Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
“Keindahan jingga ketika sore seperti rona pipi tembammu. Pada hari yang panjang seperti perjalanan hidupmu, aku ingin melihat bagaimana kau tumbuh tinggi, cantik, lembut, dan bahagia. Di kehidupan selanjutnya, aku masih ingin menemuimu. Lalu menjadi kakekmu lagi. Aku sudah pelupa. Tapi aku ingat tempat di mana gigi susumu copot untuk pertama kalinya. Setiap pergi menambang, aku selalu mencari berlian dengan warna paling indah dan bentuk paling cantik. Karena aku kesulitan mencari sesuatu yang lebih indah darimu. Maaf jika aku terlahir sebagai seseorang dengan usia yang terpaut jauh darimu. Maaf jika aku tak mampu menggandeng tanganmu hingga kau ompong sepertiku. Entah bagaimana aku bisa mengatakan banyak hal pada gadis kecilku, aku akan senantiasa menjagamu dalam bentuk apapun diriku. Hiduplah yang panjang, Nine. Aku menyayangimu,” Urai Shinkai membacakan buku harian kakek Haru pada Nine sebagai dongeng sebelum tidur.
Sudah tiga malam, Shinkai menginap di rumah kakek Haru untuk menemani Nine, cucunya. Ditemani Taza yang tidur di sofa.
Gadis berusia 7 tahun itu telah tertidur lelap. Ia terlalu dini untuk mengerti apa makna di balik buku harian itu. Lain halnya dengan Shinkai yang beberapa kali dibuat menitikkan air mata.
Esok Nine akan dimasukkan ke panti asuhan. Awalnya, Shinkai memutuskan untuk menjaganya, sesuai dengan permintaan tersirat sang kakek. Namun, Taza mengingatkan bahwa itu hanya akan membahayakan Nine. Dengan keluarga bu Dyn saja ia masih sangat khawatir, apalagi jika ditambah dengan gadis sekecil Nine yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Di meja kecil dekat ranjang Nine, terdapat foto-foto berjejer. Ada foto kedua orang tua Nine, kakek Haru, Nine, serta keluarga besarnya yang entah bagaimana kisah mereka sekarang. Di depannya masih ada bekas tulisan tangan Nine dan tulisan kakek Haru. Pria itu masih sempat mengajarkan cucunya untuk membaca dan menulis sebelum berangkat kerja dan tidak dapat kembali pulang untuk selamanya.
“Apanya yang sampai jumpa di lain hari. Kau mengingkari janjimu,” gumam Shinkai sambil memandang foto kakek Haru yang sedang memangku Nine.
Masih ada aroma tubuh kakek Haru di pada pakaian yang menggantung di belakang pintu. Seharusnya Shinkai akan menutup hidung dengan aroma itu. namun ia tetap mematung dan menghirupnya. Sekadar kenangan bisu sebelum ia melupakan aroma kakek Haru suatu hari nanti.
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Taza yang tengah duduk manis di kursi rotan.
“Pada akhirnya, cara melindungi mereka adalah dengan menjauhi semuanya.” Shinkai berkata.
Selama Shinkai menginap di rumah kakek Haru, Egan dan Luisa akan berjaga di sekitar rumah bu Dyn, mengingat kejadian yang baru-baru ini menimpa kakek Haru. Ia khawatir dengan Mereka yang di toko bunga.
“Benar, siapapun akan setuju dengan hal itu.”
“Tapi setidaknya, aku akan mencari waktu yang tepat untuk berpamitan dengan wanita baik hati itu.”
“Maksudmu Aimee?”
“Aku tidak sedang membicarakan serigala betina.”
“Baiklah.”
Di meja ruang tengah, ada banyak sekali makanan manis yang dibawakan tetangga untuk Nine. Sekalipun kakek Haru dikenal dengan pria tua yang menyebalkan, namun ia juga dikenal dengan sosok kakek penyayang kepada cucunya.
Malam semakin layu. Taza telah terlelap, sedangkan Shinkai masih penasaran dengan catatan harian kakek Haru.
Mungkin hidupku tidak sepanjang hidupmu, Nine. Tapi aku akan selalu hidup dalam hatimu. Dengan begitu, aku bisa memperpanjang hidup dan melihat semua hal yang kau lakukan di masa depan. Semoga catatan ini masih utuh saat kau sudah pandai membaca. Entah jadi apa kau nantinya, tetaplah ingat aku sebagai orang yang paling mencintaimu. Apakah saat membaca ini kau sudah menikah? Jika ia, sampaikan pada lelaki itu bahwa aku meminta dengan sangat agar ia selalu melindungimu selayaknya diriku. Jika tidak, maka aku akan menghantuinya dan mengusirnya dari hidupmu. Lepaskan saja laki-laki yang tidak berguna.
Jam-jam berlalu tanpa terasa. Mata Shinkai mulai merasakan kantuk. Ia duduk di bingkai jendela sambil memandangi langit mendung. Kosong tanpa aksesorisnya. Seperti rumah ini.
Tanpa sadar, tiba-tiba ada sosok wajah di samping Shinkai hingga membuat Shinkai berteriak kencang dan terjatuh ke lantai. Taza langsung terbangun. Setidaknya, Nine masih tertidur lelap.
“EGAN! Apa yang kau lakukan?” seru Shinkai sembari memegang dada.
Kedatangan seseorang yang mengacaukan momen tenang dan sendu.
“Apakah terjadi sesuatu di sana?” tanya Shinkai.
Egan menggeleng.
“Ada informasi terbaru? Kenapa kau meninggalkan lingkungan rumah bu Dyn?” tambah Shinkai.
Bukannya menjawab, Egan malah menunjuk makanan yang ada di meja dengan dagunya. Lantas memegang perutnya.
“Kau akan dikutuk jika memakan makanan yatim-piatu tanpa izin,” tegas Shinkai.
Sesaat, terdengar suara perut Egan, “Aku juga terlahir tanpa orang tua.”
“Memangnya kau makhluk apa, hah?” Shinkai berjalan ke arah meja dan membawakan salah satu wadah kecil berisi makanan untuk Egan.
Pemuda pendiam itu tersenyum riang dan menerimanya. Kemudian menghilang dengan makanan itu.
“Kukira dia normal,” timpal Taza.
“Tak ada orang normal di sini, Taza. Termasuk kau!”
Shinkai membuka buku harian itu lagi.
“Shin, lihat belakangmu.”
Sontak Shinkai berteriak kencang sekali setelah menengok ke belakang, tepatnya jendela. Itu adalah Luisa yang kali ini tanpaa menguncir rambut. Rambutnya tampak kusut dan menutupi sebelah mata.
“Apa yang kau inginkan, gadis aneh!”
“Aku haus.”
“Kau akan menjadi penjahat saat meminum air milik anak yatim-piatu tanpa izin!”
“Tenanglah. Aku anak pungut.”
“Itu bukan kebanggan, sialan!”
Lagi-lagi, Shinkai berjalan untuk mengambil segelas air minum untuk Luisa. Setelah itu, Shinkai langsung menutup jendela, lantas menguncinya dan menutup tirai rapat-rapat.
“Merepotkan!” seru Shinkai.
“Kau sudah seperti teman bagi dua orang itu. Juga aku yang beberapa hari ini menemanimu. Kau tahu apa artinya?” Taza berkata.
Shinkai terdiam. Ia jelas tahu apa yang hendak diucapkan oleh Taza. Ialah pertanda baha Shinkai sebentar lagi akan menjadi bagian dari mereka. Bagian dari orang-orang yang hidup di antara pertarungan. Hidup di antara otot dan fisik. Selayaknya prajurit perang. Namun yang seperti mereka lebih liar lagi. Shinkai jelas mengerti akan hal itu.
Suara napas Shinkai terdengar. Ia sudah tak berselera membaca buku harian kakek Haru setelah mendengar penuturan Taza.
“Diamlah, biarkan aku bernapas dengan tenang dulu!” pinta Shinkai.
Taza beranjak dan berjalan ke arah pintu. Lantas membukanya, “Shin, lihatlah apa yang terjadi di sini.”
Karena lelah berkomentar, Shinkai menuruti saja apa yang diminta oleh Taza.
“Apa yang kalian lakukan, sialan!” seru Shinkai yang melihat Luisa dan Egan sedang duduk santai sambil menikmati camilan di halaman rumah kakek Haru. “Kalian pikir ini piknik?”
Habis sudah kesabaran Shinkai dengan kelakuan Luisa dan Egan.
“Dari mana pula kalian dapat tikar ini, hah?”
“Seseorang meminjamkan kami saat ia melintas dan melihat kami duduk di atas rerumputan berembun,” jawab Luisa.
Geram sudah diri Shinkai. Dilihatnya kedua orang itu seperti memandangi langit dengan suka cita. Sekalipun tidak ada rembulan dan bintang-bintang yang tampak. Apapun itu, ia memikirkan kondisi di rumah bu Dyn.
“Keluarga angkatmu aman. Tenang saja. Anak panahku akan mengenai musuh dari sini.”
“Jangan bercanda, gadis aneh!” Shinkai hendak melaju ke arah Luisa namun Taza segera menghalangi.
Luisa mengembuskan napas sambil memandang langit mendung, “Kami melepas penjaga di sana. Tenang saja. Kau pikir hanya ada aku dan Egan? Kau hanya perlu menunggu sebentar lagi. Nikmati saja hari terakhirmu di sini. Besok, kau tidak akan bertemu anak kecil itu lagi, bukan?”