Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PACAR
Karin menopang kepala dengan bosan di mejanya, dan di hadapannya Maya masih tertawa sejak pertama dia bercerita.
Kemarin saat Karin mengobrol dengan Nadia, dan akhirnya tau bahwa perempuan itu tidak mau putus dari Ardi, padahal sudah jelas abangnya itu tidak menaruh hati padanya.
Karin jadi miris, orang dewasa kenapa bisa serumit itu si pikirannya, bahkan untuk sekedar memanfaatkan perasaan Dewa saja, dia tidak bisa. Ya meskipun kemarin dia sempat menghubungi pemuda itu untuk minta diantarkan pulang. Tapi hanya sebatas itu saja.
"Ya ampun Riin, padahal mah lo pacaran beneran aja sama Kak Dewa, ngapain pake boong," ucap Maya setelah tawanya mulai reda.
"Gue nggak ada rasa sama Kak Dewa, yang ada ntar gue nyakitin dia," jawabnya yang membuat gadis bernama Maya menganggukkan kepala.
"Iya juga si, tapi reaksi abang lo gimana pas lo bilang udah pacaran sama Dewa."
Karin menempelkan telunjuk di bibirnya, "jangan kenceng-kenceng, ntar yang denger salah paham," ucapnya, kembali menegakkan tubuh, sedikit mendekat pada teman sebangkunya itu.
"Iya, iyaa maap."
"Gue nggak terlalu ngerti, lagian pas gue bilang gitu juga nggak berani tatapan muka, gue kalo boong kebaca," aku Karin.
Maya kembali tertawa, "berasa di jidat lo ada tulisan dusta kali ya," ucapnya.
"Pokoknya gue nggak bisa boong dah kalo depan dia."
"Lonya yang nggak bisa boong apa dianya yang pinter nebak?"
"Nggak tau juga," ucap Karin, mulai berpikir kemudian kembali berkata. "Coba gue mau bilang sesuatu, terus lo tebak gue boong nggak."
Maya yang semula sibuk mencari pulpen di dalam tasnya jadi menoleh, mengangguk.
"May, gue udah ngerjain pr matematika tau."
Maya memperhatikan wajah temannya dengan seksama. Kemudian tertawa, "lo boong ya?"
"Ko lo tau si? Muka gue seterbaca itu ya," ucap Karin yang mendapat tabokan buku berpetak dari temannya itu.
"Bukan muka lo yang kebaca, emang nggak mungkin aja lo udah ngerjain pr Matematika, apalagi sekarang lagi pisah ranjang sama abang lo, nggak ada yang ngajarin kan."
Karin mengusap keningnya yang terkena tabokan buku, "bahasa lo pisah ranjang, May. Rugi sih gue sebenernya, jadi nggak ada guru privat," ucapnya, mulai membuka buku dan menyalin tugas teman sebangkunya itu.
"Gue bingung Rin, lo kan pinter ya, tapi sama Matematika doang aja masa kalah." Maya menopang dagu, menatap temannya yang sering mendapat nilai bagus dari semua mata pelajaran selain itung-itungan.
Sambil menulis Karin mulai bercerita, bahwa dulu papinya sering memaksa dia untuk pintar di semua mata pelajaran, terutama Matematika.
"Jadi setiap gue salah pasti dipukul, sampe sekarang gue ngadepin Matematika selalu keringetan, nggak peduli siapa gurunya." Karin mendongak, mulai berpikir, "kecuali Bang Ar, cuma dia doang yang bisa bikin gue nggak takut sama pelajaran ini."
"Gue jadi penasaran, bokap lo itu kaya apa si?"
"Ya, gitu lah."
Membahas papa gadis itu, Maya selalu merasa tidak tega, pasalnya Karin pasti akan berubah murung, Maya memilih membuka hpnya.
"Gila Rin gue seneng banget, akhirnya kemaren lo kirim dua episode sekaligus. Nah gitu dong sekali-kali." Maya mulai membahas tulisan Kanjeng Ribet yang membuat Karin menoleh.
"Apa bedanya sih, May."
"Ya beda lah biasanya kan lo cuma kirim satu episode, nah ini dua, kesurupan si gue rasa," ucap Maya dengan semangat empat lima yang mendapat toyoran di pipi dari temannya.
"Gue biasanya kirim satu episode tuh dua ribu kata, dan kemaren kirim dua episode yang masing-masing seribu kata, bedanya dimana Iroooh."
Maya jadi berpikir, "set dah, gue dan termasuk para netizen dikibulin sama lo dong ya?"
Karin tertawa, "sory, bukan gue maksud ngibulin, cuman nyinyiran kalian aja gue akalin."
"Sialaan." Maya jadi kesal, menoleh ke arah pintu dan menyikut lengan Karin yang masih sibuk dengan buku tugasnya.
"Apaan si?" Karin yang merasa terganggu jadi menoleh pada Maya, namun gadis itu malah memberikan kode untuk membuat Karin menoleh ke arah pintu.
Karin tertegun, abangnya berdiri di sana tampak mengobrol dengan kakak kelas, Karin pun menghampiri pemuda itu.
"Abang ngapain?" Tanya Karin.
Setelah mengangkat tangan saat teman ngobrolnya itu berpamitan, Ardi menoleh pada adiknya dan menunjukkan sesuatu di tangannya.
"Eh iya, dompet Karin ketinggalan." Karin hendak mengambil dompet dari tangan Ardi, namun pemuda itu malah memukulkan ke keningnya.
"Kebiasaan," omel Ardi setelah menyerahkan dompet di tangannya pada sang pemilik, "berangkat sama siapa lo tadi pagi?" Tanyanya kemudian.
"em, sama." Karin mengedarkan pandangannya sekilas. "Sama Kak Dewa," ucapnya yang malah mendapat sentilan di keningnya. Belum sampai seharian, sudah tiga kali gadis itu mendapat penganiayaan di bagian kepala yang lama-lama membuatnya pusing juga.
"Lo jangan boong, gue tau."
"Kenapa abang bisa tau terus si?"
"Orang Tadi pas gue kesini papasan sama Dewa, dia baru dateng."
"Eh, masa?" Karin jadi tertawa.
"Nanti siang gue jemput."
"Ngapain, kan Karin bisa pulang sama pacar Karin."
Ardi berdecak sebal, "terserah, pokoknya gue nyampe sini lo harus ada."
"Idih, bisa gitu ya, maksa-maksa." Karin jadi kesal.
Ardi tersenyum, mengacak rambut gadis remaja di hadapannya. "Belajar yang bener, jangan pacaran mulu."
"Abang tuh, pacaran mulu sama Mbak Nadia," omel Karin yang membuat Ardi tertawa, pemuda itu kemudian pamit pergi.
Belum sempat Karin berbalik badan, seseorang memanggil namanya dan membuat perhatiannya beralih pada pemuda berseragam yang ia kenal. "Kak Dewa? Ada apa?"
"Kak Ardi ngapain?" Tanya Dewa.
Karin menunjukan dompet di tangannya. "Tadi dompet aku ketinggalan di rumah."
Dewa tampak mengangguk, kemudian mengusap tengkuknya, pemuda itu terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi ragu. "Karin sabtu malam ada acara nggak, gue mau ngajak nonton."
***
"Terus lo terima?" Tanya Ardi saat gadis di boncengannya itu bercerita diajak malam mingguan oleh pacarnya. Ardi menghentikan motornya di halaman rumah, masih menunggu jawaban gadis itu.
"Ya Karin terima lah, masa ajakan pacar sendiri ditolak." Karin menuruni motor dan melepas helm, kemudian memberikan benda itu pada sang abang yang tampak kusut raut wajahnya.
"Yaudah gue ikut."
"Idih, abang mau jadi nyamuk?"
Ardi berdecak, menggaruk rambut kepala yang padahal masih ada helm di sana, dengan kesal ia lepaskan benda itu dari kepalanya kemudian menyusul Karin yang lebih dulu masuk ke rumah meninggalkannya yang entah kenapa jadi gelisah.
Di dalam rumah, tampaknya mereka tengah kedatangan tamu, ada Om Juan ayah kandung Mbak Nena, Bang Doni dan beberapa rekan abangnya yang mungkin hendak menengok si kembar.
"Sudah besar kamu." Juan menepuk pelan pundak Ardi saat pemuda itu menyalami tangannya.
"Iya, Om."
"Kalian akur kan?" Tanya Juan pada Karin yang duduk di sebelahnya.
Karin menoleh pada abangnya yang tampak tersenyum mengangguk.
"Akur kok, Om." Karin yang menjawab, "om apa kabar?" Tanyanya.
Juan tersenyum, "baik, gimana keadaan mami kamu, om udah lama nggak nengokin."
"Baik kok, Om, seminggu sekali Karin tengokin mami," ucap Karin, kemudian berpamitan untuk ganti baju setelah mantan calon papa tirinya itu memberikan beberapa nasihat yang gadis itu jawab dengan anggukan.
Dulu sebelum maminya itu dipenjara, Karin begitu dekat dengan pria yang ia panggil Om itu, gadis itu sudah merasa punya papa baru sebelum ulah sang mami membuat Karin jadi malu untuk mengganggap pria itu sebagai papanya.
Ardi ikut beranjak, dan mendapat anggukan ketika ia berpamitan, pemuda itu menuju ruang keluarga yang juga tampak ramai di sana. Karin tidak ada, mungkin gadis itu sudah masuk ke kamarnya.
"Ardi ganteng," seorang wanita dengan perut buncit menyambutnya dengan heboh. "Usapin perut gue dong, biar ganteng anak gue kaya lo."
Ardi yang terkejut mundur satu langkah, "Emang bapaknya kurang ganteng Mbak Siska?" Perempuan ini adalah teman karib Mbak Nena, sebelas dua belas lah sifatnya.
"Ya pokoknya nggak seganteng lo lah, buruan usapin, ngidam ini gue." Siska menarik lengan pemuda itu, memaksa untuk mengusap perutnya.
Ardi jadi geli sendiri, "gue usap brojol nih," candanya, masih menggantungkan telapak tangannya di udara.
"Jangan dong masih enam bulan."
"Set, udah enem bulan aja, tokcer juga Bang Doni," seloroh Ardi yang mendapat tabokan di punggung dari arah belakang, Mbaknya yang menggendong salah satu anak kembarnya itu berdecak sebal.
"Jangan mau diusap lo Sis, ntar anak lo ketularan buaya."
Ardi yang memang belum sempat berbuat apa-apa jadi melengos. "Buaya apaan si, Mbak tuh induk buaya, benihnya dua."
"Enak aja, anak gue nggak ada yang kaya lo ya."
"Emangnya udah ketauan."
"Satu lagi mana ini?" Tanya Siska, kemudian menoel pipi anak Nena yang tampak menggemaskan.
"Masih tidur," jawab Nena, dan temannya itu malah setengah berlari masuk ke kamar Nena untuk menggendong satunya.
Ardi melongokkan kepalanya pada bayi di gendongan sang kakak. "Hay Nino?" Sapanya yang mendapat tabokan di lengan.
"Ini Jino, Nino yang masih tidur."
"Mukanya sama Mbak, bedainnya gimana coba?"
"Ya pokoknya beda lah." Nena mengalihkan perhatiannya padahal putra ke duanya, kemudian mengajak bercanda.
Ardi berdecak, kembali melongok pada mahluk kecil yang sudah terlihat ketampanannya. "Jino ganteng, nanti pacarnya banyakin ya."
"Ardiii."
Yang lagi manas-manasin.
Yang lagi kepanasan.
***
Author: Dikit dulu, nanti nyusul episode berikutnya, moga nggak lama.
Netizen: Ini berasa dikasih makan bronis kw terus nggak dikasih minum thor. Seret bet dah ah.
Author: Ya sabar. Jangan lupa like ama komennya biar imajinasi gue lancar.