Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Mengunjungi Makam
Sepulang sekolah, Nisa dijemput Utari dan mama Sukma. Rencananya mereka akan mengunjungi makam kedua orang tua Utari. Nisa sudah tidak lagi terlihat murung atau lemas. Dia justru terlihat sangat bahagia setelah pulang sekolah.
"Halo, cucu oma. Kamu, kok, kayanya senang banget?"
Nisa tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Nisa happy. Kata Bu guru Venny, aku pinter, Oma."
"Oh, iya 'kah?" Mama Sukma pura-pura kaget mendengar info ini. Nisa semakin antusias berbicara mengenai kegiatannya selama sekolah.
Mama Sukma dalam hati bersyukur sekali, karena kemarin-kemarin Nisa benar-benar terlihat jauh berbeda dari sekarang. Dia sudah kembali menjadi Nisa yang bersemangat dan ceria.
Mobil mereka berhenti di sebuah toko bunga. Utari membeli dua buket bunga matahari kesukaan ibunya. Ia ingat pernah mendengar ceritanya dulu. Saat ayahnya dan ibunya masih masa pendekatan, ayahnya sangat tidak menyukai bunga berwarna kuning cerah itu. Akan tetapi setelah mengetahui jika itu bunga kesayangan ibunya, Ayahnya selalu datang membawakan bunga itu ke rumah ibunya. Lambat laun karena seringnya melihat bunga itu, ayahnya baru menyadari jika bunga matahari tidaklah seburuk itu.
Apalagi setelah ibunya memberitahu filosofi tentang bunga matahari yang melambangkan kesetiaan dan penantian. Saat itu ibunya juga mengatakan jika diberbagai kebudayaan di dunia menganggap bunga matahari sebagai bunga yang memiliki makna terkait dengan cinta, pengorbanan, kesetiaan, dan penantian. Sejak saat itu ayah Utari sangat menyukai bunga matahari.
"Ibu, bunganya cantik sekali seperti ibu," kata Nisa. Utari mencubit pipi Nisa dengan gemas.
"Mulut Nisa manis sekali, seperti permen," balas Utari. Keduanya tertawa dan masuk ke dalam mobil.
15 menit kemudian, mobil tiba di lokasi pemakaman. Senyum yang tadi dimiliki Utari perlahan surut seiring dekatnya mereka dengan makam kedua orang tuanya.
"Ibu, kata oma kita akan mengunjungi kakek dan nenek, tetapi mengapa kita di sini?" tanya Nisa penasaran.
"Sayang, ini disebut pemakaman. Kakek dan nenek sudah meninggal, jadi ini tempat peristirahatan terakhir mereka."
"Oh, apakah mereka semua disini tidur?" tanya Nisa penasaran.
"Mereka tidak tidur. Mereka beristirahat untuk selamanya. Mereka ga akan bangun lagi."
Nisa mengangguk angguk. Seumur hidupnya dia tidak pernah mendatangi makam atau melewatinya, karena kehidupan Utari saat itu hanya di seputaran perkampungan-nya yang jauh dari pemakaman umum.
Mama Sukma sejak tadi mendengarkan percakapan ibu dan anak, ini membuat hatinya terenyuh. Andai saja Putri masih hidup, pasti dia akan senang sekali mendengar celotehan Nisa.
Saat tiba di depan makam kedua orang tuanya, Utari tiba-tiba diam membisu. Dia menatap nanar kedua makam itu. Seolah melihat kedua orang tuanya sedang memandang kearahnya.
"Keenan, Putri, aku kesini ajak Utari dan bawa Nisa, cucu kalian yang menggemaskan," kata mama Sukma dengan suara bergetar.
Utari meletakkan salah satu buket bunganya di makam sang ibu. Nisa pun ikut-ikutan meletakkan buket bunga di tangannya ke makam di sebelahnya.
"Bunda, Utari datang." Utari duduk sambil mengusap nisan ibunya. Matanya memerah, setitik air mata menetes di pipinya yang putih. Dua orang pria beda generasi baru saja tiba, saat Utari tiba-tiba menjadi begitu melankolis, menangis hingga sesenggukan tanpa kata. Bahkan Nisa sampai ikut menangis karena takut.
Papa Tama dan Bian segera mendekati mama Sukma yang tengah menenangkan Nisa. Mama Sukma seketika menoleh dan mendapati suaminya dan Bian berdiri di belakangnya. Papa Tama mengajak mama Sukma menjauh dari sana. Sedangkan Bian maju dan berjongkok di belakang Utari.
Karena Utari menunduk, dia tidak menyadari Bian ada di belakangnya.
"Bunda, maafin Tari. Tari ga pernah jenguk bunda sama ayah. Aku ga berbakti sama kalian berdua. Aku jahat banget, ya!"
Utari semakin sesenggukan. Mengingat tujuh tahun dia tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di makam kedua orang tuanya.
"Bunda, ayah, aku udah jadi janda sekarang. Aku ga seberuntung Bunda yang diperjuangkan ayah."
Saat Utari kembali sesenggukan. Kali ini usapan lembut di punggungnya menyadarkan dia. Utari menoleh dan mendapati Bian di belakangnya, tersenyum lembut.
"Bi ...."
Bian membantu Utari berdiri. Keduanya masih menghadap ke arah batu nisan kedua orang tua Utari. Bian merangkul bahu Utari dan berkata dengan suara cukup keras.
"Om, tante, ini Bian. Mungkin kalian lupa siapa aku? Aku teman Utari sewaktu sekolah dulu. Di sini aku mau minta ijin untuk melanjutkan tugas kalian menjaga Utari. Mulai sekarang Utari ada di bawah pengawasanku, di bawah perlindunganku, aku janji ga akan sakiti dia. Meski Utari Janda aku ga masalah. Aku suka dia apa adanya. Siapapun dia sekarang aku menyukainya."
Utari menarik diri dan menatap Bian dalam-dalam. "Bi, kamu ...." Utari kehabisan kata-kata.
"Kamu ga ada alasan buat sendiri lagi. Setelah masa iddahmu selesai, Aku akan menikahimu Utari.
Bian berdiri membelakangi cahaya, Sosoknya tampak luar biasa tubuhnya tegap, rambutnya ikat dan tebal. Alisnya yang tebal memanjang seperti pedang, warna matanya yang hitam pekat dan hidung yang seperti perosotan anak TK. semuanya tampak luar biasa dimata Utari.
Setelah mengatakan janjinya, Utari dan Bian meninggalkan area pemakaman. Utari bingung melihat mobil Bian di sana dan mobil mama Sukma yang telah menghilang entah kemana.
"Loh, kok, ini mobil kamu. Mama mana?"
"Mama sudah pulang sama papa. Tadi Nisa nangis ketakutan lihat kamu nangis di makam."
Utari menatap Bian dengan wajah sembab, dua rona merah menggantung di kedua pipinya. Bian merasa gatal dan akhirnya mengangkat tangannya. Dia mengusap pipi wanita itu dengan lembut.
"Jangan menangis lagi, Tari. Mulai sekarang kamu bisa mengandalkanku."
Utari mengangguk dan sudut bibirnya terangkat. keduanya masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan tempat pemakaman.
Jika dulu ia pikir dirinya tidak bisa lepas dari kehidupannya yang suram, sekarang dia merasa ada secercah asa dan setitik harapan untuk sebuah kebahagiaan.
Tiba di rumah, Utari rupanya sudah ditunggu Lisa dan pengacara Alex. Keduanya bersalaman dengan Utari, kemudian duduk. Alex mengambil sesuatu dari dalam tas nya.
"Ini surat cerai anda, Nyonya.".
"Secepat ini?" tanya Utari tak percaya."
"Ya nyonya." Alex menyerahkan surat cerai itu pada Utari. Utari menerimanya dengan santai. Dia lantas menyimpan surat itu di sampingnya.
"Terima kasih pak Alex. Tanpa bantuan anda, mungkin saya memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan surat cerainya.
"Sama-sama, Nyonya."
Sebenarnya saya cukup kewalahan untuk membujuk orang dalam agar segera memproses surat cerainya. Tapi karena pak Bian memaksa, jadi saya usahakan.
Ucap Alex dalam hati. Dia tidak berani mengatakan hal itu di depan Utari.
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu