Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Before It Was Too Late
Jae Hyun berdiri di depan ruang Unit Gawat Darurat, punggungnya tegak namun tangannya mengepal, seolah mencoba mengendalikan sesuatu yang nyaris tak terkendali di dalam dirinya. Jasnya sudah dilipat dan dijinjing seadanya di satu tangan, sementara kemeja putihnya kusut dan bercak darah Riin masih mengotori lengan kirinya.
Wajahnya pucat, matanya tertuju pada pintu ruang UGD yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, ada seseorang yang kini lebih penting dari apa pun dalam hidupnya. Seseorang yang bahkan tidak sempat ia jaga dengan benar.
Seon Ho berdiri dengan satu tangan menyentuh dinding, menunduk, berusaha menenangkan degup jantungnya yang liar sejak mendengar kabar soal pendarahan Riin usai menemani Mingyu menerima serangkaian perawatan luka bakar ringan.
Pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Seorang dokter wanita paruh baya, dengan rambut disanggul rapi dan wajah lelah, keluar sambil menanggalkan sarung tangannya. “Apakah Anda keluarga dari pasien?” tanyanya, menatap pria tinggi di hadapannya.
Jae Hyun langsung mendekat. “Ya. Saya suaminya.”
Dokter itu menarik napas. “Saya ingin bicara empat mata. Tapi... jika Anda mengizinkan, rekan Anda boleh ikut mendengarkan.”
Jae Hyun menoleh sebentar ke arah Seon Ho. Ia mengangguk tipis. “Dia boleh tetap di sini.”
Dokter itu mulai menjelaskan dengan nada yang tenang, tapi serius. “Kondisi istri Anda... stabil untuk saat ini. Kami sudah menghentikan pendarahan dan memberikan infus untuk mencegah syok,” ia berhenti sejenak, seolah memberi ruang pada kata-katanya. “Tapi setelah melakukan pemeriksaan tambahan dan USG darurat, kami menemukan bahwa pasien rupanya sedang mengandung.”
Jae Hyun terdiam. Begitu juga Seon Ho. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan napas.
Dokter itu melanjutkan. “Dari hasil pemeriksaan dan respons hormonal yang kami deteksi, kemungkinan besar usia kehamilan masih sangat dini. Sekitar enam hingga delapan minggu. Dan... saya yakin, istri Anda sendiri belum menyadarinya.”
“Bagaimana Anda bisa tahu... dia tidak tahu?” tanya Jae Hyun pelan, suaranya nyaris hilang.
“Saat kami mencoba konfirmasi gejala, pasien tidak menunjukkan reaksi khas seorang wanita yang sadar tengah hamil. Tidak ada catatan pemeriksaan kandungan yang terdeteksi sebelumnya,” dokter itu menjelaskan dengan hati-hati. “Itu membuat kami menyimpulkan bahwa... dia mungkin belum tahu.”
Jae Hyun menunduk. Napasnya berat, seolah tubuhnya sedang menahan beban baru yang tiba-tiba dijatuhkan ke dadanya.
“Lalu... bagaimana dengan—” Ia tak sanggup melanjutkan.
Dokter itu menyelesaikannya kalimatnya, lembut namun tak bisa mengubah kenyataan yang menghantam, menyakitkan. “Sayangnya, janin tidak bisa diselamatkan. Kami mendeteksi tidak ada detak jantung sejak awal pasien masuk. Ini masuk dalam kategori keguguran dini. Dan untuk mencegah infeksi atau komplikasi, kami harus segera melakukan kuretase.”
Sejenak, dunia di sekeliling Jae Hyun terasa bisu. Seperti seluruh dinding rumah sakit ini meredam suara dan hanya meninggalkan detakan jantungnya sendiri yang berdengung di telinga.
Sebuah nyawa. Anak mereka. Yang bahkan belum sempat mereka ketahui keberadaannya.
“Lakukan saja,” gumam Jae Hyun akhirnya. Matanya memerah, rahangnya mengeras menahan emosi. “Lakukan yang terbaik untuk istri saya. Jangan biarkan dia merasa sakit lebih dari ini.”
Dokter itu mengangguk. “Kami akan pastikan dia mendapatkan penanganan terbaik.”
Begitu dokter pergi, hening kembali merambat di lorong. Jae Hyun tetap berdiri mematung, memejamkan mata beberapa detik.
Lalu, suara pelan dari arah belakangnya terdengar—Seon Ho. "Maaf... itu semua salahku. Aku seharusnya memastikan dia sudah keluar dari gedung. Aku—"
"Ini bukan salah siapa-siapa," potong Jae Hyun, cepat tapi tenang. “Tidak ada yang menyangka gedung bisa terbakar seperti itu. Tidak ada yang menyangka...” Ia menggantung kalimatnya. Ada rasa bersalah yang membuat dadanya terasa sesak tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Ruang rawat inap di lantai tiga rumah sakit itu terasa sunyi. Riin terbaring diam di ranjang. Aroma alkohol medis dan larutan antiseptik memenuhi udara, menusuk hidung namun sekaligus mengingatkan bahwa tempat itu adalah perbatasan antara sakit dan pemulihan. Di dalam dadanya, napas bergerak pelan, tidak teratur, seolah tubuhnya belum bisa benar-benar menerima bahwa ia telah bangun dari sesuatu yang lebih dari sekadar tidur.
Kepalanya berat, dan perut bagian bawah terasa ngilu—seperti diremas perlahan dari dalam. Ada sensasi kosong yang aneh di rongga perutnya, namun ia tak tahu dari mana perasaan itu berasal. Bahkan pikirannya masih berkabut, belum benar-benar mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menemukan seorang pria duduk di sampingnya.
Jae Hyun.
Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, kemejanya sudah tidak pantas disebut rapi. Tapi yang paling mencolok adalah matanya—sedikit sembap, memerah, dan menyimpan lelah yang tak bisa disembunyikan. Namun saat melihat Riin membuka mata, rautnya berubah. Kekhawatiran yang sejak tadi membayang di wajahnya perlahan mencair, digantikan oleh kelegaan yang nyaris seperti keputusasaan yang berbalik arah.
“Kau sadar...” bisiknya, suaranya serak.
Riin mengerutkan kening pelan, bibirnya kering. “Jae Hyun~a...?”
Jae Hyun tidak langsung menjawab. Ia menunduk, mengambil tangan Riin yang lemah, lalu mencium punggung tangannya berkali-kali, lama, seolah tak bisa melepaskannya. Jemarinya menggenggam erat tangan Riin, seakan takut jika tangan itu kembali terlepas dari genggamannya.
“Aku minta maaf...” bisiknya lagi. Kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Aku minta maaf, Riin. Aku minta maaf... karena aku tak bisa menjagamu.”
Riin menatapnya, bingung. Di kepalanya, potongan ingatan mulai kembali seperti potongan kaca pecah: suara alarm kebakaran, asap yang tebal, tangga darurat, rasa sakit yang menusuk di perutnya, dan darah... darah yang mengalir tanpa henti.
Tubuhnya refleks menegang, dan ia langsung menoleh ke arah perutnya. “Aku kenapa...?” tanyanya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.
Jae Hyun terlihat menahan napas. Ia ingin memberitahu, tapi juga ingin menunda—kalau bisa menunda waktu dan menyembunyikan luka ini dari istrinya selamanya.
“Kau... kehilangan banyak darah,” ujarnya akhirnya, lembut. “Kau mengalami kram parah dan pingsan. Kami membawamu ke rumah sakit secepat mungkin. Dokter bilang... tubuhmu kelelahan.”
Riin mengangguk pelan. Tapi itu tak menjawab semuanya. Ia mengerutkan dahi, lalu berkata dengan suara gemetar, “Tapi... kenapa aku merasa... ada yang berbeda? Tubuhku aneh. Perutku terasa... kosong. Sakit.”
Jae Hyun menunduk. Ia mencium pelipis Riin perlahan, menahan gejolak di dadanya agar tidak meledak menjadi tangisan. Ia tahu, ia tidak bisa terus berbohong padanya. Ia tahu bahwa Riin lebih kuat dari yang ia kira. Tapi juga terlalu polos, terlalu percaya, dan terlalu ceroboh dalam mengabaikan rasa sakitnya sendiri.
Di luar ruangan, Seon Ho masih duduk di kursi tunggu. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, tangannya meremas telapak tangannya sendiri. Ia tak bisa memaksa masuk, tapi ia juga belum sanggup pulang. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja... lalu aku akan pulang.” katanya lirih.
***