"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Kolam Ikan Sang Naga dan Koper
(POV Bramantyo - The Old Dragon)
Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Kediaman Pribadi Bramantyo.
Pukul 07.00 WIB.
Suasana pagi di taman belakang rumahku sangat tenang. Hanya ada suara gemericik air dari pancuran bambu dan kicauan burung peliharaan yang harganya setara mobil mewah.
Aku menaburkan pelet ikan ke dalam kolam koi. Ikan-ikan koi jumbo seharga ratusan juta itu berebut makan, membuka mulut mereka yang lebar, saling tindih, rakus.
"Mirip manusia," gumamku pelan. "Kasih sedikit umpan, mereka akan saling bunuh."
Di belakangku, berdiri seorang pria muda necis dengan setelan jas Armani dan rambut klimis. Namanya Indra, Kepala Divisi Akuisisi & Legal Rasa Nusantara Group. Dia tangan kananku untuk urusan "bersih-bersih". Berbeda dengan Haryo yang bodoh dan main otot, Indra bermain dengan pasal dan uang.
"Tuan Bram," suara Indra pelan, takut mengganggu ketenanganku. "Berkas penawaran untuk PT Bahagia Sejahtera sudah siap. Tim audit kami menaksir valuasi bisnis anak itu sekitar 5 Miliar Rupiah saat ini, mengingat aset mesin dan viralitasnya."
Aku terus menaburkan pakan ikan tanpa menoleh.
"Haryo bodoh," kataku datar. "Dia mencoba memukul lalat pakai palu godam. Berisik. Menarik perhatian publik. Sekarang nama perusahaan kita jadi jelek di media sosial gara-gara ulahnya."
"Benar, Tuan. Pak Haryo sudah saya non-aktifkan sementara sesuai perintah Tuan."
"Anak muda bernama Rian ini..." Aku berhenti sejenak, menatap seekor koi emas yang paling besar. "Dia menarik. Dia punya produk yang bisa bikin Hartono—si tua bangka ritel itu—berani menolak teleponku."
Aku berbalik badan, menyerahkan toples pakan ikan ke pelayan.
"Indra."
"Ya, Tuan?"
"Berangkatlah ke ruko kumuh itu. Tawarkan dia 50 Miliar."
Mata Indra membelalak kaget. "Lima puluh, Tuan? Itu sepuluh kali lipat dari valuasi wajarnya! Itu terlalu mahal untuk perusahaan yang baru seumur jagung!"
Aku tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai mata.
"Kamu pikir aku membeli perusahaannya karena untung? Tidak, Indra. Aku membeli potensinya untuk mengganggu kita."
Aku mengambil serbet sutra untuk mengelap tangan.
"Beli perusahaannya. Ambil hak cipta resepnya. Lalu setelah tanda tangan, tutup pabriknya. Hentikan produksi bumbunya. Kubur merek 'Bahagia' itu dalam-dalam."
"Tujuan kita bukan jualan bumbu dia. Tujuan kita adalah memastikan tidak ada bumbu lain yang lebih enak dari Rasa Nusantara di lidah orang Indonesia."
"Mengerti?"
Indra menunduk hormat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia tahu betapa kejamnya strategi ini. Buy to Kill. Beli untuk dimatikan.
"Mengerti, Tuan. Dan jika dia menolak?"
Aku kembali menatap kolam ikan. Seekor ikan koi kecil yang tidak kebagian makan, mati mengambang.
"Kalau dia menolak uang 50 Miliar... berarti dia bukan pebisnis. Dia orang gila."
"Dan orang gila... tempatnya di Rumah Sakit Jiwa. Atau di penjara."
"Gunakan 'Koneksi Bintang Tiga' di BPOM dan Pajak. Cari sekecil apapun kesalahan dia. Pastikan dia miskin sampai tujuh turunan."
(POV Rian - Kembali ke Ruko)
Ruko Warung Nasi Bahagia.
Pukul 09.00 WIB.
Suasana di lantai 2 ruko itu tegang.
Meja kerja yang biasanya berantakan kini bersih. Maya, Kenzo, dan Rudi berdiri di belakang kursi Rian. Pak Teguh berdiri di dekat pintu dengan tangan bersidekap, matanya tajam mengawasi tangga.
Rian duduk tenang. Ia sudah mengenakan setelan jas Charcoal Grey terbaiknya dan jam tangan Patek Philippe. Ia terlihat seperti CEO sungguhan, bukan lagi pemilik warung nasi.
"Mereka datang," lapor Kenzo yang memantau CCTV jalan raya lewat tabletnya.
"Satu mobil Mercedes-Benz S-Class hitam. Plat B 1 RNG. Dikawal dua motor Patwal Polisi."
Rudi menelan ludah. "Pake Patwal, Bos? Ngeri amat."
"Tenang," kata Rian. "Itu cuma psywar. Biar kita mentalnya down duluan."
Tak lama kemudian, pintu kaca terbuka.
Masuklah Indra, diikuti dua asisten yang membawa koper logam. Indra tersenyum ramah—senyum korporat yang sudah dilatih ribuan jam di depan cermin.
"Selamat pagi, Pak Rian," sapa Indra sambil mengulurkan tangan. "Saya Indra, mewakili Bapak Bramantyo dari Rasa Nusantara Group. Maaf kalau kedatangan kami agak mendadak."
Rian menjabat tangan itu sebentar, lalu melepaskannya. "Silakan duduk, Pak Indra. Langsung saja. Waktu saya terbatas. Saya harus mengecek produksi."
Indra duduk, sedikit terkejut dengan sikap dingin Rian. Biasanya, pemilik UKM kecil akan gemetar atau terlalu ramah jika didatangi perwakilan korporat besar.
"Baik, Pak Rian. Saya suka gaya Bapak. Straight to business," Indra membuka koper logam yang dibawa asistennya.
Di dalamnya, bukan uang tunai. Tapi dokumen kontrak tebal dengan sampul kulit.
"Pak Rian, Tuan Bramantyo sangat terkesan dengan pencapaian PT Bahagia Sejahtera. Beliau melihat potensi besar dalam diri Bapak. Karena itu, beliau ingin menawarkan kerjasama."
"Kerjasama apa? Kemitraan?" tanya Maya tajam.
Indra tertawa kecil. "Lebih baik dari itu. Akuisisi Penuh 100%."
Indra menyodorkan selembar kertas ringkasan. Di sana tertulis angka yang dicetak tebal.
Rp 50.000.000.000,- (Lima Puluh Miliar Rupiah)
Ruangan itu hening.
Mata Rudi hampir copot melihat jumlah nol-nya. 50 Miliar. Itu uang yang tak habis dimakan tujuh turunan kalau hidup sederhana di kampung. Bahkan Maya pun sedikit menahan napas. Itu angka yang sangat, sangat generous.
"Lima puluh miliar, Pak Rian," kata Indra lembut, seperti iblis yang merayu. "Tunai. Cair hari ini juga setelah tanda tangan. Bapak bisa pensiun muda. Bapak bisa beli rumah di Menteng, keliling dunia, atau investasi di bidang lain."
"Syaratnya?" tanya Rian datar. Matanya tidak berkedip melihat angka itu.
"Sederhana," Indra tersenyum lebar. "Serahkan merek 'Warung Bahagia', semua aset, dan Resep Rahasia bumbunya kepada kami. Bapak dan tim Bapak dilarang membuka bisnis makanan selama 10 tahun ke depan (Non-Compete Clause)."
Rian bersandar di kursinya. Ia mengaktifkan Mata Dewa.
[Target: Indra (35 th)]
[Niat: Manipulatif & Merusak]
[Rencana Tersembunyi: Setelah akuisisi, merek 'Bahagia' akan ditutup total. Resep akan disimpan di brankas dan tidak diproduksi, demi menjaga monopoli produk Rasa Nusantara.]
[Fakta Tambahan: Mereka juga menyiapkan tim pajak untuk mengaudit Rian jika tawaran ini ditolak.]
Rian tersenyum. Senyum yang dingin.
"Jadi..." Rian mengetuk-ngetuk meja. "Kalian mau beli 'anak' saya, cuma buat dibunuh?"
Senyum Indra sedikit goyah. "Maksud Bapak?"
"Jangan pura-pura bodoh, Pak Indra," kata Rian tajam. "Kalian nggak butuh resep saya. Rasa Nusantara sudah punya ribuan resep. Kalian beli saya cuma biar saya nggak jadi gangguan. Setelah saya tanda tangan, merek 'Bahagia' akan hilang dari pasaran, kan?"
Indra terdiam sejenak, lalu memperbaiki posisi duduknya. Wajah ramahnya hilang, berganti wajah profesional yang dingin.
"Pak Rian, dalam bisnis, itu hal biasa. Kami membeli kompetisi. Nasib merek itu setelah dibeli, adalah hak pemilik baru. Yang penting bagi Bapak adalah uang 50 Miliar itu. Apa peduli Bapak kalau mereknya mati? Bapak sudah kaya raya."
Rian berdiri perlahan.
Ia mengambil dokumen kontrak itu.
"Pak Indra, Bapak tahu kenapa warung saya namanya 'Bahagia'?"
"Karena... strategi marketing?" tebak Indra.
"Salah," Rian menggeleng.
Rian menunjuk ke arah dapur di lantai bawah lewat CCTV. Di sana terlihat Bu Ningsih sedang tertawa sambil memasak.
"Namanya Bahagia, karena setiap suap yang dimakan orang, bikin mereka lupa sama penderitaan hidup mereka walau cuma sebentar. Itu nilai yang nggak bisa kalian beli."
SREEET!
Rian merobek halaman kontrak yang berisi angka 50 Miliar itu menjadi dua bagian. Lalu merobeknya lagi. Dan lagi. Sampai menjadi sampah kertas.
Indra melongo. Asistennya kaget setengah mati.
Rudi memejamkan mata, hatinya menangis melihat 50 Miliar jadi sampah, tapi dia diam karena percaya pada bosnya.
"Anda... Anda sadar apa yang Anda lakukan?!" suara Indra meninggi. "Anda menolak Tuan Bramantyo?! Anda tahu akibatnya?!"
"Saya tahu," jawab Rian tenang. "Kalian akan kirim tukang pajak. Kalian akan kirim BPOM. Kalian akan kirim polisi."
Rian mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mata Indra.
"Silakan kirim semuanya. Tapi sampaikan pesan ini ke Tuan Bramantyo: Warung Bahagia Not For Sale."
"Dan satu lagi... Uang 50 Miliar itu receh buat saya. Tunggu setahun lagi, saya yang akan tawar Rasa Nusantara Group buat saya beli."
Indra berdiri dengan wajah merah padam karena marah dan terhina.
"Sombong! Anda akan menyesal, Pak Rian! Besok pagi, Anda akan berharap Anda menerima tawaran ini sambil menangis darah!"
"Pak Teguh," panggil Rian. "Antar tamu kita keluar. Mereka bikin ruangan ini bau sampah."
Pak Teguh maju sambil meretakkan buku jarinya. "Mari, Mas. Lewat pintu, atau lewat jendela?"
Indra dan asistennya buru-buru membereskan koper mereka dan lari keluar ruko, diikuti tatapan sinis dari seluruh tim Rian.
Setelah mobil Mercedes itu pergi, suasana kembali hening.
"Bos..." Rudi bersuara lirih. "Itu tadi 50 Miliar lho, Bos... Beneran kita tolak?"
Rian menepuk bahu Rudi.
"Rud, kalau kita terima, kita kaya. Tapi Bu Ningsih nganggur lagi. Pak Teguh nggak punya tujuan lagi. Dan orang-orang di luar sana bakal balik makan makanan sampah pabrikan mereka."
"Kita perang, Rud. Dan kita bakal menang."
Tiba-tiba, Kenzo yang sedari tadi diam di depan laptopnya bersuara.
"Bos, omongan si Indra bukan gertak sambal."
"Kenapa?"
"Gue barusan sadap HP-nya pas dia keluar. Dia langsung nelpon seseorang."
Kenzo memutar rekaman suara.
"Halo? Pak Dirjen? Iya, ini Indra... Sesuai arahan Tuan Bramantyo. Tolong keluarkan Surat Perintah Penyegelan untuk PT Bahagia Sejahtera. Alasannya? Cari saja. Izin Lingkungan, Limbah, atau Higienitas. Pokoknya besok pagi tempat itu harus disegel."
Wajah Maya pucat. "Penyegelan? Kalau disegel pemerintah, kita nggak bisa jualan sama sekali. Tamat kita, Pak."
Rian tersenyum misterius. Dia tidak terlihat panik.
Dia sudah melihat item Black Market berikutnya sejak semalam.
"Kenzo, Maya. Siapkan semua berkas legalitas kita yang asli. Scan semuanya, upload ke Cloud."
"Buat apa, Pak?"
"Buat senjata," kata Rian. "Mereka mau main hukum? Oke. Kita mainkan permainan favorit rakyat Indonesia: Viralin Pejabat Korup."
"Kenzo, cari data Pak Dirjen itu. Rekening gendutnya, simpanan gelapnya, semuanya. Besok saat mereka datang bawa segel, kita sambut dengan 'Surat Cinta' berisi aib mereka."
Perang terbuka dimulai. Rian tidak lagi bertahan. Dia akan menyerang balik langsung ke jantung kekuasaan musuh.