Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Fajar baru menyinari istana yang semalam dilanda kekacauan. Aroma darah masih terasa samar di udara. Pelayan sibuk membersihkan aula utama dari puing-puing dan sisa pertempuran.
Sementara itu, Kaisar Liu Qingxuan duduk dengan wajah muram di Singgasana Naga. Di depannya, para pejabat tinggi berlutut, menunggu keputusan atas pengkhianatan besar.
“Permaisuri Ying akan diasingkan ke Biara Langit Selatan,” suara Kaisar menggema. “Dan keluarga Gu akan dilucuti dari seluruh jabatan dan harta.”
Tidak ada yang berani membantah. Bahkan Jenderal Han, yang dahulu berpihak pada keluarga Gu, kini menunduk tanpa suara.
“Qianru,” lanjut Kaisar, menatap perempuan yang berdiri di sisi kirinya, “akan diberi gelar resmi sebagai Zhaoyi—Selir Agung dengan kekuasaan penuh atas urusan dalam istana.”
Gemuruh kecil terdengar. Para pejabat saling berpandangan. Seorang wanita yang dulu tak dianggap, kini berdiri lebih tinggi dari seluruh selir istana.
Di kediaman barunya, Qianru duduk sendirian menatap jubah kebesaran yang baru saja diberikan padanya.
Sulaman naga emas menghiasi ujung kain, mewakili simbol kekuasaan yang telah ia menangkan sendiri.
Rui Lan masuk membawa teh, menatap Qianru dengan khawatir. “Nona... kenapa wajahmu terlihat seperti orang yang kalah?”
Qianru tersenyum tipis. “Karena aku merasa... semakin tinggi aku berdiri, semakin banyak mata yang ingin menusukku dari belakang.”
Rui Lan menunduk. “Tapi Nona sudah melakukan hal yang benar.”
“Aku tidak ragu,” Qianru menatap langit. “Hanya saja... kadang aku rindu pada saat aku tak punya apa-apa, tapi bebas tertawa tanpa rasa takut.”
Malam harinya....
Kaisar datang di malam hari, tanpa diiringi kasim atau pengawal. Ia masuk ke ruangan Qianru, duduk di hadapan perapian tempat api kecil menyala hangat.
“Aku datang bukan sebagai Kaisar malam ini,” katanya lirih.
Qianru menoleh. “Lalu sebagai siapa, Yang Mulia?”
“Sebagai pria yang hatinya sudah jatuh pada wanita yang tak pernah ia duga akan menyelamatkan hidup dan tahtanya.”
Qianru terdiam. Api perapian memantulkan cahaya di matanya yang basah.
“Liu… aku tidak pernah bermimpi dicintai oleh Kaisar. Aku hanya ingin hidup tenang.” jawab Qianru
“Aku tak meminta cintamu sekarang,” kata Kaisar pelan.
“Tapi biarkan aku berdiri di sisimu. Tidak sebagai kaisar, tapi sebagai seseorang yang ingin kau percaya.” jawab kaisar
Qianru tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, dia tidak menolak saat Kaisar menggenggam tangannya.
Di saat kebahagiaan mulai tumbuh, bahaya baru kembali mengintai.
Jiu’er, mata-mata paling andalan Qianru, datang tergopoh-gopoh ke ruang rahasia malam itu.
“Ada seseorang yang mendanai gerakan keluarga Gu dari luar,” bisiknya.
“Dan sekarang, mereka mulai mengirim utusan rahasia ke ibukota.”
Qianru mencengkeram lengan baju.
“Ini belum selesai,” gumamnya. “Kita baru saja menyapu halaman depan. Tapi musuh sesungguhnya mungkin masih duduk di ruang tamu.”
Qianru tahu bahwa untuk menghadapi bahaya berikutnya, dia tidak bisa hanya mengandalkan strategi dan keberuntungan. Dia kembali berlatih bela diri, kali ini dibimbing langsung oleh Jenderal Mo, yang mulai mengagumi kecerdikan sekaligus keberaniannya.
Di hutan bambu belakang istana, Qianru mengayunkan pedang pendeknya berulang kali.
“Lupakan gerakan cantik,” seru Jenderal Mo. “Kau bukan penari. Kau prajurit!”
“Siapa bilang aku tidak bisa jadi keduanya?” jawab Qianru sambil menyerang balik, mengenai lengan Jenderal Mo dengan ringan.
Dia tertawa puas. Kini, bukan hanya mulutnya yang tajam. Tangannya pun bisa menebas pengkhianat dalam sekali gerak.
Qianru kini bukan sekadar selir. Dia adalah penjaga keseimbangan istana. Seorang wanita dengan luka yang masih membekas, tapi berjalan mantap menuju medan tempur yang lebih besar—politik kerajaan dan cinta yang mulai mengetuk pintu hatinya.
Langkahnya belum selesai. Tapi satu hal pasti, Qianru tak lagi bisa diabaikan.
Bersambung