NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Ingin dan Rasa Bersalah...

Begitu pintu ruangan Rania tertutup, sunyi terasa.

Rania berdiri membelakangi meja kerjanya, menempelkan tubuh ke kusen jendela. Matanya menatap keluar, tapi pikirannya berantakan.

Rasanya setiap inci kulitnya masih panas. Di leher, di bibir, di pipi.

Suara napas Askara yang berat itu terus terngiang di telinganya. Ucapannya, "Sampai bertemu di ruangan," terus terngiang. Membuatnya otomatis menunggu. Berharap.

Ia duduk. Berdiri lagi. Mencoba memegang mouse, mengetik laporan, lalu berhenti. Semuanya kacau.

Jam di dinding berdetak pelan. Menit bergerak begitu lambat, seperti sengaja menyiksanya. Ia meneguk air putih berkali-kali. Tapi tenggorokannya tetap kering. Jari-jarinya gemetar setiap menyentuh bibir sendiri.

Sejam berlalu.

Rania sudah hampir menyerah ketika ketukan ringan terdengar di pintu.

Deg.

Ia buru-buru merapikan rambut. Menarik napas panjang. Berusaha tampak biasa, padahal jantungnya nyaris meloncat keluar.

“Masuk,” ucapnya dengan suara pelan.

Pintu terbuka. Bukan Askara.

Seorang staf proyek masuk, menyerahkan beberapa dokumen, lalu pergi.

Rania menarik napas lega sekaligus kecewa.

Waktu berjalan lagi.

Kali ini terasa lebih berat. Di luar, suara orang-orang mulai berkurang. Kantor perlahan sepi.

Mungkin Askara sudah pulang, pikirnya.

Rania bersandar di kursi. “Ya Tuhan, kenapa aku jadi beginii?” gumamnya, menutup wajah dengan kedua tangan.

Hingga, saat ia benar-benar tidak mengira dan tak berharap, ketukan terdengar sekali lagi. Perlahan. Terukur.

Dan suara itu terdengar dari balik pintu. Datar, tapi berat.

“Boleh saya masuk?”

Deg.

Suara itu.

Rania bangkit dari duduknya dengan kaki yang lemas, tangannya gemetaran saat membukakan pintu. Suaranya tiba - tiba cempreng saat mempersilakan masuk. Dan rasanya nyaris pingsan melihat pria itu berdiri di ambang pintu. Pria yang untuknya seperti mimpi.

Begitu pintu menutup, ruangan seolah menyusut. Rania mundur satu langkah, tapi tak ada tempat lagi.

“Pak…” suaranya lirih, tapi sebelum kata kedua terucap, Askara sudah ada di depannya.

Satu langkah, dua langkah...dan tubuhnya menutup jarak.

“Kenapa memanggilku begitu?” ucapnya, rendah dan berat.

Hanya satu detik tatapan mereka bertaut, sebelum jemari Askara menemukan wajahnya. Hangat telapak itu menahan pipi Rania, mengangkat dagunya pelan.

“Seharian aku menahan diri,” katanya pelan, napasnya hangat di wajah Rania. “Aku tidak mau menunggu lagi.”

Kemudian.... bibirnya menemukan bibir Rania. Dalam. Lama.

Rania terpaku, sempat melawan logikanya sendiri, tapi tubuhnya… menyerah. Jemarinya menggenggam lengan Askara. Napasnya pecah.

Kecupan itu cepat berubah panas.Bibir Askara menyesap, lidahnya menerobos masuk, mempertemukannya dengan lidah Rania.

Askara memiringkan kepala, mendesak lebih.Tangannya berpindah ke tengkuk Rania, menariknya rapat.

Tubuh mereka menempel, meja kerja jadi sandaran.

“Aku gila,” gumam Askara di sela ciumannya. “Setiap menit, aku menginginkan ini…”

Ciumannya bergeser ke pipi, ke garis rahang, turun ke leher. Hangat bibir dan napasnya membakar kulit Rania. Bibirnya meninggalkan jejak.

Rania menggigil, suaranya pecah, “Askara… kita… di kantor…”

“Aku tidak peduli,” balas Askara, suara rendah, hampir seperti geraman.

Tangannya bergerak ke pinggang, hampir naik ke dada Rania...

TUK! TUK!

Suara ketukan pintu, mereka membeku.Jantung Rania seperti meloncat keluar.

Askara mengatupkan mata, dahinya menempel di bahu Rania, berusaha mengendalikan diri.

“Pak, rapat dengan board lima belas menit lagi,” suara Dion terdengar di balik pintu.

Napas Askara berat. Pelan, ia menjauh. Matanya masih menyala, rahangnya tegang.

“Kalau bukan karena ini…” gumamnya, tertahan.

Rania tak sanggup bicara. Pipinya panas, bibirnya bergetar.

Askara menatapnya, lama sekali. Lalu ia merapikan dasinya, membuka pintu tanpa berkata apa pun.

Di luar pintu, Dion sempat melihat wajah bosnya yang muram dan gelap, lalu menutup pintu Rania lagi.

Di dalam ruangan, Rania terduduk di kursi. Lututnya lemas. Bibirnya yang kebas ia sentuh dengan ujung jarinya sendiri, masih terasa panasnya.

Begitu pintu menutup, ruangan kembali sunyi. Seolah semua suara ikut terbawa keluar bersama langkah Askara.

Rania berdiri mematung. Tangannya masih di bibir, jantungnya tak mau diajak tenang.

Di dadanya, sesuatu berdentum-dentum, antara malu, takut, dan… rindu yang menyesakkan.Ia mundur, jatuh duduk di kursinya.

Kepalanya terkulai, pandangannya kosong ke meja.

“Apa yang barusan aku lakukan…” bisiknya pada diri sendiri, napasnya tercekat.

Satu sisi hatinya meledak bahagia, seolah semua yang ia tahan selama ini pecah begitu saja. Tapi sisi lain, logika yang tersisa, menusuknya tajam. Bahwa,

Ia istri seseorang. Ia tidak boleh berharap.

Lengan Rania bergetar saat meraih botol air di meja, meminumnya pelan, mencoba menghapus rasa panas yang masih tertinggal di bibirnya. Tapi bukannya reda, malah semakin nyata.

Bayangan tadi kembali menari, tatapan itu, genggaman itu, bibir itu di lehernya.

Suara berat Askara saat berbisik di telinganya...semua memabukkan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

“Kenapa… kenapa aku tidak bisa menolak dia…”

Seharusnya ia marah pada dirinya sendiri. Tapi yang ada justru keinginan untuk mengulang semuanya, tanpa henti.

Di luar ruangan, suara sepatu Dion perlahan menjauh. Rania masih duduk di sana, tidak bergerak. Detik jam terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk. Hingga ia sadar, ada senyum kecil yang tak bisa ia tahan. Senyum yang ia tutupi cepat-cepat dengan tangan, takut ada yang melihat.

Lalu, seperti ditarik oleh kenyataan, senyum itu padam. Rasa bersalah kembali datang. Sebuah bisikan muncul di hatinya...

Hati-hati Ran. Ini bisa menghancurkanmu…

Tapi suara lain, yang jauh lebih pelan namun membakar, menjawab, Atau mungkin… ini justru menyelamatkanmu.

...****************...

Udara petang itu berat. Rania berdiri di depan lobi gedung Atmadja, menatap kosong ke jalan raya. Suara kendaraan lalu lalang terasa jauh.

“Rania?”

Suara yang familiar itu memecah lamunannya.

Ia menoleh. Naren berdiri tidak jauh darinya, kemeja hitam seragam kafe melekat pas di badannya yang tegap, wajahnya yang tampan, berganti ekspresi ramah dan serius. Ada raut cemas di matanya.

“Kamu ngapain disini?” tanya Naren, langkahnya mendekat.

“Naren…” Rania berusaha tersenyum tipis, walau hatinya berkecamuk, keinginannya terhadap Askara dan perasaan bersalahnya sebagai istri bertarung hebat di dada. “Lagi nunggu jemputan. Kenapa?”

“Aku dengar kamu sempat pingsan kemarin,” ucap Naren tanpa basa-basi. “Sekarang gimana? Sudah baikan?

“Iya, sudah nggak apa-apa kok.” jawab Rania, "Kamu dengar dari siapa kalau aku pingsan?"

"Satu kantor heboh, Ran. Orang proyek yang bilang kalau supervisor mereka yang cantik jatuh pingsan." goda Naren.

Rania tertawa kecil, tawa pertamanya hari ini, atau setelah sekian lama. Entahlah... Rania bahkan lupa kapan ia tertawa lepas.

Naren mengamati wajah Rania lekat-lekat. “Kamu kelihatan pucat banget. Udah makan?”

Rania menggeleng pelan. “Belum.”

“Ran…” nada suara Naren terdengar seperti teguran. “Ayo temenin aku makan sebentar. Di seberang ada kafe baru.”

“Nggak usah, Ren. Aku mau langsung pulang,” ucap Rania cepat, menunduk.

“Kalau kamu nggak mau makan... aku nggak pergi dari sini, deh" potong Naren. “Mau nunggu sampai malam juga... aku tungguin.”

Rania mendesah pelan, tak sanggup membantah. “Kamu ini keras kepala banget ya ternyata.”

“Biarin.” Naren tersenyum sedikit. “Ayo.”

Akhirnya Rania menyerah. Mereka berjalan menyeberang jalan, dan masuk ke Kafe yang cukup sepi. Begitu duduk, Naren langsung memesan dua menu tanpa bertanya.

Selama beberapa menit mereka hanya diam. Sampai makanan datang. Naren mendorong piring ke depan Rania.

“Makan dulu. Baru kita ngobrol.”

Rania menelan ludah, lalu mulai menyendok makanan perlahan. Bau makanan yang sedari tadi menusuk hidung membuat perutnya terasa kosong sekali.

“Ran,” suara Naren pelan, “kemarin kamu pingsan gara-gara apa? Karena belum makan?”

Rania menunduk, fokus pada makannnya. “Iya. Aku nggak makan dari pagi.”

Naren syok, meletakkan sendoknya. “Serius, kamu emang sering nggak makan begitu? Kenapa?”

“Sering,” jawab Rania lirih. “Kadang sehari cuma makan sekali. Kalau lagi ada uang.” jawab Rania polos, entah kenapa... bersama Naren ia merasa bisa menceritakan semua, tanpa pura - pura. Tanpa topeng.

Naren terdiam sesaat, lalu menatapnya tajam. “Kenapa bisa sampai segitunya? Kamu kan kerja di proyek sekarang.”

“Gajiku belum cair. Tabungan habis. Niko… ya, kamu tahulah.” Rania mengangkat bahu, senyum pahit.

Naren menghela napas dalam. “Kenapa kamu nggak ninggalin dia aja, Ran?”

Pertanyaan itu menghantam Rania. Ia menatap Naren, lalu menunduk lama sebelum menjawab.

“Aku mikirin Ibra, Ren. Anak itu udah terlalu dekat sama aku. Kalau aku pisah sama Niko, aku nggak akan bisa ketemu dia lagi. Dia satu-satunya yang bikin aku betah di rumah itu.”

Naren diam, mendengarkan.

“Lagipula keluargaku sendiri nggak akan setuju aku cerai,” lanjut Rania. “Buat mereka… statusku sebagai menantu orang kaya itu harga mati. Mereka nggak peduli aku bahagia atau nggak.”

“Ran…” Naren menatapnya, ada nada prihatin sekaligus marah. “Berarti selama ini kamu menghadapi semuanya sendirian?.”

Rania memalingkan muka, menghapus air di pelupuk matanya. Naren menatapnya prihatin, ingin mengulurkan tangan sekadar untuk menggenggam tangan Rania, menenangkan. Tapi ia sungkan.

Rania menghela napas panjang. “Ya begitulah. Makanya aku kerja keras di proyek. Supaya ada sesuatu yang bisa bikin aku bertahan. Kalau tidak mungkin aku bisa... bunuh diri." ucap Rania tersenyum getir

Naren tak peduli lagi pandangan Rania padanya nanti, atau mungkin tamparan, atau cacian. Ia meraih tangan wanita itu, menggenggamnya erat. Menatapnya lekat - lekat.

"Ran... Dengar baik - baik... jangan pernah sekalipun kamu berpikir untuk mengakhiri semuanya dengan cara gila seperti itu. Sekarang sudah ada aku, kamu bisa cerita, bisa memakiku kalau lagi marah, bisa menamparku kalau kesal." ucapnya sungguh - sungguh.

Rania mengangguk kecil, menarik pelan tangannya. "Terima kasih." ucapnya sendu.

Naren menghela napas. “Kamu nggak kepikiran buat balas dendam saja dibanding menyakiti diri kamu sendiri?” tanya Naren serius.

“Balas?”

“Iya. Biar mereka ngerasain apa yang kamu rasain. Supaya nggak seenaknya ngerendahin kamu.”

Rania terdiam. Pertanyaan itu menggantung. Ada sesuatu di matanya yang perlahan berubah.

“Tadinya aku juga berpikir seperti itu, tapi aku merasa bersalah... mungkin karena statusku masih istri” ujarnya pelan.

Naren berdecih, "Merasa bersalah? Pada mereka? mereka tak pantas dikasihani Ran... orang - orang seperti itu hanya memikirkan keuntungannya sendiri”

Rania terdiam, mencerna omongan Naren.

Tatapan mereka bertemu. Naren menatapnya dalam, sedang Rania menatapnya dengan satu harapan baru.

Di mata Rania, ada tekad yang mulai tumbuh.

Ia kembali menunduk, tapi dalam hatinya sudah ada keputusan.

Jika selama ini ia menahan diri, mungkin sudah saatnya berhenti menahan.

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!