Kinar menerima tawaran menikah dari sang dokter untuk melunasi hutangnya pada pihak Bank. Sedangkan, dr. Raditya Putra Al-Ghifari, Sp. B menikahinya secara siri hanya untuk mendapatkan keturunan.
Awalnya Kinar menjalaninya sesuai tujuan mereka, tapi lambat laun ia mulai merasa aneh dengan kedekatan mereka selama masa pernikahan. Belum lagi kelahiran anak yang ia kandung, membuatnya tak ingin pergi dari sisi sang dokter.
Kemanakah kisah Kinar akan bermuara?
Ikuti Kisahnya di sini!
follow ig author @amii.ras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kinar Pingsan
Radit baru saja keluar dari ruangannya, hendak ke kantin mencari makan siang. Namun, ia merasa heran dengan beberapa suster yang tampak berlari-lari dengan wajah panik. Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Dokter Radit mencegatsala satu suster yang hendak melewatinya.
"Ada apa, Suster? Kenapa kalian terlihat panik seperti ini? Apa ada pasien darurat?" tanya Dokter Radit dengan netra memicing.
"It--itu, Dok! Suster Kinar pingsan dan pendarahan di depan kantin rumah sakit?" jawab Suster yang name tagnya tertulis nama Suci.
"Pendarahan?" gumam Radit.
Namun, setelah itu ia berlari cepat menuju kantin. Ia melihat beberapa suster dan pengunjung rumah sakit, membentuk lingjaran kecil yang begitu ramai di dekat pintu masuk ke kantin.
"Radit!"
Ibu Sonia memanggil putranya yang tampak terengah sehabis berlari.
"Berikan dia pada saya, Dokter Ardi!" ucap Dokter Radit meminta Kinar yang sudah ada di gendongan Dokter Ardi itu. Dokter Ardi pun menyerahkan Kinar ke gendongan Dokter Radit. Lelaki itu segera berlari menuju ruangan Dokter Leni, diikuti Ibu Sonia, Dokter Ardi, dan beberapa suster yang penasaran.
"Darahnya banyak banget, Dit!" ucap Ibu Sonia melihat celana bahan putih seragam Suster Kinar yang sudah memerah karena darah.
"Dokter Leni! Tolong periksa, Suster Kinar!" Dokter Radit menerobis masuk ke dalam ruangan Dokter Leni. Sang Dokter kandungan itu tampak kaget melihat kondisi Kinar yang tak sadarkan diri dalam gendongan Dokter Radit.
"Kita bawa ke ruang ICU, Dok! Ayo!" Dokter Leni keluar dari ruangannya diikuti Dokter Radit berjalan ke ruang ICU yang kebetulan tak jauh dari ruangan dokter kandungan itu.
"Saya mohon kalian keluar lebih dulu, ya!" pinta Dokter Leni meminta beberapa orang berwajah cemas di ruangan itu untuk keluar setelah Kinar dibaringkan di brankar.
"Saya akan tetap di sini, Dokter!" sahut Dokter Radit datar.
Dokter Leni mengangguk, tapi meminta Ibu Sonia, Dokter Ardi, dan Dokter Ririn yang juga ikut mengekor tadi untuk keluar.
Akhirnya, di ruangan itu hanya ada Dokter Leni dan Dokter Radit, serta Kinar yang sedang diperiksa. Dokter Leni tampak serius menghentikan pendarahan, dan memasang jarum infua di punggung tangan Kinar.
Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya Dokter Leni selesai dengan pekerjaannya. Barulah Dokter Radit yang tadinya diam, membuka suara untuk menanyakan kondisi Kinar.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Dokter Radit datar, tapi terselip nama cemas di suaranya.
"Pendarahannya cukup banyak, Dokter Radit, tapi untunglah janinnya kuat. Saya sarankan untuk Suster Kinar bedrest terlebih dahulu. Kondisinya begitu mengkhawatirkan, saya takut jika dibiarkan tetap bekerja, akan berakibat pada keguguran," jelas Dokter Leni dengan netra serius menatap dokter berwajah datar di hadapannya.
"Baiklah, saya akan menyuruhnya untuk bedrest. Tidak adakah hal lain yang membahayakan janinnya?" tanya Dokter Radit lagi.
Dokter Leni menggeleng, "sejauh ini janinnya kuat, Dokter. Suster Kinar akan sadar beberapa jam ke depan, kita biarkan dia istirahat terlebih dahulu."
Dokter Radit mengangguk. Kedua dokter itu akhirnya keluar dari ruang ICU. Di depan ruangan hanya tinggal Ibu Sonia, Dokter Ardi dan Dokter Ririn mungkin sudah kembali pada pekerjaan mereka.
Dokter Leni berpamitan pada Dokter Radit dan Ibu Sonia. Tinggallah Radit yang menyandarkan punggungnya di dinding dengan netra memejam. Mengatur napas yang memburu karena kecemasannya tadi.
"Kemana suaminya, Dit? Sehingga istrinya hamil masih saja disuruh bekerja," ujar Ibu Sonia menatap Kinar dari kaca depan ruangan ICU itu.
"Aku gak tahu, Ma. Tanya saja pada orangnya!" sahut Dokter Radit lesu.
"Tapi Mama lihat dia akrab sekali dengan Dokter Ardi. Apa dia bukan suaminya?" tanya Ibu Sonia lagi.
"Aku pusing, Ma. Jangan tanya padaku, please!" ujar Dokter Radit memelas. Setelahnya, lelaki itu berlalu menjauh untuk menenangkan dirinya sejenak.
"Suaminya gak punya perasaan banget sih, masa istri lagi hamil begitu tetap disuruh kerja. Sampai-sampai pendarahan lagi, kasihan banget Suster Kinar. Coba kalau dia nikah sama anakku, pasti sudah kusurh santai saja di rumah," gumam Ibu Sonia dengan netra masih menatap Kinar yang terbaring di brankar dari kaca depan.
Dokter Radit memilih menenangkan dirinya di ruang kerjanya. Niat untuk makan siang sudah menguap entah kemana, ia sama sekali tak lagi merasa lapar karena tadi dirinya terlalu cemas dan kalut. Hanya karena satu orang, Kinar Ananda Putri. Radit, tak ingin mengakui perasaannya pada perenpuan itu. Ia masih terlalu trauma sejak kejadian ia ditinggal oleh calon istrinya dulu. Ia tak ingin segera mengakui perasaannya, yang ia takutkan nanti malah membuat ia kembali dicampakkan setelah ia pengakuannya. Biarlah hubungan mereka ini mengalir sebagaimana mestinya, sampai nanti waktu itu tiba. Waktu dimana ia telah siap akan konsekuensi mencintai untuk kedua kalinya.
Radit akui, ia terlalu pengecut untuk kembali mencoba. Namun, ia juga tak ingin melepas. Jadi, biarkan nanti waktu yang menjawab hubungan tak jelasnya ini. Radit tahu ini juga salahnya yang telah memberi penawaran, dan ia tak tahu jika hatinya segampangan ini untuk merasakan perasaan itu pada perempuan berparas ayu itu.
"Tunggu sebentar lagi, Kinar! Semoga kamj bisa bertahan sampai waktu itu!" gumam lelaki itu dengan pikiran kacau.
Kinar sadarkan diri tiga jam kemudian. Ia sudah dipindahkan ke ruang vip kelas atas, dimana semua fasilitas di ruangan itu begitu lengkap. Yang tak Kinar sangka, netranya mendapati keberadaan seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa yang ada di ruang vip itu. Wanuta baya itu sedang sibuk dengan handphonenya, tidak menyadari jika Kinar sudah sadarkan diri.
Kinar berdehem karena kerongkongannya terasa kering. Dehemannya itulah yang membuat Ibu Sonia segera menoleh ke brankar tempat Kinar berbaring.
"Kamu sudah sadar?" Ibh Sonia berjalan mendekati brankar Kinar.
"Kenapa ibu di sini?" tanya Kinar serak.
"Saya hanya merasa kasihan oadamu, karena tidak ada keluarga yang menungguimu, termasuk suamimu!" sahut Ibu Sonia cuek dan bersikap datar.
Kinar mengangguk. Tersenyum miris. Ia kira, Ibu Sonia sudah mau baikan dengamnya, tapu ternyata dugaannya salah. Ia terlalu banyak berkhayal sepertinya.
"Karena kamu sufah sadar, saya akan segera pergi sekarang. Saya capek dan juga ngantuk nungguin kamu, mau cepat pulang!"
Ibu Sonia hendak berlalu keluar, tapi Kinar menahan lengan wanita baya itu. Tanpa Ibu Sonia duga, Kinar malah membawa telapak tangan kanan wanita baya itu ke arah perutnya yang membuncit.
"Sebentar saja, Bu!" pinta Kinar dengan netra berkaca-kaca.
Ibu Sonia tak bersuara. Ia masih termanggu, dengan netra mengarah oada tangannya yang berada di perut membuncit Kinar. Ia dapat merasakn gerakan halus dari perut yang ia pegang.
"Di--dia bergerak?" gumam Ibu Sonia tercekat.
Kinar mengangguk dengan senyum haru. Ia tahu pasti anaknya di perut ini bahagia karena merasakan tangan hangat Neneknya.
Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena Ibu Sonia segera sadar dan dengan cepat melangkah keluar meninggalkan Kinar yang menatap punggung wanita baya itu sendu.
...Bersambung.......
...Kalau mau cepat up kiriman seblak dulu 😅 kan udah dibilang kalau aing kerja jadi up gak bisa setiap hari lagi, kalau ada luang saya up kok tenang saja...
setidaknya tau diri, ga usah sok jadi korban menderita akan keputusan sendiri