🚨🚨 Masih dalam tahap revisi. Mohon maaf, akan ada part yang berubah, karena adanya cacat alur di naskah awal.🙏
“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
“Anda cari siapa, Mbak?” tanya Mbok Surti yang sedang menyiram tanaman di pelataran depan rumah besar.
Seperti biasanya, sore-sore begini kesibukannya adalah merawat tanaman kesayangan sang ratu rumah.
Mbok Surti melihat seorang wanita muda tampak celingak-celinguk mencurigakan di depan gerbang. Ia pun menghampirinya karena penasaran siapakah gerangan.
“Anda cari siapa?” Mbok Surti bertanya kembali.
Wanita itu tampak gelapan, terkejut bercampur panik seperti maling yang nyaris tertangkap basah.
“A-anu, saya ….”
Mbok Surti mendekat ke pagar besi yang menjuntai itu, dari celah kecilnya bola matanya melebar, berusaha mengenali siapa wanita tersebut.
“Eee … ditanya malah melongo! Anda siapa?!” Kali ini suara Mbok Surti meninggi.
“Saya mencari Niko!” sahut wanita di luar gerbang.
Mbok Surti mengernyit. “Pak Niko? Orangnya belum pulang, masih di kantor. Sebentar lagi mungkin—”
“Siapa, Mbok?” Vena menyela dari pintu utama. Matanya menyipit penasaran.
“Anu, Nyonya Besar. Ada yang mencari Pak Niko,” sahut Mbok Surti.
“Mencari Niko? Siapa dia?” Vena menautkan alisnya, bibirnya terus bergumam sendirian.
Kemudian ia melangkahkan kaki mendekati gerbang. “Buka aja, Mbok. Saya penasaran siapa yang nyari Niko sore-sore begini.”
“Baik, Nyonya.” Mbok surti langsung cekatan menggeser pagar besi tersebut.
Vena berdiri congkak, tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya penuh selidik pada wanita di hadapannya. “Anda siapa?”
“Saya Airin. Saya ke sini mau mencari Mas Niko,” sahut si wanita itu.
Ya. Airin nekat mendatangi rumah keluarga Niko, ia bersiasat ingin meraih hati sang ibundanya, agar memudahkan jalannya masuk ke jajaran keluarga konglomerat tersebut.
“Mas Niko?” Alis Vena meruncing tajam. ‘Siapa wanita ini? Kenapa memanggil putraku dengan sebutan Mas?'
“Maaf, kalau boleh tau Anda ….”
“Saya Vena. Ibunda Niko, orang yang Anda cari,” balasnya dengan tatapan angkuh. “Ada perlu apa mencari anak saya?”
Senyum palsu terulas tipis. Airin melangkah maju — meraih lengan wanita paruh baya itu. “Benarkah? Anda Ibunda Mas Niko? Saya pikir Anda Kakak atau sepupunya, gimana bisa Ibunya masih terlihat muda begini?”
Kalimat itu sengaja ia ucapkan, demi agar si wanita berwajah angkuh itu terlena dalam pujian tak mendasar. Faktanya, Airin sudah sangat hapal gelagat Niko yang mudah terjerat oleh sanjungan. Ia pun menerapkannya kepada Vena, barangkali berhasil, pikirnya.
Vena mengulum bibirnya, menyembunyikan garis senyum samar. “Benarkah? Kakaknya? Hahaha … jangan berlebihan,” balasnya dengan nada bergurau.
“Kamu kenal sama Niko dari mana?” tanya Vena.
“Saya bekerja di perusahaan MH Group. Kami sering bekerja bersama,” sahut Airin.
Vena tampak manggut-manggut seolah paham. Sorot matanya sudah tak setajam tadi. "Ayo masuk dulu. Niko sebentar lagi pasti pulang."
‘Apakah berhasil? Gini doang? Ibu dan anak sama aja. Mudah dimanipulasi.’ Airin tertawa puas di dalam hati.
Dalam sekejap, Airin berhasil menyentuh hati sang calon mertua. Dengan bibir licinnya, ia lincah merangkai kata yang membuat Vena melayang kesenengan.
Keduanya pun tampak cocok dan sefrekuensi, tawa mereka menggema di ruangan meja makan. Vena terlihat sangat menyukai Airin dan tak sadar telah ditipu habis-habisan.
Airin mengaku sebagai putri seorang dosen sekaligus rektor di kampus. Niko tak pernah repot memeriksa latar belakangnya, jadi kebohongan itu melenggang tanpa hambatan.
Alasan Niko tak terlalu mementingkan latar belakang gadis itu, karena ia merasa hanya ingin main-main saja dengan Airin.
“Sebenarnya … saya sedang hamil,” ujar Airin sambil tertunduk.
Vena sontak mendelik. “Hamil?!”
Airin mengangguk, ia berusaha keras memaksakan ekspresi paling muram yang bisa ia tampilkan. “Sudah mau jalan tiga bulan.”
“Astaga … sayang sekali, saya pikir kamu masih lajang.” Vena tampak sedikit kecewa.
“Saya memang masih lajang, karena Mas Niko … masih belum mau menikahi saya.” Airin masih menunduk, tapi suara lirihnya terdengar jelas di telinga Vena.
“Niko? Apa?! Niko?!” Vena berulang kali menyebut nama putranya seolah tak percaya. “Tunggu! Jadi … bayimu ini adalah anak Niko?!!”
“Benar …,” ujar Airin pelan.
Vena masih ternganga, ia berusaha perlahan mencerna fakta yang baru saja ia terima.
“Bukankah Niko belum lama bercerai? Tapi kehamilanmu sudah—”
Airin kembali menjulurkan kalimat menohok, dengan gelagat liciknya ia memutar balikkan fakta, dan memfitnah Kayuna.
“Sebenarnya … kami sudah dekat sejak lama. Tapi semenjak Mas Niko mengenal Kayuna, dia berubah. Wanita itu merayunya, lalu mengancam saya agar menjauhi Mas Niko.” Airin menitikan air mata dusta.
“Kayuna? Bukankah Niko menikahinya karena hutang piutang ayah si upik abu itu?!” Vena memicingkan mata penuh tanya.
Airin terbelalak, rencananya nyaris gagal akibat kurangnya menggali informasi lebih dalam.
‘Piutang? Jadi alasan mereka menikah itu … sial! Aku nggak cari tahu dulu soal ini, gimana ini?’ batinnya panik.
“Piutang?” tanya Airin sambil mengangkat alisnya. “Mas Niko bilang begitu?”
“Iya, dia minta izin menikahi Kayuna karena ayahnya nggak bisa bayar utangnya. Ayah Kayuna itu penipu, masuk penjara karena menipu Niko. Makanya Niko menikahi Kayuna untuk menghukum ayah perempuan ular itu.”
“Berarti Kayuna membohongiku,” ujar Airin.
“Bohong?”
Airin mengangguk. “Dia bilang, Mas Niko yang tergila-gila padanya. Oleh karena itu saya akhirnya melepas Mas Niko saat itu.”
“Cuih! PD sekali dia! Dia pikir dia wanita hebat?!” ketus Vena. “Kamu tenang saja, Airin. Sekarang si upik abu itu sudah minggat. Saya akan bantu kamu mengurus Niko, apalagi sekarang kamu mengandung bayi Niko, ‘kan?”
Airin kembali mengangguk.
“Saya sudah cocok denganmu, latar belakangmu … sudah pasti kamu anak baik-baik, ayahmu saja seorang rektor.”
Airin mengulum senyum, manik pekatnya berkilat licik. Seolah turut merayakan keberhasilannya kali ini.
Hari itu berlalu dengan kemenangan Airin yang sukses merebut hati ibunda Niko. Vena dengan yakin ingin menikahkan Airin dan Niko secepatnya.
Niko pun tak bisa berbuat apa-apa. Dengan kehamilan Airin dan desakan sang ibunda membuatnya terhimpit di tengah keputusasaan.
.
.
.
Hari besar yang di nanti-nanti pun tiba. Airin membayar seseorang untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Gadis itu sangat nekat, pernikahannya pun digelar tanpa sepengetahuan wali aslinya.
Dengan uang dan orang kepercayaan. Ia pun berhasil membuat berkas palsu tentang identitasnya.
Di gedung mewah, meski acara digelar secara privat. Tapi pesta itu masih cukup terlihat megah karena selain dihadiri keluarga inti, beberapa tamu penting pun turut hadir.
Niko dan Airin sudah bergandeng tangan siap menelusuri altar pernikahan. Disambut dengan beberapa tepuk tangan dan antusias para tamu undangan. Tapi, di sela antara riuhnya tamu-tamu yang ada, sosok mencurigakan tampak memperhatikan dengan tatapan tajam.
“Mari kita berikan secara langsung kado istimewanya!”
*
*
Bersambung.