Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Gavin berdiri di balkon lantai dua, tubuh tegapnya diselimuti kemeja tipis, tangan bersandar di pagar kayu. Wajahnya tetap datar menatap Rada yang berjalan bersama Daniel di kejauhan.
Ia tidak sadar seseorang mendekat sampai suara langkah terdengar dari arah belakang. Ketika menoleh, matanya langsung menangkap sosok El yang tersenyum sinis, tatapan matanya penuh tantangan.
“Tidak kusangka kita akan bertemu di tempat seindah ini,” ujar El pelan, nada suaranya sinis. “Lombok memang romantis, ya? Cocok untuk orang yang lagi jatuh cinta diam-diam.”
Gavin menatapnya datar, tidak membalas sepatah kata pun. Tapi El terus maju, sengaja berdiri di sebelahnya.
“Kamu pikir aku nggak tahu?” lanjutnya. “Dari dulu kamu suka Rada, kan? Tapi sayangnya, meskipun kamu bisa menikahinya, dia nggak akan pernah mencintaimu seperti dia mencintaiku.”
“Kamu datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengatakan itu?” Tatapan Gavin sedikit berubah menjadi lebih dingin dan tajam, tapi saat berbicara dia tetap tenang
El tertawa kecil. “Aku cuma ingin memastikan kamu sadar tempatmu, Gavin. Rada mungkin akan jadi istrimu, tapi hati dia masih milikku. Dan itu tidak akan pernah berubah.”
Gavin menatap laut sebentar, lalu kembali menatap El dengan pandangan datar yang membuat lawannya seketika kehilangan sedikit keberanian. “Lucu,” katanya tenang. “Biasanya seseorang yang benar-benar yakin tidak perlu berusaha keras meyakinkan orang lain.”
Nada datar itu membuat El menggertakkan gigi. Ia hampir melangkah maju, tapi sebelum ia sempat bicara lebih jauh, suara langkah lembut dan suara lembut seorang wanita memotong ketegangan.
“Gavin, Nak, kamu sedang apa di sini?”
Bunda Istina muncul di balkon dengan gaun santai berwarna lembut. Wajahnya tampak ramah seperti biasa, tidak menyadari ketegangan yang baru saja nyaris meledak. “Lho… ada El juga? Kapan datang El? Naysa mana?
Sekejap saja, ekspresi El berubah total. Ia memasang senyum ramah, bahkan sedikit tertawa. “Oh, kami cuma ngobrol, Bunda.” katanya santai. “Maklum, sekarang saya ini kan kakak ipar Rada, jadi wajar kalau saya ingin memastikan calon suaminya bisa menjaga adik ipar saya dengan baik. Naysa nggak ikut, Bun.”
Gavin hanya menatapnya dari sudut mata, senyum tipis muncul di wajahnya, tapi senyum itu lebih mirip ejekan dingin daripada keramahan. “Tentu saja, ‘Kakak Ipar’. Saya akan pastikan Rada dijaga dengan baik. Sangat baik, bahkan.”
El hanya membalas dengan senyum palsu, tapi kedua matanya menyalakan api marah yang tak bisa disembunyikan.
Bunda Istina tertawa kecil, tidak menyadari pertarungan diam antara dua pria di depannya. “Senang sekali kalian bisa akur begini. Sudah malam, ayo masuk, besok kita harus bersiap kembali ke Jakarta.”
El pamit lebih dulu dengan alasan ingin menelpon Naysa, meninggalkan Gavin yang masih berdiri di balkon, menatap laut yang gelap.
Wajahnya kembali datar, tapi di balik ketenangan itu, pikirannya bergolak. Ia tahu El belum akan berhenti, dan entah kenapa, ketakutan terbesarnya bukan tentang kehilangan pernikahan ini melainkan kehilangan hati Rada sebelum ia sempat benar-benar memilikinya.
Gavin benar-benar tahu sedalam apa hubungan keduanya. Tujuh tahun bersama, dan Rada sedari dulu terlihat sangat mencintai El. Bahkan saat pertunangan mereka diumumkan, Gavin sempat putus asa karena tidak ada lagi kesempatan untuk mendapatkan Rada.
...☆...
Angin malam yang semula lembut kini terasa berat di udara ketika Rada dan Daniel melangkah pelan menuju villa. Suara ombak masih terdengar samar di kejauhan, sementara lampu-lampu taman kecil di sepanjang jalan setapak memantulkan cahaya kekuningan di wajah mereka.
Rada tersenyum kecil. “Sudah lama kita nggak ngobrol santai begini,” katanya lembut.
Daniel menatap adiknya, ekspresinya tenang dan penuh kasih. “Iya. Kamu kelihatan lebih kuat dari terakhir kali aku lihat, Ra.”
Rada hanya mengangguk, tak ingin membahas luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Mereka berjalan sampai di depan pintu villa utama dan langkah Daniel tiba-tiba berhenti.
Di sana, bersandar santai di mobil hitam yang diparkir di depan halaman, berdirilah El. Wajah pria itu menegang seketika saat melihat keduanya. Senyumnya yang biasa penuh percaya diri mendadak lenyap digantikan kegugupan yang jarang muncul.
Daniel menatapnya dengan dingin. Pandangan matanya tajam seperti pisau yang siap menusuk.
“Berani juga kamu datang ke sini,” ucapnya rendah, suaranya seperti menahan bara yang siap meledak kapan saja.
El menelan ludah, berusaha tersenyum. “Aku cuma mau bicara baik-baik sama Rada.”
“Bicara?” Daniel melangkah satu langkah maju, bahunya tegang. “Setelah apa yang kamu lakukan ke dia, kamu pikir aku akan biarkan kamu bicara lagi dengan Rada?”
Suasana di sekitar mereka mendadak hening. Hanya suara serangga malam yang terdengar samar. El mundur setengah langkah, matanya menatap Daniel penuh waspada. “Aku tahu aku salah. Tapi—”
“Udah.” Rada cepat memotong, berdiri di antara keduanya sebelum Daniel sempat kehilangan kendali. Ia menatap kakaknya dengan lembut tapi tegas. “Niel, tolong. Aku nggak mau ada masalah di sini. Kita cuma tinggal satu hari lagi sebelum pulang.”
Daniel masih menatap El dengan rahang mengeras, nafasnya memburu. Ia jelas menahan diri dengan susah payah. Rada kemudian beralih menatap El. “Kamu sebaiknya pergi, El. Sekarang.”
Nada suaranya tenang tapi dingin, dan entah kenapa, justru itu yang membuat El akhirnya menyerah.Ia menunduk sedikit, lalu tanpa kata lagi melangkah cepat menuju mobilnya.
Mesin mobil menyala, lalu meninggalkan villa dengan suara menderu pelan. Baru setelah mobil itu benar-benar menghilang di tikungan, Daniel menghela nafas panjang.
“Kalau aku nggak ingat Bunda lagi di sini, mungkin aku udah—”
“Aku tahu, Niel,” potong Rada lembut, menatapnya dengan senyum tipis. “Tapi aku sudah selesai dengan masa laluku. Jangan kotorin tangan Kakak buat seseorang kayak dia.”
Daniel menatapnya lama, kemudian mengusap kepala adiknya pelan. “Kamu benar-benar udah tumbuh jadi perempuan kuat, Rada.”
Rada hanya tersenyum kecil, meski di dalam hatinya masih terasa getir.
Mereka lalu masuk ke dalam villa, meninggalkan halaman yang kini kembali sunyi tanpa menyadari bahwa dari balkon lantai dua, Gavin menyaksikan semuanya dalam diam.
Ekspresinya tetap datar, tapi matanya tajam, mengikuti arah mobil El menghilang.
Dalam hati ia bersumpah, kalau El berani datang lagi mengganggu Rada, ia akan membuat pria keras kepala itu membayar harga yang mahal.