roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
"Ayah, biarkan aku berbicara dengan putriku satu kali saja..." Tuan Hasan mendatangi rumah ayahnya. Ia tidak punya pilihan lain selain mencoba membujuk Ayu untuk menikah dengan Reza, apalagi sekarang ia sudah diancam oleh Reza.
..."Apa lagi, Hasan? Sudah kukatakan, jangan temui putrimu lagi kalau kamu masih berharap dia menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Lihat di sana, Ayu begitu bahagia dengan hidupnya sekarang. Dan kamu ingin merusak kebahagiaannya? Aku, sebagai kakeknya, tidak sanggup melihat dia menderita karena keputusanmu. Tapi kamu justru tidak memikirkan itu," ujar Kakek Darjo sambil menunjuk ke arah Ayu yang sedang bermain dengan seekor anak sapi lucu....
"Ayah tidak mengerti. Ini demi masa depannya juga. Reza itu keluarga terpandang. Hidup Ayu akan terjamin. Mereka pasti bahagia," kata Tuan Hasan berusaha membujuk ayahnya.
"Bahagia, kau bilang? Pria seperti Reza bisa membahagiakan cucuku? Buka matamu, Hasan! Reza itu hanya mengandalkan kekayaan ayahnya. Selain pemalas, dia juga hanya bisa foya-foya. Kau sungguh dibutakan oleh harta, bodoh!" balas Kakek Darjo dengan mata melotot, menatap Hasan yang tetap keras kepala ingin menjodohkan Ayu dengan Reza, meskipun jelas Reza tidak sepenuhnya mencintai Ayu.
"Setidaknya Reza bukan pria miskin seperti pemuda yang selalu membuat Ayu murung setiap hari," ucap Tuan Hasan.
"Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan cucuku menderita. Dan kau jangan ikut campur soal hubungan asmara cucuku lagi! Pergi sekarang, sebelum aku membunuhmu di sini!" kata Kakek Darjo dengan tegas, tidak lagi tahan dengan kelakuan putranya.
Mendengar ancaman ayahnya, Tuan Hasan berbalik dan pergi. Ia tidak berani bertahan lebih lama jika ayahnya sudah mengancam seperti itu.
Namun, kepergiannya bukan berarti menyerah. Ia berniat mencari cara lain untuk memaksa putrinya menikah dengan Reza.
Saat sampai di rumah, Reza sudah menunggunya.
"Bagaimana, Om? Apa Ayu sudah bisa dibujuk?" tanya Reza.
"Maaf, Reza. Saya gagal. Kakeknya begitu melindunginya. Tapi tenang saja, kalian pasti menikah. Hanya saja, kita perlu waktu untuk menjelaskan semuanya pada kakeknya," jawab Tuan Hasan, mencoba menenangkan Reza.
"Om, kenapa sih sampai membujuk ayah sendiri tidak mampu? Pokoknya, saya gak mau tahu. Kalau dalam tiga bulan aku belum menikah dengan Ayu, aku akan membuat hidup Om menderita!" ancam Reza sambil pergi meninggalkannya.
"Sial! Kenapa jadi serumit ini? Apa salahnya anak itu menurut? Kan cuma menikah saja, selesai urusannya. Rasanya aku ingin meracuni orang tua itu karena selalu menghalangiku!" ujar Tuan Hasan, kesal, sambil mengobrak-abrik barang-barang di sekitarnya, membuat istrinya keluar untuk menenangkannya.
"Pa, kamu harus sabar dulu. Kita pasti punya cara. Jangan sampai kamu termakan emosi," kata istrinya lembut.
"Kau juga cuma bisa ngomong doang. Bantu aku membujuk putrimu!" balas Tuan Hasan dengan marah.
"Aku akan bantu, tapi kamu tenang dulu ya. Besok aku akan ke sana. Untuk sekarang, istirahatlah dulu," ujar istrinya mencoba meredakan amarahnya.
Tuan Hasan menatap tajam istrinya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
"Aduh... kenapa kau memukulnya?" keluh Roni kesakitan saat Mbak Maya memukul sesuatu yang berharga baginya.
Mbak Maya sengaja melakukannya agar dirinya tidak sampai kelepasan. Meski sudah lama mendambakan Roni, dia sadar bahwa Roni belum sepenuhnya pulih dan butuh istirahat.
Saat Mbak Maya meninggalkan Roni untuk menaruh handuk basah, Roni iseng memukul bok*ngnya. Mbak Maya langsung berbalik dan melotot.
"Sekali lagi kau berani melakukannya, aku akan pukul itu!" ancam Mbak Maya, tapi Roni hanya tersenyum jahil.
"Sekarang waktunya makan. Sini, aku suapin," ujar Mbak Maya sambil membawa sepiring nasi.
"Kamu begitu peduli padaku, padahal aku seperti ini. Terima kasih ya," kata Roni sambil tersenyum.
"Kita kan calon suami istri. Sudah seharusnya aku melakukan ini untukmu," jawab Mbak Maya, tersenyum lembut.
"Baiklah, intinya aku berterima kasih. Kamu bukan hanya cantik, tapi juga baik. Aku beruntung punya calon istri sepertimu," ujar Roni sambil menerima suapan dari tangan Mbak Maya.
"Andaikan kau tahu, Roni, kalau aku sebenarnya berbohong, apa kamu akan marah padaku? Astaga, kamu memperlakukanku seperti ini, membuatku ingin kau tetap hilang ingatan," gumam Mbak Maya dalam hati.
Mereka terlihat begitu mesra, apalagi Roni sesekali mengambil daging dari piringnya untuk menyuapi Mbak Maya, membuat suasana semakin romantis. Sebelum hilang ingatan, Roni tidak pernah seromantis ini pada Mbak Maya.
Di tempat lain, terlihat Miya duduk sambil memegangi tangan ibunya yang masih terbaring koma di tempat tidur. Dia terus menatap wajah ibunya yang memejamkan mata, berharap ibunya segera membuka mata.
"Ma, kapan Mama akan bangun? Miya merindukan canda tawa Mama. Mama tidak bosan ya tidur terus? Miya mohon, bangun, Ma," ucap Miya sambil menangis.
Setiap kali ada pemeriksaan, Miya selalu menerima kabar buruk bahwa kondisi ibunya semakin memburuk. Hal ini membuat Miya tidak dapat menahan air matanya.
"Pa... kata dokter, Mama saat ini merasa begitu menderita. Miya kasihan sekali sama Mama, apalagi dokter bilang keadaan Mama semakin memburuk. Bagaimana ini, Pa? Hiks... hiks...," tangis Miya dalam pelukan ayahnya.
"Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Mama, Sayang. Semua ini kita serahkan kepada Tuhan. Semoga saja Mama segera membaik dan sadar kembali," ucap ayahnya sambil membelai kepala Miya yang masih memeluknya. Kata-katanya tadi sebenarnya juga untuk menenangkan dirinya sendiri, yang juga merasa jauh lebih menderita melihat kondisi istrinya seperti itu.
Pernah beberapa kali, Tuan Bram melihat Serli mengeluarkan keringat di wajahnya dan juga air mata, menandakan bagaimana menderitanya ia di dalam komanya. Hal ini membuat mereka berpikir untuk lebih ikhlas jika Serli meninggalkan mereka daripada terus menderita seperti ini. Mereka melihat bagaimana Serli berusaha keras untuk bertahan hidup di tengah rasa sakit yang begitu besar.
Sementara itu, Bobi, yang sedang berada di luar negeri, juga mendapat kabar tentang kondisi ibunya. Ia menjadi tidak fokus belajar karena terus memikirkan ibunya. Ia ingin segera terbang pulang, namun saat ini ia sedang menjalani ujian penting yang tidak bisa ditinggalkannya. Bobi hanya bisa melihat kondisi ibunya melalui panggilan video.
"Kakak ingin sekali pulang dan melihat Mama, Miya. Tapi Kakak tidak bisa meninggalkan studi Kakak di sini. Kakak jadi bingung," ucap Bobi sambil mengelap air matanya yang terus mengalir. Pemuda yang biasanya tegar dan kuat itu kini terlihat begitu lemah dan cengeng, hanya karena melihat kondisi ibunya terbaring koma di kamar rumah sakit melalui layar ponsel.
"Kakak fokus aja di situ, ya. Biar Miya yang merawat Mama. Mama juga pasti tidak mau kalau Kakak meninggalkan ujian Kakak yang begitu penting," ujar Miya, mencoba menenangkan kakaknya.
"Terkadang Kakak merasa semua ini tidak penting lagi kalau Mama saja dalam kondisi seperti ini. Beberapa hari ini Kakak gak bisa fokus belajar, terus kepikiran Mama. Kakak takut sesuatu terjadi sama Mama," kata Bobi dengan suara lirih.
"Kakak gak usah berpikir yang macam-macam, ya. Pokoknya tetap berdoa yang terbaik buat Mama. Mama juga membutuhkan doa dari Kakak," jawab Miya dengan lembut.
"Baiklah, Miya. Tutup teleponnya dulu ya, ada dokter yang hendak memeriksa Mama," kata Bobi, dan Miya pun memutuskan panggilan telepon dengan kakaknya yang berada jauh di luar negeri.
"Kamu sebenarnya sakit atau tidak sih? Kok belum juga merasa lelah, sedangkan aku sudah sangat letih," tanya Mbak Maya.
"Aku kan sudah bilang, kamu tidak bisa melihat aku lemah atau tidak. Buktinya, kamu sendiri yang lebih cepat menyerah daripada aku. Sayangnya, aku tidak bisa memberikan gerakan seperti dirimu," jawab Roni.
Keesokan Harinya
Saat Mbak Maya selesai menyuapi Roni sarapan, ia menerima telepon dari rumah sakit. Ada pasien yang membutuhkan perawatannya segera karena dokter lain masih sibuk.
"Roni, boleh aku tinggal sebentar? Rumah sakit menelpon, mereka butuh aku di sana. Tidak apa-apa, kan?" tanya Mbak Maya.
"Ya, tidak apa-apa. Pergi saja," jawab Roni dengan santai.
"Baiklah. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya. Aku akan segera pergi," ujar Mbak Maya sambil bersiap-siap sebelum berangkat.
Setelah kepergian Mbak Maya, Roni menatap langit-langit kamar sambil bergumam dalam hati, "Perempuan pekerja keras, bukan hanya cantik dan seksi, tapi juga baik. Ingin rasanya aku mempercepat hari pernikahan kami."
Saat ini, Roni hanya bisa terbaring di tempat tidur karena tubuhnya masih lumpuh. Jika ingin keluar, ia harus menggunakan kursi roda yang didorong oleh Mbak Maya. Sendirian, ia tidak mampu.
Beberapa saat kemudian, Mbak Maya kembali ke rumah. Roni langsung memanggilnya.
"Ada apa, Roni? Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Mbak Maya.
"Tidak. Aku hanya butuh kamu. Mendekatlah," ujar Roni sambil menjulurkan tangannya.
Mbak Maya mendekat. Roni memegang tangannya dan berkata, "Aku ingin secepatnya menikahimu. Kalau bisa, besok kita menikah."
Mendengar itu, Mbak Maya terkejut.
"Roni, kamu masih sakit. Kenapa kita tidak menunggu sampai kamu sembuh dulu? Lagi pula, kita akan tetap menikah kok," ujar Mbak Maya, mencoba memberi alasan.
Awalnya, Mbak Maya hanya berpura-pura menjadi calon istri Roni demi alasan perawatan, tanpa benar-benar berniat menikah dengannya. Namun, kini situasinya menjadi rumit.
"Tidak, Maya. Aku hanya ingin kita segera menikah. Apa kamu tidak mau cepat menikah? Kalau begitu, kenapa harus ditunda?" ucap Roni.
Mbak Maya merasa bingung harus menjawab apa.
"Besok, bawa aku ke KUA. Kita menikah di sana. Soal pesta, nanti saja setelah aku sembuh, kita adakan," ujar Roni penuh keyakinan.
Dalam hati, Mbak Maya berkata, "Astaga, aku tidak pernah berpikir kita benar-benar menikah. Nanti kalau Roni pulih dan ingat semuanya, bagaimana wajahku menghadapi dia? Bagaimana jika dia mengira aku memanfaatkan kondisinya? Padahal, aku hanya bermaksud menjaga dan merawatnya, bukan menikah dalam keadaan seperti ini. Aku ingin dia melamarku ketika dia sadar sepenuhnya, bukan sekarang."
"Kenapa bengong? Kamu tidak mau, ya?" tanya Roni, heran melihat Mbak Maya diam mematung.
"Tidak-tidak, baiklah. Besok kita ke KUA, kita menikah," ujar Mbak Maya akhirnya. Ia tidak punya pilihan lain. Ia takut menolak keinginan Roni yang sedang dalam kondisi mental rapuh.
"Tunggu sebentar, aku ke toilet dulu," ucap Mbak Maya sambil bergegas ke kamar mandi.
Di sana, Mbak Maya menangis. Ia merasa bingung, antara bahagia atau sedih. Di satu sisi, ia merasa seperti memanfaatkan kondisi Roni. Namun, di sisi lain, ia merasa lega karena memiliki status dan hak untuk selalu berada di samping pria itu.