NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:166
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 23

Awalnya ia hanya ingin menyelesaikan latihan, mungkin makan bersama anak-anak di rooftop pilihan Langit, lalu pulang ke kamar kosnya, menyalakan lampu meja, dan mulai membaca novel lawas sampai matanya berat. Tapi sekarang ia malah duduk di kursi penumpang, berhadapan dengan kaca mobil yang diburamkan gerimis penuh nostalgia. Aneh juga dia menolak tawaran Darren untuk duduk di depan, rasanya seperti ingin mengingat waktu itu.

Gerimis makin deras ketika mobil Darren berhenti di depan sebuah rumah dua lantai yang terletak di kawasan perumahan. Viena duduk diam di kursi penumpang, menatap rumah itu dari balik kaca jendela. Sempat berpikir rumah Darren bakal megah dengan pilar tinggi, halaman luas, air mancur seluas danau atau arsitektur bergaya Eropa seperti yang dimiliki keluarganya. Tapi bangunan ini justru modern-minimalis, bahkan tanpa pagar.

Kaca lebar menyelimuti rumah dengan taman mungil di depan dan samping yang ditumbuhi tanaman hias satu warna. Mungkin ini cuma rumahnya yang ke sepuluh? Viena menolak percaya.

“Ini rumah kamu?” Viena dengan pedenya bertanya. “Kirain bakal kayak istana Aksantara.”

“Bakal ribet ngurusnya kalau semewah itu.” Darren menoleh, menatapnya sekilas dengan senyum yang nyaris tak terlihat. “Mau masuk sekarang?”

Belum sempat Viena menjawab, Darren keluar dari mobil. Hujan gerimis semakin deras. Saat gadis itu hendak membuka pintu, Darren sudah berlari kecil memutari mobil, lalu menunduk di sisi lain. Ia memayungi kepalanya dengan satu tangan setelah membukakan pintu, dan tangan satunya terulur pada Viena.

“Cepat. Nanti kamu basah.”

Viena menunduk, ikut menutupi kepalanya dengan tangan kala wajahnya entah kenapa mulai memanas. Ia mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

Harum wanginya begitu fresh, pengharum ruangan berjalan automatis di bawah AC yang Darren nyalakan. Gilanya padahal udara di luar juga tidak panas.

“Nyaman banget rumah kamu.”

“Yup.” Darren menaruh kunci mobilnya di gantungan. “Gak besar, tapi menurutku nyaman. Itu udah lebih dari cukup.”

“Mau minum?” Lanjut pemuda itu.

“Boleh. Air putih aja.”

Sambil menunggu, Viena duduk di sofa, menatap ruangan itu lagi. Tidak ada satu pun alat musik. Tidak ada poster band, tidak ada speaker besar, tidak ada kesan bahwa penghuninya adalah pengelola studio musik yang sibuk. Hanya buku-buku ekonomi, politik, dan beberapa jurnal berbahasa Inggris yang tampak terlalu berat untuk dibaca santai.

Darren kembali sambil membawa dua gelas air mineral. “Kamu kelihatan kaget banget.”

“Iya, soalnya gak ada tanda-tanda kalau kamu orang musik.”

“Emang aku bukan orang musik.”

“Eh?”

Darren duduk di sebelahnya, menyerahkan gelas. “Aku gak ngerti musik. Sama sekali.”

Viena spontan menatap, nyaris tertawa. “Kamu serius?”

“Serius banget. Aku ngerti bisnis musik, iya. Tapi soal chord, nada, atau tempo? Nol besar. Aku gak bisa main alat musik. Gitar aja cuma buat pajangan.”

Ia berdiri, berjalan ke arah ruangan di sisi kiri, dan beberapa detik kemudian kembali dengan sebuah gitar akustik. Menyerahkannya begitu saja ke Viena.

“Kalau gak percaya, coba aja.”

Viena menerima gitar itu, mengernyit. “Maksudnya?”

“Mainin.”

“Kirain kamu mau main buat aku.”

“Kan aku udah bilang gak bisa. Kalau aku main, bisa-bisa tetangga lapor polisi.” Darren menyandarkan diri ke sofa dengan santai. “Main aja. Biar rumah ini ada suara musiknya sedikit.”

Gadis itu menggeleng pelan, tapi jemarinya otomatis menyesuaikan posisi senar. Petikan halusnya membentuk melodi dari lagu If You Ask Me Twice. Ruangan yang semula tenang mendadak hidup. Darren memperhatikan diam-diam. Ia tidak melihat teknik atau nada dari salah satu lagu favoritnya itu hanya wajah Viena yang tiba-tiba berubah tenang setiap kali menyentuh senar.

Beberapa menit kemudian, Viena berhenti. “Kamu yakin gak mau belajar? Ini basic banget loh, Cuma G, D, Em, C.” Mungkin karena gadis itu mengetahui sedari tadi diperhatikan.

Darren sendiri malah mendengus. “G, D, Em, C… kayak kode WiFi.”

“Serius deh, kamu bisa mulai dari yang gampang. Nih.” Ia menyerahkan gitar itu padanya. “Pegang dulu, aku tunjukin chord-nya.”

Darren nurut aja. Tapi dari cara dia memegang gitar saja sudah kelihatan janggal banget.

“Bukan gitu, jempolnya jangan nempel di atas leher gitar.” Sambil membetulkan jari pemuda itu.

“Gini?”

“Bukan. Bawahnya.”

“Kayak gini?”

“Masih salah.”

Viena sampai menepuk jidatnya, menahan tawa setengah mati. “Ya ampun, kamu tuh kayak anak TK yang baru kenal mainan baru.”

“Yah, salahin kamu yang ngajarin cepat banget.” Darren membalas dengan nada malas. “Aku bisanya cuma baca pasar saham, bukan chord chart.”

“Bilang aja kamu gak mau belajar.”

“Aku mau. Tapi kayaknya fokusku salah arah.”

Tatapan Darren naik dari gitar ke wajah gadis di depannya..

Detik itu juga Viena sadar betapa dekat jarak mereka.

Hanya beberapa jengkal. Nafasnya tertahan. Lagi dan lagi.

“Apa yang kamu liatin?”

“Fokus.” Darren tersenyum kecil. “Katanya aku harus fokus, kan?”

Wajah Viena langsung memanas sampai telinga. Ia buru-buru bangkit, menyembunyikan wajahnya yang jelas memerah. “Udah ah. Kamu gak bisa diseriusin.”

“Tapi kamu ketawa.”

“Karena kesel!”

Darren terkekeh memamerkan gigi gingsulnya tanpa sengaja kala menaruh gitar itu ke samping. “Alright, kalau musik gagal, kita cari hiburan lain. Gimana kalau main game?”

Pada saat yang sama perut Viena meraung kelaparan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!