Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan yang dinanti
Pagi yang kelabu menyambut Jia. Dia bangun dengan mata yang bengkak akibat terlalu banyak menangis. Keadaannya saat ini cukup kacau.
Meski sudah mandi dan berpenampilan rapi, Jia tidak percaya diri. Dia segera mengambil sebuah kacamata dan memakainya, berharap mampu menutupi bengkak tersebut.
“Uugh, dingin!! Jia, apa kamu punya jaket atau yang lainnya?”
“Ini.” ucapnya lemas.
Nata mengernyitkan dahinya. “Pink?????? Jiaaa … tidak!!!!!” 😩
“Pakai saja, warna lainnya sedang di cuci Bi Inah, aku akan memakai warna yang sama denganmu.”
——
Mereka berangkat sekolah bersama-sama diantar oleh Mang Ceceng. Sesampainya di sekolah pun tidak ada yang berbeda kecuali rumor sialan yang masih saja mengikutinya.
“Lihat, sekarang dia berlagak culun supaya dikasihani.” ucap seorang wanita dari kelas lainnya, saat mereka berjalan di selasar kelas.
Tanpa aba-aba dari Jia, Nata segera menghampiri dan memegang tangan wanita tersebut. “Kamu bahkan tidak tahu apa yang dialami Jia, jika tidak secantik dan secerdas dirinya, maka tutuplah mulutmu!!”
Melihat Nata yang siap untuk menghajar mereka, kedua wanita tersebut itu pun mundur perlahan. Akibat cengkraman Nata, salah satu diantaranya merasakan sakit di pergelangan tangannya, sampai dia harus menbungkuk.
“Dasar preman!!! Kamu itu hanya kacungnya Jia!!” ucap wanita tersebut seraya masuk ke ruangan kelasnya.
Di sisi lain, Jia berusaha keras mengatakan pada siswa siswi lainnya bahwa tidak ada masalah, upaya tersebut dilakukan agar tidak ada keributan. Jia juga menenangkan Nata bahkan memperingatkannya agar tidak berakhir di ruang BK.
“Nat, hirup napas dan buanglah! Jangan terpancing dengan mereka. Anggap saja mereka remahan rempeyek.”
Nata berusaha tenang sembari menuruti saran Jia. Memasuki ruang kelas, sorotan tajam dari Liel tidak dapat dihindari. Mengalihkan pandangan dari Liel adalah jurus andalan Jia saat ini.
Pada saat Jia tengah duduk, Liel pun melempar sebuah kertas kepadanya. Jia pun membuka isi kertas yang bertuliskan, “Apa matamu sedang sakit?”
“Pria gila ini!! Apa dia tidak tahu bahwa hatiku lebih sakit daripada mata!!” balas Jia dalam hati.
Jia tidak menghiraukannya, karena dia merasa bahwa dirinya dan Liel sudah tidak memiliki hubungan apapun sejak terakhir kali pertengkaran mereka terjadi. 🥲
Bahkan kertas darinya pun Jia remas hingga tidak berbentuk. Saat ini, Jia lebih menghargai penjelasan Guru dibandingkan harus memikirkan Liel.
——
Hingga sekolah berakhir pun, Jia mencoba untuk tidak peduli pada Liel, meskipun di hatinya bertolak belakang dengan pikirannya. Menuju halaman sekolah, Jia berpisah dengan Nata yang segera pulang ke rumah.
Jia berjalan menuju pintu gerbang dan berhenti di tepi jalan, mencoba menelpon Mang ceceng, namun Reonald tiba-tiba saja datang menghampirinya.
Dia berusaha menawarkan tumpangan. “Hai Jia, mau ikut denganku, sekalian makan siang bersama?”
“Hm … tetapi, sepertinya Tuhan sudah menyuruhku untuk makan siang di rumah saja.” tolak Jia dengan halus.
Namun, bukannya beranjak pergi, Reonald dengan seenaknya mencengkram tangan Jia, bahkan memaksanya agar ikut bersamanya.
Ironisnya, fisik Jia tidak cukup kuat untuk memukulnya. Dia berusaha menolak sembari melepaskan cengkramannya, yang terasa mulai kuat hingga Jia meringis kesakitan.
Rasa takut mulai menderanya, namun Liel bak gapura kabupaten datang menghadang dan segera melepaskan tangan Jia dari cengkraman Reonald. “Lepaskan Jia!! Kamu menyakitinya!!!”
“Dengar !!! Jangan ikut campur, niatku baik, hanya ingin mengantarnya pulang.” Ucap Reonald sembari menarik kerah baju Liel.
“Lihat di sekelilingmu, apa pantas seorang senior yang menjabat sebagai Ketua Osis di tahun terakhirnya berperilaku seperti ini?” Balas Liel sembari melepas paksa tangan Reonald yang memegang kerah bajunya.
Reonald yang menyadari bahwa dirinya telah menjadi pusat perhatian di sekitar gerbang sekolah, memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Melihat situasi aman terkendali, Jia segera berjalan perlahan, menjauhi Liel.
Liel segera mengejarnya dengan langkah kaki yang cepat. “Jia, tunggu! Apa kamu baik-baik saja? Kamu bahkan tidak membalas tulisan dari lemparan bola kertasku tadi ...”
Jia menghentikan langkahnya tanpa melihat ke arah Liel. “Bukankah aku bertindak sesuai perkataanmu? Tidak mengenal satu sama lain? Jadi, enyahlah dari hadapanku!!”
Liel tertunduk, merasa bersalah. “Maaf, saat itu aku terbawa emosi. Setidaknya, jaga dirimu baik-baik, jika seperti ini bagaimana bisa aku tidak mempedulikanmu?”
Jia mencibir Liel dengan emosi yang meningkat. “Nye nye nye nye … Omong kosong!!! Sekarang, tinggalkan aku sendiri, jangan mengikuti ku!!”
“Kamu ingat, saat kita melihat senja bersama di tepi danau??”
“Euww!! Berhenti mengingat masa lalu!” Ucap Jia seraya beranjak pergi meninggalkan Liel.
“Kumohon Jia, dengarkan aku, sekali ini saja!!”
Jia berhenti. Kakinya melangkah ragu, namun otaknya memutuskan untuk segera membalikkan badannya, kini mereka saling berhadapan.
Dia menatap mata Liel, tanpa berkedip, meskipun matanya sudah perih karena hembusan angin. Perlahan Jia menganggukkan kepala, tanda bahwa dia mengingatnya.
“Kamu adalah wanita pertama yang menyandarkan kepalanya di bahuku, bahkan memelukku. Tidak, bahkan hanya dengan menatap matamu saja, jantungku seakan ingin meledak. Sulit untukku mengungkapkan rasa bahagia itu … maaf, jika sikap acuhku melukaimu saat itu.”
“Lalu, kamu berharap aku memaafkanmu, begitu?”
“Terserah padamu, yang penting aku sudah minta maaf.”
Jia terdiam. Kepalanya tertunduk, seolah-olah ada beban diatasnya. Jia tidak pernah merasa semalu ini. Dia terjebak di antara rasa senang sekaligus sedih.
“Apa kamu menyukaiku? Apa setelah ini kita akan menjalin hubungan??”
Liel terdiam seribu bahasa. Ekspresi Liel seolah-olah Jia tidak boleh mengatakannya. Kemudian Jia segera mengutuk dirinya karena telah lancang mengatakan hal itu. Namun, Jia penasaran, ingin melihat reaksi Liel saat mendengar pertanyaan suka darinya.
“Sesulit itukah menjawab pertanyaanku? Tolong Jangan membuatku malu! Jujur saja, semua ini karena Kay bukan?!”
Matanya melebar sembari menutup mulut Jia. Liel pun dengan seksama melihat sekelilingnya, seperti waspada akan sesuatu. Setelah memastikan semuanya aman. Liel segera membawa Jia pergi dari lokasi sekolah dengan mobilnya.
“Mengapa menutup mulutku? Apa yang coba kamu sembunyikan??”
“Jia, sejauh apa kamu mengetahui tentang kay?”
“Semuanya!” Ucap Jia dengan matanya yang melotot.
Liel terkejut, segera dia membanting stir mobil ke arah kiri dan menghentikan mobilnya dengan paksa di tepi jalan. Hampir saja Liel mencelakai Jia jika tidak memakai sabuk pengaman.
Liel menatap Jia dengan penuh kerinduan serta kesedihan. Perlahan Liel membelai pelan rambut lurusnya Jia. “Maafkan aku Jia, seharusnya aku tidak menyukaimu sedalam ini.”
,, suka deh puny sahabat macam Nata