar yang bergoyang lembut diterpa angin laut.
Jalur kecil itu menurun perlahan, dikelilingi vegetasi pantai-pohon pantai berdaun kecil dan semak merambat yang mengering sebagian. Cahaya matahari menyaring dari sela-sela ilalang, menciptakan gurat jingga keemasan di pasir yang mengeras oleh angin.
Udara membawa aroma laut dan tanah asin yang khas. Suara kota menghilang, tergantikan oleh desiran laut dan derak halus daun kering yang bergesekan.
Sesekali, Sofia menunjuk hal kecil-jejak kaki hewan kecil di pasir, cangkang laut berwarna pucat, atau bangku kayu tua yang nyaris tenggelam dalam semak, dengan ukiran nama samar di sandarannya. Hal-hal yang mungkin dilewatkan banyak orang, tapi selalu diingat oleh mereka yang terbiasa memperhatikan dalam diam.
Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala laut, memulas langit dengan semburat tembaga dan ungu tua. Sara dan Sofia berjalan kembali ke arah mobil yang menunggu di kejauhan, dikawal satu kendaraan hitam lain yang nyaris tak bersuara-seperti bayangan dari dunia yang tak pernah benar-benar jauh darinya.
***
Sepanjang perjalanan pulang, Sara duduk diam di kursinya, wajahnya bersandar pada kaca jendela. Jalanan kota berkelebat di luar, lampu-lampu mulai menyala satu per satu-seperti bintang yang datang terlalu awal, atau terlalu tergesa.
Ia tidak benar-benar melihat apa pun. Pandangannya kabur, teralihkan oleh gemuruh di kepalanya sendiri. Udara di dalam mobil terasa terlalu hening.
Saat lift pribadi mengantar mereka kembali ke penthouse, aroma lavender tipis tercium dari diffuser di sudut ruangan. Wanginya menenangkan, tapi terlalu lembut hingga terasa hampa, seolah setiap detail di ruangan ini sengaja diatur agar netral dan tidak menimbulkan kesan emosional.
Sara menunduk sedikit, mengucapkan terima kasih kepada Sofia sebelum melangkah masuk.
"Aku ingin langsung ke kamar," ucapnya pelan.
"Baik, Nona. Jika butuh apa-apa, cukup panggil saya," jawab Sofia.
Langkahnya pelan menapaki anak tangga menuju lantai tiga, seperti tak ingin terlalu cepat menyentuh apa pun yang menunggu di atas.
Namun saat melewati lorong menuju kamarnya, langkahnya melambat. Cahaya tipis mengalir dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Tapi cukup untuk menahan napasnya.
Pintu ruang kerja.
Terbuka sedikit, seperti sengaja dibiarkan begitu saja. Sara berhenti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk menyalakan dorongan asing di dadanya, antara takut dan ingin tahu.
Ia menoleh.
Celah itu memperlihatkan ruangan bernuansa kayu gelap, remang. Hanya satu lampu menyala di sudut meja, memantulkan cahaya ke dinding rak buku dan lantai yang mengkilat.
Di dekat jendela besar yang menghadap kota, Nicko duduk diam. Punggungnya condong ke depan, bahunya tegap tapi tetap santai, seolah mengamati dunia dari kejauhan.
Kemeja lengkapnya rapi, jas gelap menempel pada tubuhnya, lengan tersarung dengan sempurna, menegaskan sosok yang tegas namun santai. Di tangan satunya, sebatang rokok mengepul pelan, asapnya membubung ke atas dalam udara yang tenang. Cahaya kota memantul langsung ke wajahnya, menegaskan kontur wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tenang namun penuh rahasia.
Sara memperhatikannya dengan seksama. Setiap garis wajah dan gerak halusnya terasa seperti rahasia yang hanya dia yang boleh melihat
Nafasnya tersengal halus, seperti udara mendadak berubah bentuk di paru-parunya.
Tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia mundur setapak. Tapi langkah itu menyentuh lantai terlalu keras dan suara kecil itu cukup untuk membuat keberadaanya terdengar.
Nicko menoleh. Perlahan. Matanya menangkap keberadaannya tanpa kejutan, tanpa ekspresi kaget atau marah, seolah memang sudah tahu dari awal bahwa Sara ada di sana.
Tatapan mereka hanya bersilangan sepersekian detik.
Tapi itu cukup.
Sara langsung berbalik.
Langkahnya berubah cepat, seperti ingin menghapus apa yang baru dilihat. Jemarinya mendorong pintu kamar dengan gemetar nyaris tak terlihat, menutupnya pelan tanpa suara. Tapi napasnya kini memburu. Irama dadanya tidak bisa lagi ia atur.
Ia menyentuh saklar lampu dengan tangan dingin. Cahaya menerangi ruangan, tapi tidak mengusir apa pun.
Ia bersandar pada dinding, matanya terpejam.
Segitu dalam pengaruhnya padaku.
Segitu diamnya cara ia mengikatku.
Malam itu, Sara tidak menangis.
Ia hanya duduk di tepi ranjang, lama. Matanya menatap lantai kosong, tapi pikirannya jauh. Menyusun ulang arah yang telah dipelintir, bukan oleh paksaan, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam, ketakutan yang tak ia mengerti, dan daya tarik yang tak ia inginkan.
Kalau butik itu satu-satunya jalan keluar, maka aku akan melewatinya.
Sekalipun jalannya dipenuhi bayangan... yang ia bentuk.
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai...
Sara memutuskan untuk tetap tinggal.
Bukan untuk menyerah.
Tapi untuk mencari celah.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor