Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 22.
"Aaa, diam!" Fio berdiri perlahan dan menghadap ke arah Elio.
"Perutku sakit, bukan mau mati. Kalau tuan mau mati, mati saja sana. Dasar tidak berperasaan, seenaknya saja tu congor nyablak." Merasa geram, Fio membalas ucapan Elio.
Atas apa yang baru saja di ucapkan oleh Fio, membuat Elio terdiam. Biasanya, jika ada orang yang berkata kasar padanya. Sudah dapat dipastikan jika orang tersebut akan mendapatkan yang lebih dari pada itu, namun kini malah sebaliknya. Elio terdiam, bahkan dirinya seperti anak kecil yang baru saja dimarahi oleh orangtuanya.
Sedangkan Fio, setelah meluapkan apa yang ia rasakan. Ia memilih duduk menjauh dari Elio, mencoba menenangkan diri, agar rasa sakit pada perutnya itu tidak membuatnya mati seperti kata Elio.
"Hai hai hai, makanan datang." Max masuk tanpa ada rasa bersalah, ia langsung meletakkan makan yang dibawanya di atas meja yang ditempati oleh Fio. Awalnya ia tidak mengetahui apa yang terjadi, akan tetapi lamban lain ia menyadari sesuatu yang aneh.
"Tuan, ayo sarapan dulu. Nona Fio, ayo." Max membuka makanan yang sudah ia hidangkan.
"Tidak tuan, terima kasih. Nanti saja, jika aku lapar." Tolak Fio yang masih menahan rasa sakit pada perutnya.
Bagitu pula dengan Elio, ia menolak dan beralasan jika sedang fokus pada berkasnya. Sungguh aneh bagi Max, lalu ia menatap dua orang yang berada disana secara bergantian. Lalu sudut mulutnya tertarik, ia tahu jawabannya.
"Ya sudah, kalau tidak ada yang mau sarapan. Aku makan sendiri saja, wah. Makanan ini sangat enak." Max sengaja mengeluarkan semua pujiannya terhadap makanan yang ia makan.
Dengan menggunakan caranya, sengaja membuat agar kedua orang itu bisa tergoda. Akan tetapi, Max sedikit mengkerutkan keningnya saat memperhatikan Fio. Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri, dan terfokus pada perutnya.
Sambil tetap mengunyah makanannya, Max mendekati Fio.
"Nona kenapa?" Mendarat kan bokongnya di samping Fio, Max menghentikan makannya.
"Nona Fio, nona sakit?" Max sedikit panik.
"Biarkan saja, dia tidak akan mati karena sakitnya." Ketus Elio dari tempatnya, ternyata telinganya masih ikut-ikutan mencari informasi.
Lalu Max berjongkok dihadapan Fio, keringat dingin pada wajah itu membuat Max menegang. Ia tahu jika Fio sedang menahan rasa sakit, ia pun segera mengambil air hangat dan memberikannya kepada Fio.
"Minum dulu nona, setidaknya sedikit memberikan keringanan untuk sakitnya." Max menggaruk kepalanya, mengingat-ingat dari ciri sakit yang Fio tunjukkan.
"Nona punya maag, ya?" Lanjut Max.
Fio pun langsung menjawabnya dengan menganggukkan kepalanya, ada sedikit perasaan lega setelah meminum air hangat sebelumnya. Fio kini mencoba membenarkan posisinya agar tidak begitu menyakitkan, dan Max pun segera mengambil obat yang terdapat di lemari kecil didekat Elio.
"Mau apa, hah?" Ketus Elio yang mendapati Max membuka lemari kecil miliknya.
"Cari obat tuan, masa cari jodoh. Tuh, nona Fio sepertinya sakit maag." Max terus mencari keberadaan obat itu.
Mendengar hal tersebut, Elio sekilas menatap ke arah Fio. Terlihat jika wajahnya begitu pucat, tiba-tiba saja. Elio mendekati Fio dengan sebelumnya mengambil sesuatu dari laci mejanya, ada perasaan khawatir dan juga cemas yang ia rasakan.
Mendahului langkahnya mendekati Fio, dengan sikapnya yang dingin. Elio mengulurkan tangannya yang terdapat obat kepada Fio.
"Minum obat ini, kalau sakit itu jangan sok-sokan nggak laper. Menyusahkan saja, mau mati jangan disini." Begitu tajamnya ucapan itu.
Atas kejadian itu, membuat Fio maupun Max menjadi heran. Pria itu begitu angkuh namun kini berubah menjadi seperti malaikat penolong, namun sayang dalam versi seorang Elio.
"Pantasan saja tidak ada di lemari kecil, kalau tahu disana. Nggak bakalan ni kepala kena jedot lemari." Cibiru Max pada Elio, karena kepalanya sudah benjol.
"Diam." Seperti biasa, kalimat pamungkas selalu terdengar.
"Sudah-sudah, kenapa anda berdua yang jadinya berdebat? Terima kasih obatnya tuan, tapi dengan ucapan tuan saja sudah membuat sakitnya hilang. Kalaupun mau mati, rugilah saya." Fio menerima obat dari Elio dan langsung meminumnya.
"Ternyata wanita ini hanya kamuflase dari seorang yang pendiam, namun lihatlah kini. Begitu cerewet dan beraninya membantah tuannya. Untuk hari ini, kamu aku maklumi. Tapi tidak untuk berikutnya." Elio kembali lagi ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya.
"Aku sudah mengundurkan diri dari pekerjaan mengurusi anda tuan Elio, anda tidak berhak untuk memaksa saya untuk kembali menuruti ucapan anda." Fio berdiri dan hendak keluar dari sana.
"Aku tidak pernah mengabulkan ucapanmu itu, jadi jangan membantah. Istirahat disana, tidur jika perlu. Setelah makan siang, jadwalku untuk terapi."
"Diam! Dan menurut lah." Elio mendahului memotong ucapan yang akan Fio katakan, karena pria itu sudah sangat pusing menghadapinya.
Ingin sekali bagi Fio melawan semua yang Elio katakan, tapi entah mengapa aura pria itu sangat membuatnya tidak berkutik. Dengan muka yang cemberut, tidak memungkiri jika Fio saat itu juga lelah dan membutuhkan istirahat. Kaki itu melangkah menuju sofa yang ia duduki sebelumnya, menyandarkan punggungnya dan menutup kedua matanya segera.
Berbeda dengan Max, ia kali ini hanya menjadi penonton dari drama yang diperankan oleh Elio dan Fio. Bibirnya pun ikut cemberut dan menatap dua orang yang sedang berperang itu secara bergantian, max mengambil keputusan untuk menyuruh Fio memakan makanan yang ada sebelum ia benar-benar beristirahat. Karena obat yang ia minum tidak akan bekerja tanpa asupan makanan, dimana obat itu akan menjadi kurang efektif bekerja jika itu tidak dilakukannya.
Alih-alih seperti patung hidup disana, Max memilih keluar dan mengerjakan pekerjaan di ruangannya.
"Mau kemana, hah?" Ucap Elio tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas tersebut.
"Balik ke ruangan tuan, enakan jadi nyamuk yang mengisap darah. Lah ini, jadi nyamuk buat ditepuk sampai penyet. Kalah tu ayam penyet, permisi." Dengan begitu tengilnya, Max berjalan meninggalkan Elio disana.
"Tunggu! Cari informasi tentang dia, wanita bawel yang sok mau berhenti bekerja mengurusku itu. Satu jam, informasi itu sudah ada, jangan menganggur saja diruangan mu." Elio menyeringai.
Mendapati harinya cukup ribet, Elio menghentikan aktivitasnya. Pulpen itu ia letakan begitu saja di atas meja, berkas yang ia kerjakan pun di abaikan. Akan tetapi, pikirannya tidak bisa diam tertuju pada Fio. Hal yang sangat membuat nya bingung dan tidak nyaman, karena perasaan itu sangat aneh.
"Satu jam?! Anda waras, tuan?" Max melebarkan kedua matanya.
Plukh!
Lemparan pulpen dari tangan Elio, mendarat keras di kepala Max. Hingga membuat pria itu meringis dan berteriak.
"Aaa!"
Max berteriak, namun syukurlah saya itu Fio sudah tertidur akibat dari efek obat yang ia minum.
"Membantah, hah?! Aku pangkas habis gajimu bulan ini, tidak ada bonus dan lembur." Ancam Elio.
"Wah wah wah, anda semakin tidak waras tuan. Pantas saja, nona Fio menyerah mengurus anda." Umpat Max.
"Max!!"
"Iya! Iya iya iya. Puas."