NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24

ADEGAN DI CAFE AURORA

Lokasi: Sudut privat sebuah café modern, senyap namun elegan. Musik jazz lembut terdengar dari kejauhan. Hujan gerimis mengguyur kaca jendela, memantulkan cahaya lampu kota.

Aditya duduk tenang, tubuhnya tegap, setelan jasnya tanpa cela. Di hadapannya, secangkir espresso masih mengepulkan aroma. Ia tak menyentuhnya. Matanya terpaku pada lembaran dokumen yang baru saja diberikan oleh Mr. Gabriel, pria berkebangsaan Amerika, perwakilan resmi dari Delacroix & Co., perusahaan fashion kelas dunia yang berbasis di Los Angeles.

Satu tahun. Satu tahun perencanaan. Satu tahun negosiasi. Dan hari ini adalah puncaknya—hari penandatanganan kerja sama strategis yang akan mengguncang dunia fashion dan selebritas global.

Namun...

Tangan Aditya tiba-tiba berhenti saat matanya menatap satu nama dalam kontrak tersebut. Huruf-hurufnya terasa membakar.

> Larasati Chandra Permana.

Senyumnya lenyap. Tangannya mengepal pelan di atas meja, tanpa disadari.

Nama itu. Wajah itu. Luka itu.

Larasati—mantan kekasihnya. Perempuan glamor yang hampir menghancurkan rumah tangganya beberapa bulan lalu, saat bayang masa lalu menyeretnya ke jurang yang nyaris tak bisa ia hentikan.

Mr. Gabriel, yang duduk di seberangnya, tampak puas dengan presentasi yang baru saja ia sampaikan.

“Saya yakin nama Larasati sudah Anda kenal,” ujarnya dengan aksen khasnya. “Model internasional. Daya tariknya kuat, followernya gila-gilaan. Kampanye terakhirnya untuk parfum Maison Riche berhasil menaikkan penjualan 300% dalam seminggu. Kami sudah meneken eksklusivitas dengan agensinya.”

Ia menyodorkan pena ke arah Aditya. “All we need is your signature.”

Aditya tidak bergerak. Matanya masih tertuju ke nama itu—dan semua kenangan pahit yang ikut serta.

Gabriel menyadari jeda itu. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit. “I hope there’s no issue, Mr. Aditya? This partnership… it’s the future. Both of us are betting our names on this.”

Aditya mengangkat pandangan. Matanya dingin, seperti lautan dalam sebelum badai.

“Saya hanya bertanya,” ujarnya tenang, namun tajam. “Bagaimana jika… modelnya diganti?”

Hening.

Gabriel menatapnya, agak terkejut. Sejenak keheningan merambat seperti kabut yang menyusup ke sela-sela napas.

“Diganti?” tanyanya, pelan. “Dengan hormat, Pak Aditya... jika Anda membaca dokumen lampiran, klausul selebritas endorsement sudah dikunci. Pergantian nama... artinya pelanggaran. Dan dendanya bukan main—multi-miliar dolar. Anda tahu itu.”

Aditya tahu. Ia sangat tahu. Tapi lebih dari itu, ia tahu apa yang akan terjadi jika Raina—istrinya yang baru mulai kembali tersenyum setelah badai lama berlalu—melihat kampanye besar-besaran dengan wajah Larasati terpampang di mana-mana, berdampingan dengan nama suaminya.

Ia membayangkan wajah Raina. Matanya yang kecewa. Suaranya yang diam tapi penuh luka. Dan keheningan di meja makan yang bisa menghancurkan rumah lebih cepat dari pada ledakan.

Aditya menatap kembali dokumen di hadapannya. Kedua tangannya perlahan bersandar di sisi meja. Ia menarik napas panjang.

Dilema itu terasa seperti tali yang mencekik perlahan.

Jika ia tanda tangan… ia menyelamatkan bisnis. Menjaga nama perusahaan.

Jika ia tolak… ia menyelamatkan rumah tangga. Tapi menjatuhkan reputasi bisnis ke jurang kehancuran.

Di luar, kilat menyambar di langit. Hujan mulai turun deras.

“Pak Aditya?” panggil Gabriel, dengan nada cemas. “Time is running.”

Aditya menatap pena di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan…

…namun berhenti di tengah jalan.

"Kasih saya waktu dua hari untuk memikirkannya,, "

Aditya menatap pena di hadapannya. Aroma kopi hangat yang baru saja disuguhkan terasa hambar di tengah gemuruh pikirannya. Mr. Gabriel, dengan jas abu-abu elegannya, duduk tenang di seberang meja. Pria itu menunggu, dengan tatapan profesional yang menyimpan ekspektasi. Tapi di benak Aditya, satu nama dalam kontrak membuat seluruh isi pertemuan ini terasa seperti jebakan yang nyaris tak bisa dielakkan.

Larasati Chandra Permana.

Nama itu melintas seperti kilat di langit masa lalu. Terlalu cepat, tapi menyisakan nyala. Ia adalah luka lama yang nyaris menghancurkan rumah tangganya beberapa bulan lalu. Perempuan yang sempat mengisi ruang kosong dalam hidupnya sebelum Raina datang dan memeluk luka itu dengan cinta.

Aditya menarik napas dalam, lalu dengan suara tenang, ia berkata, “Kasih saya waktu dua hari... untuk memikirkannya.”

Sesaat, Mr. Gabriel terdiam. Tatapannya sejenak berubah tajam, nyaris kecewa, tapi ia menahan diri. “Tentu. Tapi saya harap Anda mempertimbangkan ini sebagai profesional, bukan pribadi. Kami tidak ingin kerja sama besar ini terganggu karena... masalah pribadi.”

Ia menambahkan dengan nada lebih tegas, “Saya tahu reputasi Anda, Tuan Aditya. Pebisnis cerdas. Tegas. Visioner.”

Aditya hanya mengangguk. Ia tak perlu membalas dengan kata-kata. Kalimat Gabriel sudah cukup menjadi penutup pertemuan mereka siang itu. Dengan penuh sopan, keduanya saling berjabat tangan. Lalu Aditya keluar dari café itu tanpa sempat menyesap kopinya.

..........

Di luar, hujan turun perlahan. Udara dingin menusuk kulit, tapi kepala Aditya terasa lebih berat daripada cuaca yang menyelimuti kota. Begitu masuk ke dalam mobil mewah yang sudah menunggunya, ia membuka ponsel—baru sempat ia periksa sejak tadi pagi.

Puluhan panggilan tak terjawab dari Dika membanjiri layar. Dan satu pesan, yang langsung membuat napasnya memburu:

> “Maaf, Tuan. Ibu Melisa datang tiba-tiba dan kini sedang berada di ruang kerja Anda.”

Aditya membeku. Matanya menyipit, dan tanpa pikir panjang, ia segera menekan tombol panggil.

“Dika, dia masih di sana?” tanyanya dingin.

“Masih, Pak,” jawab Dika gugup. “Sudah hampir satu jam. Tapi beliau tidak banyak bicara. Hanya... melihat-lihat meja kerja Anda.”

Aditya menutup mata sejenak. Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya—bukan marah, tapi semacam ketegangan instingtif yang muncul saat seseorang merasa diselidiki oleh masa lalu yang tak pernah benar-benar usai.

“Pastikan ruangan saya... dan isinya... tetap utuh. Baik-baik saja,” ujarnya datar.

“Siap, Pak. Saya akan pastikan.”

Sambungan diputus. Mobil terus melaju menembus kota yang mulai dipenuhi kabut tipis. Di jendela, bayangan lampu-lampu jalan terlihat remang. Namun dalam kepala Aditya, semuanya terang—terlalu terang. Ia memikirkan Raina, janji mereka untuk saling terbuka, dan sekarang... situasi yang membuatnya harus memilih: menjaga bisnis yang ia bangun mati-matian, atau menjaga kepercayaan perempuan yang kini menjadi rumah baginya.

Dan di balik semua itu, ibunya—Melisa—sedang duduk di ruangannya. Hening, mengamati. Dan mungkin, sudah mengetahui lebih dari yang seharusnya.

Langkah kaki Aditya bergema di lorong kantor yang sudah hampir kosong. Hujan masih turun di luar sana, menabur bunyi-bunyi pelan di balik jendela kaca. Meski langkahnya tergesa, wajahnya tetap datar. Penuh kendali. Matanya dingin seperti batu giok, dan wibawa yang mengalir dari tubuhnya membuat siapa pun menunduk jika berselisih jalan.

Begitu pintu ruangannya terbuka, ia menemukan ibunya duduk di kursi kulit favoritnya—tenang, seperti singa betina yang sedang menunggu mangsa datang dengan sendirinya. Tanpa senyum. Tanpa sapa. Hanya tatapan menilai, tajam, dan penuh perhitungan.

Aditya menutup pintu perlahan, lalu menatap langsung ke arah wanita yang telah melahirkannya.

“Untuk apa datang kemari?” ucapnya datar, nyaris seperti perintah, bukan pertanyaan.

Melisa mengangkat satu alisnya. Gerakan kecil, tapi cukup untuk menunjukkan betapa ia menganggap dirinya di atas siapa pun—termasuk anak kandungnya sendiri. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi, dan tentu saja tak ada pelukan seperti ibu pada umumnya. Itu hal yang mustahil dalam hubungan mereka. Yang ada hanyalah kalkulasi, penghakiman, dan kontrol.

Dengan suara yang jernih tapi penuh racun, Melisa menjawab,

“Kenapa kau masih belum menceraikan anak pembantu itu?”

Udaranya terasa berubah. Dingin. Tegang. Nyaris mencekik.

Aditya berdiri kaku. Kepalanya menggeleng pelan, bukan karena bingung, tapi karena muak.

Mereka terakhir bertemu di pemakaman Eyang Laksmi, setahun yang lalu. Dan saat itu pun ibunya sama—penuh penghakiman, penuh kebencian atas pilihan hidup anaknya.

“Sejak kapan Anda peduli dengan hidup orang lain?”

Suara Aditya terdengar tenang, tapi setiap katanya seperti bilah pisau yang menusuk balik.

“Bahkan pada hidup anak kandung Anda sendiri.”

Tatapan Melisa menusuk. Tapi Aditya tak gentar. Ia menatap balik, mata mereka bertemu dalam pertarungan diam yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

“Saya masih ibumu, Aditya.”

“Tidak, Anda hanya seorang wanita yang kebetulan melahirkan saya.”

“Ibu adalah sebutan yang terlalu mulia untuk seseorang yang menghabiskan hidupnya keliling dunia, berpesta, dan bersembunyi dari tanggung jawab.”

Melisa terdiam sejenak. Bukan karena tak ada jawaban, tapi karena egonya terluka.

“Dan satu hal lagi,” lanjut Aditya, suaranya meninggi sedikit.

“Raina itu istriku. Dia sekarang adalah Nyonya Prawira. Nama yang Anda gunakan untuk hidup mewah itu, adalah nama yang kini dia sandang dengan hormat.”

Melisa tersenyum sinis, tapi matanya membara.

“Hormat? Dengan perempuan dari keluarga rendahan? Yang bahkan tidak tahu cara berdiri di tengah para bangsawan?”

Aditya melangkah mendekat. Aura dinginnya berubah menjadi badai yang tak bisa dibendung.

“Dia tahu cara menjadi manusia. Itu cukup.”

“Dan dia tahu cara mencintaiku, bukan mengaturku seperti boneka koleksi Anda.”

Melisa berdiri. Tatapannya tak kalah tajam.

“Kau ini keras kepala seperti ayahmu. Dan lihat bagaimana sekarang hidupnya—!”

Aditya mencibir.

"Sekarang aku tau, kenapa ayah memilih pergi,itu karena usahanya tidak pernah di hargai, Anda terlalu arogan untuk semua usahanya yang tidak pernah terlihat. ”

Hening membentang seperti jurang di antara mereka.

Wajah Melisa sedikit bergetar, tapi ia segera mengangkat dagu.

“Kalau kau terus bersama perempuan itu, kau akan kehilangan segalanya.”

Aditya mendekat, tinggal selangkah dari wajah ibunya. Ia bicara pelan, tapi nadanya begitu dalam, penuh tekad dan luka.

“Kalau mempertahankan cinta berarti kehilangan segalanya... maka saya rela kehilangan semuanya. Karena saya tahu betul rasanya tumbuh tanpa cinta. Dan saya tidak akan membuat anak saya kelak merasakan hal yang sama.”

Melisa menatap anaknya. Matanya mulai berkaca, tapi air itu tak pernah jatuh. Ia terlalu keras untuk menangis. Terlalu angkuh untuk mengakui bahwa mungkin… ia sudah kalah.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah keluar. Tumit sepatunya bergema pelan di lantai marmer, dan seperti selalu, ia pergi tanpa pamit.

Aditya berdiri di sana, sendiri. Ruangannya hening, tapi pikirannya penuh gejolak. Ditatapnya meja kerjanya yang berantakan, lalu perlahan ia duduk.

Masa lalu mungkin belum selesai. Tapi ia sudah memilih masa depannya.

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!