Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir
Satu minggu telah berlalu sejak malam itu. Malam ketika Melati menghilang bersama kegelapan, malam ketika darah terakhir hampir ditagih, dan malam ketika Lestari memilih untuk tinggal… bukan demi dirinya, tapi demi cinta dan anak-anak.
Pondok itu kini kembali tenang.
Ayam berkokok setiap pagi, suara riang Dimas dan Dara kembali mengisi udara, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Lestari bisa tidur tanpa takut terbangun oleh jeritan dari dunia lain.
Arman duduk di serambi depan, tubuhnya masih lemah, tapi matanya bening, seperti seseorang yang baru pertama kali belajar melihat. Di sampingnya, Lestari menyajikan teh panas. Ia mengenakan kerudung tipis, wajahnya tenang.
"Lestari," ujar Arman pelan.
Ia menoleh. "Ya?"
"Aku ingin bicara."
Lestari mengangguk, tapi tatapannya tetap menghadap kebun kecil di depan pondok.
"Aku tahu… semua yang terjadi tak bisa kau lupakan begitu saja. Aku juga tak bisa memaafkan diriku dengan cepat. Tapi aku ingin kau tahu satu hal."
Lestari diam. Menunggu.
"Aku mencintaimu. Dari awal. Bahkan saat aku tersesat… cintaku selalu pulang padamu. Aku bodoh, aku lemah. Tapi malam itu… saat aku lihat kau berdiri di depan anak-anak, melindungi mereka dengan doa-doamu… aku sadar. Kaulah rumahku. Bukan Melati. Bukan siapa pun."
"Ada Tuhan, " lirihnya
Lestari menarik napas dalam-dalam. Air matanya menitik pelan, tanpa suara.
"Mas… luka di hatiku tak akan sembuh dalam semalam. Tapi jika kau benar-benar ingin kembali… bukan hanya ke rumah ini, tapi ke dalam hidupku… maka buktikan lah."
Arman mengangguk. "Aku akan buktikan. Setiap hari. Selama aku hidup. Dan hal pertama yang ingin aku lakukan untuk membuktikan kesungguhan ku adalah, Aku akan menjual rumah itu."
Lestari langsung menoleh kearah Arman tak mengerti maksud Arman yang tiba-tiba ingin menjual rumah mereka.
"Kenapa? "
"Karena ada kenangan buruk di rumah itu. Aku tidak ingin kamu mengingat masa lalu dan teringat akan semua kesalahan yang sudah pernah aku perbuat. " ucap Arman dengan pandangan lurus ke depan.
"Aku ingin memperbaikinya, benar-benar dari nol. Seperti dulu saat kita menikah. Tapi aku tidak akan membuamu repot untuk kedua kalinya, karena sekarang aku sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk membahagiakanmu dan anak-anak. " imbuhnya sambil terkekeh.
Lestari ikut terkekeh dan mengerti maksud Suaminya itu. "Kalau rumah kita dijual, aku dan anak-anak tinggal dimana? "
Arman terdiam seolah berfikir, Lestari benar dimana mereka akan tinggal jika rumah mereka di jual?
"Kita akan beli rumah baru. Tempat dan rumah seperti apa yang kamu Inginkan? " tanya Arman balik.
"Aku akan beritahu kamu nanti. Sekarang masuklah dan istirahat agar lukamu cepat sembuh. "
Arman mengangguk dan dengan bantuan Lestari dia berhasil bangun dari duduknya. Luka itu masih terasa nyeri, tapi sudah lebih baik dari sebelumnya. Hanya tinggal sedikit lagi agar segera sembuh.
Bu Nurul pergi ke kebun belakang dan duduk di bawah pohon beringin tua yang dulu muncul dalam mimpi Lestari. Dan Kali ini, bukan mimpi.
Ia datang untuk mengucap syukur, menyiram air doa dan garam terakhir, dan menanam bunga tujuh rupa yang disarankan gurunya sebagai tanda penutup siklus. Agar mereka tidak keluar lagi.
Bu Sarti memejamkan mata, dan tersenyum. "Melati, semoga kamu tenang di alam sana dan semua dosa-dosamu diampuni. Aku akan mengirim Fatihah untukmu. "
Beberapa hari kemudian, Arman mengajak Lestari dan anak-anak ke suatu tempat. Arman membawa beberapa barang pribadi Lestari dan anak-anak yang masih bisa dipakai dari rumah yang sudah dia jual beberapa waktu lalu.
Rumah itu sudah dibersihkan sebelum di jual kepada orang lain. Dan pembeli tidak mengajukan komplain karena rumah itu sudah tidak di penuhi hawa gelap. Dan benar saja, setelah melakukan ruqyah, rumah itu dengan cepat mendapatkan pembelinya dan itu membuat Arman sangat bahagia. Dengan begitu dia bisa membeli rumah kecil untuk istri dan anaknya.
Melati tidak lagi di sana. Bagaimana kabarnya, tak ada seorangpun yang tahu dimana keberadaan dan dimana Melati saat ini. Yang terpenting, Dari sanalah Mereka akan selalu mengirim Al-fatihah setelah selesai sholat lima waktu untuk Melati. Karena bagaimanapun sejahat apapun Melati, tapi dia sudah menolong salah satu keluarga kita dengan mengorbankan nyawanya.
"Ini rumah baru kita, " kata Arman saat mobilnya berhenti di sebuah rumah sederhana yang tidak terlalu besar dari rumah sebelumnya.
"Ini?" Lestari seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Iya, ini. rumah sederhana dengan halaman luas yang kamu impikan. Di belakang rumah ini ada sawah yang tidak terlalu luas. Itu adalah sawah kita, uang hasil pejualan rumah aku belikan rumah ini dengan sawahnya. " kata Arman dengan bangga.
Lestari tersenyum lebar mendengarnya. Memang ini yang dia inginkan, hidup sederhana jauh dari kemewahan. Walaupun suaminya termasuk memiliki pekerjaan yang mapan, tapi dia ingin tetap hidup sederhana.
"Ayo masuk. " ajak Arman kepada anak dan istrinya.
Mereka masuk ke dalam rumah dan melihat isi di dalam rumah itu. Semua sudah lengkap, Arman tidak perlu bertanya kepadanya karena suaminya itu sudah tau seleranya seperti apa. Saat melewati mushola kecil Langkah Aruni berhenti dan meletakkan sesuatu dekat jendela.
Sebuah liontin retak yang akan dia gantung di dinding, dikelilingi ayat-ayat suci. Sebagai tanda bahwa masa lalu tak boleh dilupakan, tapi juga tak boleh terus menyakiti.
Di bawah liontin itu, Lestari akan menaruh bunga melati segar setiap hari.
"Untuk perempuan yang pernah tersesat karena cinta," bisiknya, "Semoga Allah mengampunimu… dan kita semua."
Waktu berlalu.
Dara mulai sekolah lagi, Dimas belajar mengaji dengan semangat. Arman memperbaiki ladang dan mulai mengajarkan anak-anak bertani. Ia juga rutin ikut pengajian di surau, duduk di barisan belakang, mendengarkan dengan saksama.
Setiap malam, sebelum tidur, ia membacakan doa untuk anak-anak. Dan sebelum istrinya tertidur, ia menggenggam tangan Lestari dan berbisik, "Terima kasih dan Maafkan aku. "
Lestari tak selalu menjawab. Tapi genggamannya yang lembut adalah jawaban.
Mereka tidak sempurna. Tapi mereka bertahan.
Satu tahun kemudian.
Pagi itu, Dimas berlari ke dapur dengan napas terengah.
"Bunda! Di pohon yang dekat sawah… ada burung gagak hitam! Tapi aneh, dia diam saja, gak terbang dan nggak teriak. " adunya kepada sang bunda yang sedang menyiapkan sarapan.
Lestari menoleh cepat. Wajahnya berubah. Tapi sebelum ia beranjak, suara Dara terdengar dari teras.
"Bunda! Bunda! Burungnya... sekarang udah pergi!"
Lestari keluar, menyipitkan mata. Di tanah dekat pohon, hanya ada sehelai bulu berwarna merah tua. Ia memungutnya. Tapi tak ada hawa dingin. Tak ada bisikan.
Ia menengok ke langit. Cerah. Bening. Damai.
Mungkin itu hanya burung biasa.
Atau mungkin… hanya peringatan, bahwa dunia tak pernah sepenuhnya bebas dari kegelapan.
Tapi Lestari tahu satu hal, selama ada doa, selama ada cinta, dan selama cahaya dinyalakan dari dalam hati... tak ada kegelapan yang tak bisa dikalahkan.
Ia mengecup bulu itu, meletakkannya di dalam botol kecil, dan menaruhnya di samping liontin Melati.
Lalu menatap rumahnya yang kini penuh tawa.
Ia tersenyum masuk bersama anak-anaknya,
Dan menutup pintu.
TAMAT