Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Menolak Sentuhan
Leon tetap menatap punggung David. Tatapan yang tenang tapi mengancam.
Seperti harimau lapar yang memilih menunggu… karena tahu mangsanya takkan bisa lari.
Baru setelah beberapa detik hening—dan napas David kembali tenang dalam tidurnya—
Leon melepas napas perlahan, tenang kembali.
Ia menatap Ghea—yang tetap tertidur lelap dalam dekapannya—lalu menutup matanya lagi.
Tapi kali ini, dengan satu tangan masih siap melindungi.
Leon menyandarkan dagunya di puncak kepala Ghea.
“Tak akan lama lagi, Honey…"
"Aku akan mengambilmu kembali, tanpa bayang-bayang brengsek ini.”
Malam kembali diam.
Namun di sela napas yang tertahan dan pelukan yang menyesakkan… perang tak bersuara itu terus mendidih.
Angin malam di balik jendela kaca seperti menahan diri untuk tidak mengetuk.
Bulan menggantung pucat di langit—menjadi saksi bisu dari cinta yang tak selesai, dan dendam yang belum ditebus.
Ghea menggeliat sedikit dalam tidur. Napasnya pelan, tapi bibirnya tampak menggumamkan sesuatu—sebuah nama, barangkali, atau sisa mimpi yang tertinggal di balik kelopak matanya.
Leon mendengarnya. Tapi ia tak menanggapi.
Bukan saatnya.
Ia hanya mengeratkan pelukannya sekali lagi, seperti memastikan,
bahwa meski malam tak bisa dimiliki, Ghea adalah satu-satunya yang tak akan ia lepaskan.
Dan di sisi lain ranjang…
David menggeliat kecil.
Napasnya berubah, entah karena mimpi buruk… atau karena nalurinya tahu:
Ia sedang tidur di sisi malaikat kematian yang sedang bersabar.
Pagi menyusup pelan.
Cahaya tipis menembus celah gorden, jatuh samar di lantai kamar.
Di antara setengah sadar dan mimpi yang tertinggal, Ghea merasakan pelukan itu mengendur.
Lengan yang hangat dan kokoh itu perlahan lepas dari pinggangnya.
Hembusan napas hangat menyapu wajahnya, seperti bisikan tanpa suara.
Sebuah kecupan mendarat di keningnya—lembut, lama, dan enggan berakhir.
Lalu selimut ditarik lembut, menutupi tubuhnya hingga leher.
Suara langkah kaki pelan menjauh.
Kemudian suara engsel pintu balkon yang dibuka… dan ditutup lagi dengan sangat hati-hati.
"Leon…"
Namanya lolos dari bibir Ghea dalam gumaman lirih yang nyaris tak terdengar.
Ia belum sepenuhnya bangun, tapi hatinya mengikutinya.
Hening kembali menyelimuti kamar.
Beberapa menit berlalu sebelum kesadarannya benar-benar pulih.
Ghea membuka mata perlahan. Tubuhnya masih setengah tertelungkup di atas kasur. Lalu… tangannya terulur, menyentuh sisi ranjang—tempat pria itu semalam berbaring.
Hangat.
Masih terasa kehangatannya.
Dan aroma itu…
Aroma khas tubuh Leon yang selalu membuatnya gelisah dan tenang dalam waktu bersamaan.
"Bukan mimpi."
"Dia di sini."
"Dia tidur memelukku."
Ghea menoleh perlahan ke belakang.
David masih ada di sana—tertidur, membelakanginya.
Kontras yang menyakitkan.
Satu sisi ranjang berisi tubuh suami sahnya.
Sisi lain… hanya meninggalkan jejak seorang pria yang tak seharusnya ada.
Ghea diam.
Matanya menatap langit-langit.
Napasnya pelan, tapi dadanya terasa berat.
"Apa semalam benar-benar terjadi?"
"Apa dia benar-benar di sini?"
Ia menatap tempat di sampingnya sekali lagi, tangan masih tertumpu di atas seprei hangat yang perlahan mulai mendingin.
Tubuhnya… masih bisa merasakan dekapan itu.
Lengan yang familiar.
Denyut jantung yang tak mungkin ia lupakan.
Leon.
"Bagaimana bisa?"
Ia menutup mata, mencoba mengingat detil.
Sentuhan lembut di pinggangnya, desahan hangat di telinga, bisikan—"Tidurlah."
Lalu, kecupan hangat di pelipis dan dahinya—lama, seolah ingin meninggalkan jejak yang tak hilang.
"Itu bukan mimpi."
"Itu nyata."
"Bukan halusinasi."
"Tapi kenapa?"
"Kenapa dia datang… diam-diam?"
"Kenapa pergi begitu saja?"
"Dan bagaimana… dia bisa masuk ke sini?"
"Apa ini yang disebut gila?"
"Atau..."
"Apa ini cinta?"
Cinta yang membusuk diam-diam, tumbuh dari benih yang tak pernah ia tanam, tapi entah bagaimana telah menjalar begitu dalam.
Ghea mengusap wajahnya sendiri.
Kesal. Frustrasi. Bingung.
"Apa yang kau inginkan dariku, Leon?"
"Kenapa kau datang, membuatku merasa hidup… hanya untuk menghilang saat aku membuka mata?"
Ia menatap ke arah David yang masih tertidur.
"Dan kenapa aku merasa lebih hidup dalam pelukan orang asing… daripada di sisi pria yang pernah kusebut suami selama lima belas tahun?"
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berputar dalam kepala, seperti gema yang tak menemukan dinding untuk berhenti.
Ghea menghembuskan napas panjang dan mencoba beranjak duduk, perlahan. Gerakannya nyaris tak bersuara, tak ingin membangunkan David—pria yang dulu begitu ia cintai, tapi kini hanya membawa luka.
Matanya masih enggan lepas dari sisi ranjang yang terasa hangat. Seolah tubuhnya masih menggenggam sisa mimpi yang tak ingin dia lepas.
Lalu…
Pandangan Ghea jatuh pada nakas di samping tempat tidurnya.
Keningnya berkerut.
Ada sesuatu di sana.
Jam tangan.
Berwarna hitam pekat, desainnya maskulin dan elegan—ia langsung mengenalinya. Bukan hanya karena bentuknya, tapi karena ia pernah melihat Leon mengenakannya.
Ia bergidik. Tangannya perlahan terulur, ragu-ragu, menyentuh benda itu.
Hangat.
Masih hangat.
“Tidak mungkin…” bisiknya, nyaris tak bersuara.
Matanya membulat. Perasaannya seperti ditusuk jarum halus—tak menyakitkan, tapi menusuk perlahan.
"Dia di sini. Dia benar-benar di sini."
“Leon…”
Nama itu lolos lagi dari bibirnya, lebih sebagai hembusan napas daripada suara.
Lalu seketika, jantungnya berdebar.
Panik.
Bingung.
Tak tahu harus senang atau takut.
Kalau ini bukan mimpi, maka semua yang ia rasakan tadi malam—sentuhan, pelukan, bisikan, kecupan—nyata.
Tapi…
"Kenapa dia datang diam-diam?"
"Kenapa pergi begitu saja?"
"Dan kenapa… meninggalkan jam tangannya?"
"Apa ini kesengajaan?"
"Atau… pesan?"
Ghea memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar halus, bukan karena takut, tapi karena ia merasa—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—hidup.
Ia menyentuh jam tangan itu sekali lagi, lalu melangkah ke lemari dan menyimpannya dalam laci tersembunyi, di antara syal-syal yang jarang ia kenakan. Tangannya ragu menutup laci, seolah menyembunyikan sebuah janji diam-diam—ia menanti, barangkali, Leon akan kembali mencarinya.
Ia bergegas ke kamar mandi. Saat air menyiram tubuhnya, pikirannya tetap penuh dengan sisa semalam. Pelukan itu. Bisikan itu. Kehadiran itu. Semua masih begitu nyata.
Saat keluar, ia hanya mengenakan jubah handuk dan rambut yang masih lembap, ia mendapati David sudah terbangun.
Lelaki itu duduk santai, bersandar di kepala ranjang, ponsel di tangan, dan senyum mengembang di wajahnya saat menatap layar. Senyum yang Ghea kenal terlalu baik.
Dulu, senyum itu untuknya.
Senyum itu pernah membuatnya merasa paling dicintai di dunia.
Tapi sekarang…
Itu bukan untuknya.
Itu untuk wanita lain yang mungkin sedang membalas chat dengan emotikon genit.
"Pasti selingkuhannya," batin Ghea dingin. Ia tahu senyum itu. Ia tahu binar mata itu. Dulu David menyimpannya untuknya saja.
Refleks, mata Ghea menoleh ke sisi ranjang. Tempat Leon biasa duduk bersandar, dengan tubuh hanya terbalut boxer dan suara seraknya yang hangat.
“Good night, Honey.”
Selalu seperti itu.
Kadang ada “Good morning”—tapi Leon selalu datang tanpa permisi, pergi tanpa pamit.
Yang tertinggal hanya jejak hangat di sprei…
dan kerinduan yang menggurat hingga ke tulang.
“Ghea…”
Sebuah suara—dan sentuhan di lengannya—membuyarkan lamunannya.
Ghea tersentak. Refleks, ia menepis tangan itu.
Tangan David.
Ada sesuatu yang menusuk dalam dadanya. Rasa jijik.
Bukan karena tangan itu kasar, bukan karena menyakitkan—tapi karena tangan itu kini milik pria yang meniduri wanita lain dengan gairah yang dulu hanya untuknya.
“Ghea?”
Nada suara David pelan. Keningnya berkerut, heran.
Tapi Ghea tidak menjawab. Tidak bisa. Tidak mau.
Ia hanya membalikkan tubuhnya, memeluk dirinya sendiri.
Karena ia tahu satu hal:
Ia tak bisa lagi menerima sentuhan pria yang dulu pernah ia cintai.
David masih memandangi tangan yang baru saja ditepis. Keningnya berkerut. Apalagi saat melihat Ghea membalikkan tubuhnya.
“Ghea?”
Perempuan itu tetap berdiri membelakanginya. Tubuhnya terlihat santai, tapi terlalu diam. Datar. Terlalu datar.
“Apa kau marah padaku?” David melangkah perlahan mendekat. “Ghea… aku hanya ingin menyentuhmu, bukan menyakitimu.”
“Jangan menyentuhku, David,” suara Ghea terdengar tenang, nyaris tak bernada. Tapi tegas.
David tertawa kecil. “Kenapa? Karena kita sudah lama tak tidur bersama? Atau karena… ada orang lain di pikiranmu?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.