Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villa teman
Aroma pahit parfum maskulin bercampur dengan hawa panas dari amarah yang belum mereda.
Arsenio duduk di kursi putar, tubuhnya condong ke depan, tangan saling mengait keras di bawah dagu.
Wajahnya gelap.
Matanya merah.
Dan pikirannya… sedang menghitung langkah.
Tok… tok…
Asistennya masuk dengan wajah tegang.
“Apa yang bisa saya bantu berikutnya, Pak?”
Arsenio berdiri perlahan, berjalan ke arah jendela besar kantornya, tempat gedung-gedung tinggi Bandung tampak seperti deretan besi tak berperasaan.
“Dewangga selalu terlihat sempurna.”
Ia mendesis.
“Stabil. Terkendali. Sulit diganggu…”
Tangannya mengepal.
“Tapi satu-satunya celahnya sekarang adalah gadis itu.”
Asisten ragu. “…Mentari, Pak?”
Arsenio menoleh, tatapannya tajam seperti pecahan kaca.
“Dia permulaan.”
Lalu ia tersenyum miring—senyum yang bukan senyum.
“Dewangga berani menyentuh apa yang harusnya menjadi milikku. Maka aku akan menyentuh apa yang paling dia lindungi.”
Bagas melangkah mundur sedikit. “Pak… apa maksud Bapak?”
“Aku tidak akan menyakitinya,” Arsenio menjawab pelan, namun nadanya membuat dada siapa pun terasa sesak. “Aku hanya perlu membuatnya… berada di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat.”
Ia memutar kursi, duduk, membuka tabletnya, dan mulai menggulir kontak-kontak penting.
“Mentari polos. Terlalu jujur.”
Ketukan jarinya berhenti pada satu nama.
Seseorang yang punya hubungan dengan jaringan media dan influencer.
“Satu rumor saja bisa membuat semuanya berantakan.”
Arsenio melanjutkan, suaranya setenang badai yang baru hendak turun.
“Apalagi jika ada bukti visual—yang terlihat meyakinkan.”
Bagas menelan ludah. “Pak… apakah Bapak ingin—”
Arsenio mengangkat telapak tangannya menghentikan ucapan itu.
“Kau tidak perlu tahu detailnya.”
Ia menekankan tiap kata.
“Kau hanya perlu memastikan aku bisa bertemu seseorang yang bisa membuat skenario berjalan tanpa terlihat dibuat-buat.”
Asisten mengangguk ketakutan.
Arsenio melanjutkan, lebih pelan namun jauh lebih berbahaya:
“Mentari tidak boleh sadar bahwa dia sedang digunakan.”
Ia memutar cincin di jarinya, kebiasaan lamanya ketika sedang merencanakan sesuatu yang serius.
“Aku akan menemui orangnya malam ini.”
Tatapannya mengarah ke jendela.
“Dan mulai besok… hidup Dewangga tidak akan tenang.”
Arsenio bersandar di kursinya, tersenyum tipis namun dingin.
“Andai saja dia tidak berani merebut yang bukan haknya…”
Lampu ruangan memantulkan bayangan wajahnya yang gelap—terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja dirampas harga dirinya.
______
Matahari Bandung bersinar ramah ketika kelas kedua berakhir. Mentari merapikan buku ke tasnya sambil menggulung headphone kecil ke saku. Barulah ia menyadari Andin berdiri di sampingnya sambil menyandarkan dagu di lengan tas.
“Nanti langsung pulang?” tanya Andin, senyumnya cerah.
“Emm… mau pulang sih. Kenapa?” Mentari membalas sambil berjalan keluar kelas.
“Aku bosen banget di kos. Yuk ke villa keluargaku. Sekalian nugas bareng. Tempatnya adem, sepi, healing banget pokoknya.”
Mentari langsung mengernyit. “Ke villa? Sekarang?”
“Iya. Deket kok. Palingan 30 menit. Udah aku cek, kosong. Nugas bentar, rebahan bentar, healing banyak.” Andin merangkul lengan Mentari manja.
Mentari awalnya hendak menolak. Ia masih memikirkan sketsa kebayanya, chat dengan Dewangga, dan rencana pernikahan dadakan yang masih membuat dadanya hangat setiap teringat.
Tapi Andin menatapnya dengan mata berbinar. “Pleaseee, Tari. Aku mau cerita banyak! Kamu kan bestienya aku.”
Mentari menyerah. “Oke deh. Tapi jangan lama-lama.”
Andin hampir melompat kegirangan.
.......
Mobil Andin melaju pelan di jalanan menanjak. Hawa dingin Lembang mulai terasa. Mentari mengetik pesan pada Dewangga:
“Mas, aku diajak Andin ke villa keluarganya. Katanya sambil nugas. Nanti aku kabarin kalo udah pulang ya.”
Balasan Dewangga tak lama muncul.
“Baik, Sayang. Hati-hati. Lokasinya share ke aku ya.”
Entah kenapa, hati Mentari menghangat.
Dan… tanpa pikir panjang, ia klik tombol share live location.
Untuk pertama kalinya, ia melakukan itu pada seseorang.
Setelah lima detik berpikir, ia menambahkan:
“Aku udah sampe. Lihat deh.”
Lalu ia mengangkat ponselnya, selfie cepat—wajah segar tanpa riasan, senyum lembut, latar pohon pinus di belakang.
Foto terkirim.
Dan entah kenapa, ia merasa… malu campur senang.
Villa itu hangat, beraroma kayu dan vanilla. Ruang tengahnya luas, dengan karpet bulu abu dan sofa cokelat muda.
“Rebahan dulu sini,” kata Andin sambil melempar bantal.
Mentari tertawa, ikut merebahkan diri. “Tugasnya mana? Jangan-jangan kamu cuma mau tidur.”
“Aku bikin minum dulu. Kamu tunggu ya.”
Andin melangkah ke dapur.
Mentari membuka chat Dewangga.
“Tempatnya adem banget.”
Balasan masuk cepat:
“Senang kalau kamu senang. Jangan lupa makan, ya.”
Mentari menggigit bibir menahan senyum, lalu mengirim emoji hati sekecil itu—yang langsung membuat pipinya hangat sendiri.
Tak lama Andin kembali membawa dua gelas minuman dingin dan beberapa camilan.
“Kita cheers dulu!” katanya.
Mentari mengangkat minumannya. “Cheers.”
Mereka mengobrol—mulai dari gosip kampus, cerita ringan, sampai tawa pecah-pecah yang membuat villa itu terasa seperti tempat healing yang sempurna.
Namun setelah beberapa menit meminum minuman itu, kelopak mata Mentari melemah.
“Hah… aku ngantuk,” gumamnya.
“Aku juga…” Andin menguap lebar.
Mentari pun berbaring, mengira suasana villa yang tenang membuatnya mengantuk. Udara sejuk, suara angin, dan empuknya karpet membuat matanya perlahan tertutup.
Beberapa detik kemudian, napasnya teratur.
Ia tertidur.
.....
Beberapa menit terlelap, Andin membuka matanya pelan—memastikan Mentari benar-benar terlelap.
Tatapannya berubah.
Tenang, datar.
Tak lagi seperti teman ceria beberapa menit lalu.
Ia duduk perlahan, memastikan Mentari tidak bergerak selain napasnya yang naik turun lembut.
Andin mengambil ponselnya dari saku.
Tangannya mengetik cepat:
“Aman. Tidur.”
Ia mengirim pesan itu pada satu kontak—tanpa nama, hanya sebuah inisial.
Notifikasi sent muncul.
Andin menatap Mentari sejenak.
“Maaf, Tari…” bisiknya lirih, entah tulus atau hanya sisa keraguan.
Kemudian ia berdiri, berjalan ke dekat jendela, menunggu instruksi selanjutnya.
Sementara itu… Mentari tidur tanpa menyadari bahwa langkah kecilnya menuju villa teman justru menempatkannya tepat di jalur rencana seseorang.
_____
Di ruang kerjanya, Dewangga menutup laptop setelah rapat virtual selesai. Tangannya refleks meraih ponsel, jempolnya mengetuk chat paling atas—Mentari.
Ia membuka live location yang sejak tadi tetap aktif.
Awalnya, ia hanya melihatnya sekilas … sampai jarum lokasi itu bergeser sedikit karena sinyal, dan ia memperhatikan detail daerahnya.
Dewangga berhenti bernapas sesaat.
Lokasi itu…
Jalan setapak dekat hutan pinus.
Cluster villa lama.
Area yang pernah ia tangani untuk proyek pengembangan sebelum akhirnya dijual ke investor lain.
Tempat itu tidak asing sama sekali.
Bahkan… ada hal yang membuat tengkuknya menegang.
Sebuah ingatan samar sesuatu yang tidak beres di area itu—terkait salah satu klien lama yang juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Arsenio.
Dewangga merasakan sensasi tidak enak merayap dari dada ke perut.
Ia memperbesar peta.
Nama jalan.
Nomor villa.
Posisi Mentari yang tidak bergerak.
Senyumnya hilang total.
“Villa ini…” gumamnya, sorot mata mengeras.
Dalam hitungan detik, ia berdiri.
Mengambil kunci mobil.
Memasukan ponsel ke saku.
Tidak sempat memakai jas kerjanya.
Langkahnya cepat, mengiris lantai rumah modernnya.
Begitu keluar rumah, ia langsung berjalan ke mobil.
Beberapa pekerjanya yang melihatnya hendak menyapa, tapi urung.
Wajah Dewangga dingin.
Fokus.
Gelisah.
Ia membuka pintu mobil, masuk, dan mesin langsung menyala.
Sambil menarik napas, ia menatap kembali layar navigasi.
Titik Mentari masih di villa itu. Tidak bergerak.
“Apa yang kamu lakukan di sana, Sayang…” bisiknya, suara rendah namun penuh kekhawatiran.
Ia menekan pedal gas.
Mobil melaju cepat menyusuri jalan menurun rumahnya ke arah Lembang.
Semakin dekat, semakin kuat firasat buruknya.
Ia menelpon seseorang—nomor tanpa nama, hanya inisial "R".
Begitu terhubung, Dewangga berkata singkat tanpa basa-basi:
“Cek pemilik villa nomor 17, dekat hutan pinus. Kirim ke saya sekarang. Saya dalam perjalanan.”
Dari speaker, suara lelaki paruh baya menjawab cepat,
“Baik, Pak.”
Dewangga selesai bicara.
Tangannya menggenggam setir sampai buku jarinya memutih.
Mobilnya melaju cepat membelah jalanan berkelok Lembang.
Tatapannya tak lepas dari layar navigasi.
Titik Mentari diam.
Tidak bergerak sama sekali.
Firasat itu berubah menjadi cemas yang menumpuk, menekan dadanya.
“Mentari… bertahanlah.”
Ia menambah kecepatan.
Angin pegunungan terdorong menjauh oleh laju mobil hitam itu, menuju satu villa yang tiba-tiba terasa terlalu jauh—padahal hanya beberapa kilometer lagi.