Aksa bertemu dengan gadis pemilik toko kue yang memikat hatinya, namun ia terpikat bukan karena gadis itu sendiri, melainkan terpikat karena gadis itu sangat mirip mendiang istrinya.
Aksa berusaha mendekati Si Gadis untuk bisa mendapatkannya, bagaiman pun caranya ia lakukan bahkan dengan cara licik sekalipun, asalkan ia bisa memiliki gadis yang sangat mirip dengan mendiang istrinya
Akibat obesesi Aksa yang melampaui batas, gadis itu pun terjerumus dalam lembah penuh hasrat Si Pria yang dominan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LebahMaduManis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Di antara hening batu nisan, bahu Erina bergetar hebat. Kedua makam orang tuanya ia rengkuh erat, seolah mencoba memeluk kehangatan yang telah lama hilang.
Di tengah isak pilu, bisikannya lirih merobek kesunyian sore itu.
"Ayah... Bunda... bolehkah aku menyusul?"
Bunga tabur yang semula harum, kini seakan ikut merasakan dukanya. Jemari Erina menaburkan kelopak-kelopak itu di atas pusara, pandangannya nanar.
"Aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Aku tak mau sendirian..."
Air mata tak lagi sekadar menetes, melainkan pecah dalam aliran deras yang membasahi pipinya. Matanya memerah sembap, hidungnya sakit menahan perih, dan tangisnya meledak tanpa ampun. Setiap isak yang lolos terasa meremas hati, membuat suaranya tercekat dan serak, seolah jiwanya ikut tergores oleh duka yang tiada bertepi. Ia terisak, tenggelam dalam kesendirian yang terasa mencekik.
Kemudian Erina berbaring di tengah-tengah di antara makan Ayah dan ibunya "Ayah, Bunda, aku lagi tidur bareng kalian kan, seperti waktu aku kecil dulu, gak apa-apa Ayah Bunda gak bisa peluk aku, aku yang akan memeluk kalian" ia berbaring di atas tanah dengan wajah yang menghadap ke atas awan, untung saja, hari itu matahri sedang tidak menampakan teriknya, ia bersembunyi dibalik awan kelabu, seakan langit pun sedang menemani gundah gulananya, sesekali Erina menyimpulkan senyuman, namun bukan Senyuman bahagia, senyuman itu tampak tipis hingga nyaris robek.
Itu adalah senyuman kepatuhan, senyum yang dia pelajari bertahun-tahun lalu sebagai mekanisme pertahanan. Senyum yang berkata, "Aku baik-baik saja," bahkan ketika jiwanya terasa seperti puing-puing yang baru saja disapu badai. Otot-otot di sekitar matanya—yang seharusnya mengerut sedikit dalam senyum tulus tetap kaku, dingin, dan mati. Matanya menceritakan kisah yang berbeda, ada kekosongan di sana, semacam kesedihan yang tua dan menetap, seperti debu yang terlalu tebal untuk dibersihkan.
Erina mengubah posisinya yang semula berbaring kini menjadi duduk di atas tanah, dengan mendekap kedua lututnya "Bunda maaf, toko juga sekarang lagi gak baik-baik aja" erina menarik nafasnya dan mengembuskannya perlahan, pula dengan memejamkan matanya sepersekian detik "Ayah, Bunda, aku janji aku akan kembalikan toko seperti dulu, menjadikan toko yang dikenal dipenjuru kota"
Awan kelabu itu kini mulai menurunkan hujan, dengan tas yang ia simpan di atas kepala alih-alih sebagi pengganti payung, dengan cepat ia melangkahkan kakinya untuk mencari tempat berteduh.
Rintik hujan semakin deras, terpaksa Erina berteduh dibawah pohon rindang. beruntung, seseorang memberinya payung, aroma parfum yang terhirup oleh indra penciumnya sangat tidak asing, seakan otak memberinya sinyal aroma maskulin ini sudah biasa ia hirup, spontan membuat Erina menengadah, menelisik siapa yang memayunginya.
"Pak Aksa?" Tanya Erina, matanya terbelalak
Aksa menyimpulkan senyumnya, namun matanya menatap kosong ke arah makam.
"Kenapa Bapak bisa ada disini? Erina menautkan alisnya, rasa heran menghinggapi pikirannya.
"Apa yang saya tidak tahu tentang kamu" jawab Aksa, semakin menambah keheranan Erina.
Tidak mungkin Aksa tidak tahu, ia dengan segala privilegenya , meminta beberapa anak buah suruhannya untuk selalu memantau Erina, hanya saja, semua anak buahnya pandai berkamuflase saat sedang memantau Erina, hingga gadis itu tak menyadarinya.
Erina mengangkat ujung bibirnya seraya dengan bola mata yang memutar, dan menggeleng pelan kepalanya seakan tak percaya.
"Mari, saya antar pulang Nona, hujan semakin deras, saya tahu kamu takut hujan deras dan petir" ucap Aksa
Terpaksa, karena hujan yang semakin deras, ia pun mengikuti langkah kaki Aksa.
Lagi-lagi, jenjang kaki yang tak sama, satu langkah kaki Aksa, sama dengan dua langkah kaki Erina, membuat Erina tertinggal di belakang.
Menyadari itu, Aksa memundurkan langkahnya, ia mengimbangi langkah kaki Gadis mungil tersebut, agar tetap berada di payung yang sama. Payung yang terlalu kecil untuk dipakai berdua, membuat keduanya tetap terkena cipratan air hujan.
Aksa membuka Jas yang ia kenakan, memakaikannya di bahu Erina, agar cipratan air hujan tidak langsung mengenai pakaian Erina.
Mata Erina teralihkan pada tangan Aksa yang merangkul bahunya, lalu beralih menengadah pada si pembawa payung. Tinggi badan yang signifikan nampak jelas diantara keduanya, tinggi Erina tepat berada di dada pria tinggi yang juga memiliki bahu lebar itu, membuat Aksa mudah merangkul bahu Erina.
Sampai di depan mobil milik Aksa, ia membukakan terlebih dahulu pintu untuk Erina, lalu Aksa mengitari mobilnya dan duduk dikursi kemudi.
"Saya antar ke rumah tantemu?" Aksa menoleh pada Erina sambil menghidupkan mesin mobilnya.
Erina melepas jas yang di tanggalkan Aksa di bahunya, lalu menggelengkan kepala dan melipat tangan di atas dada.
Dengan sigap, Aksa memakaikan kembali jas tersebut "saya tahu kamu kedinginan, pakailah, jas itu licin dibagian luar tidak menyerap cipratan air hujan, jadi aman jika kamu kenakan, Nona. Dan AC akan kumatikan"
Netra Erina membidik mata pria yang bersamanya, mereka beradu pandang "Terima kasih pak" ucap Erina ia tersenyum hingga kedua matanya terpejam seakan ikut tersenyum.
Senyum ini baru pertama Aksa dapatkan dari Erina, senyuman tulus, yang di lontarkan si gadis. Membuat Aksa terus mengulum senyum dengan mata yang ia alihkan pada jalanan di depa nya.
"Jika tidak pulang ke rumah Tantemu, lantas kamu akan pulang kemana?"
"Saya mau nginep di hotel saja pak, saya ingin menenangkan diri dengan susana tempat yang berbeda, Tante Talia sedang ada urusan keluar kota, dan Vallea pun sepertinya ikut" Ujar Erina
Aksa tidak curiga dengan penjelasan yang Erina ucapkan, mungkin memang iya, pasca si gadis putus dengan kekasihnya, ia hanya ingin menyendiri, padahal ada sesuatu yang Erina sembunyikan, yang terlewat dari pengawasannya.
"Jika tidak keberatan, mau kah kamu sekarang bertandang ke Apartemen saya?"
"Untuk apa?" Erina mengangkat sebelah alisnya
"Saya tidak ada kerjaan hari ini, saya coba-coba membuat macaroon, saya mau kamu mencicipinya, saya perlu penilaian dari hasil karya saya" Aksa terkikih geli menjelaskannya pada Erina, ia tahu rasa macaroon yang ia buat membuat semua lidah yang mencicipinya akan meludahkannya, namun itu siasatnya saja untuk mengajak Erina agar mau berkunjung ke tempat tinggalnya.
Erina ikut terkikih hingga deretan giginya terlihat "bapak tahu cara menggunakan alat-alat dapur?" Tanya Erina mengejek
"Tentu"
Dalam pikir si Gadis, di kediaman Aksa ini akan ada perempuan yang menjadi pasangan hidup pria yang bersamanya saat ini, ia membayangkan bahwa Aksa pun memikiki seorang anak, ia berniat untuk mengajak bermain anaknya. Tapi, Apakah tidak akan ada pikiran buruk terhadap pasangannya jika Aksa membawa Erina ke Apartemennya secara tiba-tiba?
......***......