NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23 PERTANGGUNG JAWABAN

Pagi muncul dengan hangat, sinarnya menembus tirai tipis dan memenuhi kamar Arash dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara di ruangan itu terasa nyaman—hangat, tenang, dan sedikit hening seakan enggan membangunkan dua orang yang baru pertama kali tidur dalam satu tempat yang sama. Di atas kasur besar itu, Ava dan Arash masih terlelap, saling berhadapan dengan jarak yang terlalu dekat untuk disebut kebetulan.

Ava membuka matanya perlahan. Kelopak matanya bergetar kecil saat cahaya mengenai wajahnya. Napasnya tersangkut ketika pandangannya langsung disambut wajah Arash, begitu dekat hingga ia bisa menghitung helai bulu mata pria itu. Namun keterkejutannya memuncak ketika ia menyadari lengan kokoh Arash sedang melingkari pinggangnya—memeluknya erat seakan mereka memang tidur seperti itu setiap hari.

Seketika Ava bangun terlonjak. Tubuhnya bergerak spontan tanpa kendali, dan tanpa sengaja ia menendang Arash cukup kuat hingga pria itu jatuh tersungkur dari atas kasur.

"Astaga… mati aku," Ava menutup mulutnya dengan kedua tangan, panik setengah mati.

"Arash?" Ia merangkak ke tepi kasur, menunduk untuk melihat kondisi pria itu.

Arash perlahan melihat ke atas. Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, giginya bergesekan menahan amarah yang jelas-jelas sudah mencapai puncaknya. “Kau semalam tidur di kasurku tanpa izin, dan sekarang kau menendangku?!”

Ava menelan ludah. Posturnya mengecil, gugup saat Arash bangkit berdiri. Cahaya pagi membuat kulit pria itu tampak lebih pucat namun tetap berbahaya.

"Maaf… aku tidak sengaja. Aku kaget karena kau memelukku.” Suara Ava bergetar.

“Meng—apa?” Arash menunduk tajam. “Aku? Memelukmu?" tatapannya makin menajam pada Ava. “Jelas-jelas semalam kau yang memelukku hingga aku kesulitan bergerak!”

Ava terdiam, matanya berkedip cepat. “Tapi barusan... barusan kau memelukku.” Ucapnya lalu mendongak menatap Arash.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia malah melangkah maju, tubuhnya membungkuk di atas Ava, membuat gadis itu mundur perlahan-lahan hingga akhirnya punggungnya menempel pada kasur dan ia terbaring di sana. Jarak mereka kembali terlalu dekat.

“Nah, sekarang kau harus tanggung jawab.” Tatapannya menusuk, suara rendahnya menambah ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Ya, kau harus tanggung jawab karena aku hampir kehilangan kendali semalam, batin Arash, namun tak diucapkan.

“Hah? A-apa maksudmu?” Ava benar-benar bingung, wajahnya memanas, napasnya tersendat karena posisi mereka yang terlalu intim.

Arash menarik salah satu sudut bibirnya—senyum tipis yang tidak jelas apakah itu ancaman atau ejekan. “Apa ucapanku kurang jelas?”

Ava menggeleng cepat. “A-aku… tidak bisa,” jawabnya putus-putus. Wajahnya semakin merah, ia memalingkan muka berusaha menyembunyikan ekspresi gugupnya.

Arash mengernyit, tidak puas. “Kau harus mau!” Ia meraih tangan Ava dan menariknya untuk duduk di samping kasur, seolah itu sudah keputusan final yang tak bisa ditawar.

"Arash, lepas! Aku tidak mau melakukannya denganmu!" Ava panik, tubuhnya menegang.

“Kenapa? Kau harus mau!” Arash akhirnya melepaskan cengkeramannya lalu duduk di lantai dengan gerakan sedikit dramatis. Ia bersandar pada kasur, menarik napas dalam. “Mulai dari sini.”

Ava terdiam, membeku. “Maksudmu…?”

Arash menepuk pundak kirinya pelan. “Tunggu apa lagi? Ayo pijat aku!”

Ava terbelalak. “Pi–pijat?”

“Tentu saja. Kau pikir tidak pegal semalaman menjadi bantalmu?” sergahnya, nadanya setengah marah namun juga jelas-jelas merasa dirugikan.

Ava menghela napas lega tapi juga kesal. Ia menggeser tubuhnya, duduk di belakang Arash, lalu mulai memijat bahu pria itu dengan tangan kecilnya.

Sentuhan Ava masih canggung. Jemarinya bergerak dengan ragu, beberapa kali berhenti di tengah gerakan seolah menimbang apakah yang ia lakukan benar. Namun di antara keraguannya, ada sesuatu yang samar—kehangatan kecil yang berusaha disangkal oleh keduanya.

Arash, yang biasanya rewel dan cepat tersulut, kini terdiam. Bahunya perlahan turun, otot-otot yang biasanya tegang terasa mengempis satu per satu. Ada napas panjang yang dilepaskannya, bukan dengusan kesal seperti biasanya, tetapi napas yang lebih berat—lebih jujur.

Ruangan itu hening. Detakan jam di dinding terdengar jelas, menyatu dengan suara napas mereka yang berbeda ritme. Cahaya pagi mengalir dari sela-sela tirai, membentuk garis tipis di pundak Arash.

“Kau memijit atau sedang mengelus?” Arash akhirnya bersuara, dengan nada mengejek khasnya.

“Kenapa memangnya?” tanya Ava, masih berusaha menjalankan tugasnya meskipun tubuhnya masih lemas.

“Aku tidak merasa tengah dipijat,” jawab Arash, datar—seakan itulah hal paling mengganggunya pagi itu.

Ava memutar bola matanya. Dengan kesal namun mencoba sabar, ia menekan lebih kuat. Jemarinya mencari titik yang lebih tepat. Meski ia masih merasa tidak enak badan, ia berusaha mengalah karena tahu Arash bisa lebih menyebalkan dari ini jika dibiarkan.

“Nah, ini baru dipijit,” ucap Arash. Bahunya yang sempat menegang kembali jatuh, rileks.

Keheningan kembali mengisi kamar. Tapi kali ini bukan hening yang membuat canggung. Ada semacam ruang baru, kosong namun hangat, berdiri di antara mereka.

Ava menggerakkan tangannya perlahan ke bagian bawah leher Arash. Baru saja menyentuhnya, Arash menggeliat dan mengeluarkan suara pendek.

“Ah!”

“Apa itu... Sakit? Padahal aku hanya menyentuhnya.” Ava berhenti, tangannya menggantung di udara, menunggu penjelasan.

“Tidak,” jawab Arash singkat, terlalu singkat untuk terdengar jujur.

“Kalau tidak sakit, kenapa—”

“Aku menyuruhmu memijat, bukan bicara.”

Ava menggerutu pelan, “Dasar emosian…” kesalnya sambil mendorong tubuh Arash sedikit saat ia melanjutkan pijitan. Gerakan itu kecil, tapi cukup membuat Arash merasakannya.

“Apa kau bilang?” Arash seketika membalik tubuhnya, menatap Ava dari bawah. Tatapannya menusuk, tapi Ava duduk lebih tinggi sehingga ia tampak seperti anak kecil yang sedang memarahi orang dewasa.

“Tidak,” jawab Ava cepat, lalu berusaha meraih kembali bahunya.

Namun Arash mengangkat tangan, menghentikannya. “Sudah cukup. Aku tidak mau di pijat olehmu lagi.” Ia bangkit berdiri, tubuhnya bergerak kaku seperti seseorang yang menahan sesuatu—entah amarah, atau rasa malu yang tak mau ia akui.

Ia melangkah menuju kamar mandi. Ava menatap punggungnya yang menjauh sambil menghela napas. “Dasar bocah,” gumamnya lirih.

Namun gumaman itu… justru membuat sudut bibir Arash terangkat sedikit sebelum pintu kamar mandi menutup di belakangnya.

...----------------...

Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan asap tipis dari uap air panas yang masih menggantung di udara. Arash melangkah keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, namun gerakannya terhenti begitu ia melihat keadaan kamar.

Ava sudah berganti pakaian—kaus longgar milik Esther dengan celana pendek sederhana. Rambutnya masih setengah basah, meneteskan butir air yang jatuh perlahan ke bahunya. Jejak dingin dari air itu membuat kulit Ava terlihat sedikit memucat, tapi tetap segar. Sepertinya ia keluar kamar saat Arash terlalu lama menguasai kamar mandi dan mengunjungi adik iparnya itu.

Wanita itu duduk di pinggir kasur, tubuhnya condong ke depan, tatapannya tertuju pada sesuatu di pangkuannya: sebuah mangkuk sup yang sudah kehilangan uapnya. Ava memegang sendok seperti memegang benda yang sedang diselidiki, bukan hendak dimakan. Alisnya terangkat sedikit, seolah masih ragu dengan apa yang dilihatnya.

Karena penasaran Arash mendekat dengan langkah hati-hati, bukan karena takut, tapi karena wajah Ava yang terlalu serius untuk sesuatu yang tampak sepele.

Ava menoleh ketika merasakan kehadirannya. “Menurutmu apa ini?” tanyanya sambil mengaduk sup itu perlahan.

Arash baru melihat isinya ketika ia cukup dekat… dan tubuhnya otomatis menegang.

Di dasar mangkuk, tubuh cicak kecil terbujur kaku, tenggelam di antara cairan sup yang telah dingin. Perut Arash seketika memutar. Bukan hanya jijik—tapi juga terpukul oleh kenyataan bahwa mangkuk itu hampir disantap Ava.

Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan tangan, mengambil mangkuk itu dari tangan Ava dengan ekspresi datar yang dipaksakan, lalu meletakkannya di atas nakas.

“Kau sudah memakannya?” tanyanya. Nada suaranya terdengar datar, tapi ada ketegangan tipis di baliknya. Ia bukan khawatir—ia hanya memastikan bahwa Ava cukup sadar untuk tidak melakukan hal bodoh seperti menelan sesuatu tanpa memeriksa.

Ava menggeleng pelan. “Aku baru mau memakannya, tapi cicak sudah berenang lebih dulu di sana.” Ucapannya tenang, bahkan tanpa jijik di wajahnya—seolah ini hanya kejadian kecil yang ia temui setiap hari.

Arash menelan ludah, merasakan perutnya bergolak. Aroma sabun mandi yang segar dari tubuhnya bercampur dengan aroma sup dingin yang sekarang terasa memuakkan. Ia buru-buru membalikkan tubuh, menyembunyikan ekspresi wajahnya sebelum Ava menyadarinya.

“Kau sudah selesai? Aku mau turun ke bawah,” ujar Ava sambil meletakkan sendok.

“Turunlah duluan,” jawab Arash, suaranya sedikit serak seperti menahan sesuatu—entah rasa mual atau rasa kesal karena kejadian aneh itu.

Ava pun mengangguk. Ia bangkit perlahan dari kasur, langkahnya pelan, tubuhnya masih tampak lemah. Pintu terbuka… kemudian tertutup pelan di belakangnya.

Dan Arash akhirnya menghembuskan napas panjang—napas yang entah mengandung kekesalan, rasa jijik, atau sedikit kekhawatiran yang tidak mau ia akui.

"Dia bisa setenang itu dengan hal yang begitu menjijikan?" Gumamnya sambil mengedikan bahunya.

.

.

.

.

.

.

📌Coba komen dong pendarat kalian tentang novel ini🤭😅

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!