Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VIDEO VIRAL
POV Erina.
Drrtt... Drrtt...
Ponselku terus bergetar. Dengan malas, ku angkat telepon yang ternyata dari anak buahku.
"APA?? SIALAN! JADI MEREKA PERGI KE CISARUA?
AARGGHH, BRENG-SEK!!"
Aku melempar ponsel ke kasur. Teriakanku membuat Yudha terkejut. Aku baru saja mendapatkan sebuah kabar buruk dari anak buahku.
Ya, aku habiskan uang warisan orang tuaku serta uang penjualan tanah pemberian Kak Indira. Aku juga telah menjual mobil dan menipu Tama, uangnya aku pergunakan untuk bersenang-senang dan membayar seseorang yang selama ini membantuku dalam melancarkan rencana untuk menguasai seluruh harta orang tua Kemala.
Aku ingin memiliki Subagja, pria berkumis yang umurnya tua tapi terlihat begitu penyayang. Jika dibandingkan dengan suamiku, tentu jauh kemana-mana. Mas Tama sangat tampan, tapi sayangnya gak sekaya Subagja. Kak Indira begitu realistis, tidak memandang tampang yang penting mapan. Subagja adalah seorang juragan, tentu saja hartanya banyak. Dan itu yang membuat aku iri pada kehidupan kak Indira setelah dia menikah.
Aku dan kak Indira adalah dua bersaudara. Kami berasal dari Bumiayu. Kami dari keluarga sederhana. Kedua orang tuaku sangat memanjakanku dari kecil. Sementara kak Indira sangat mandiri dan tentunya patuh.
Semua berawal dari 20 tahun yang lalu, saat ayahku menjodohkan kak Indira dengan laki-laki asal Bogor, Jawa Barat. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Kak Indira yang patuh, langsung menuruti keinginan ayah saat itu. Dinikahkan dengan anak juragan meskipun tanpa cinta.
Pak Jumantara, ayah dari Subagja saat itu memberi kami uang, tanah dan sawah. Sebuah hadiah yang tentu saja merubah kehidupan kami. Aku yang saat itu memang sudah sangat menyukai barang-barang mewah dan selalu ingin tampil beda dari teman-teman, tentu bisa menyombongkan diri dengan ekonomi keluargaku saat itu.
Singkat cerita, kak Indira dibawa oleh suaminya dan tinggal di daerah Bogor. Satu tahun setelah pernikahan mereka, kak Indira hamil dan dikaruniai seorang anak perempuan. Aku sangat senang, meskipun tidak tinggal serumah lagi dengan kakakku, tapi kak Indira tidak pernah melupakan adiknya ini. Apapun yang aku minta selalu dia berikan.
Setelah lulus SMA, ayah meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, ibu juga menyusul. Kini aku hidup sebatang kara.
Kak Indira yang merasa iba memintaku ikut dengannya ke Bogor. Dia memasukkan aku ke universitas terbaik di sana. Aku tinggal di asrama, dan aku sangat
Bahagia bisa hidup berkecukupan karena hidupku ditanggung oleh kakak dan kakak iparku.
Setelah lulus kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan. Disana aku bertemu dengan Tama, salah seorang staf yang sudah lebih dulu bekerja di perusahaan itu. Dia tampan, baik dan tubuhnya tinggi tegap. Wanita mana yang tidak tergoda oleh pesona pria itu?
Aku dan Tama pacaran. Setelah itu kami menikah.
Aku dan Tama memutuskan untuk keluar dari perusahaan dan membuka usaha. Kebetulan Mas Tama sangat pandai memasak, dia memang pria perfectsionis dan multitalenta.
Cafe itu diberi nama D'Lux. Cafe minimalist namun kekinian dengan live musik yang menjadi daya tarik setiap akhir pekannya. Aku senang karena suamiku berhasil saat itu.
Lima tahun sudah kami berumah tangga. Aku belum juga hamil, dan itu tidak pernah jadi masalah untuk Tama. Dia masih romantis, perhatian dan ber g a i rah seperti awal kami menikah. Tak ada yang berubah kecuali kondisi keuangan kami.
Ya, cafe Mas Tama mulai sepi. Hal itu membuat pemasukkan berkurang. Aku tentu saja frustasi karena harus berhemat. Aku tidak bisa shopping atau jalan-jalan dengan bebas.
Aku mengeluh pada kak Indira. Bahkan beberapa kali aku meminta uang padanya. Dan kak Indira malah menasehati, mentang-mentang dia kaya dan berkecukupan, dengan entengnya dia bilang aku boros dan tidak bisa menerima keadaan suamiku saat ini.
"Hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Bersyukurlah, Rin. Tama laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Hanya kamu saja yang kurang bersyukur dan terlalu boros. Berhematlah dan berikanlah support pada suamimu. Kasihan dia," ucapnya saat itu.
Kak Indira memang royal, dia memberikan sejumlah uang yang aku minta, namun sindirannya setiap kali aku minta uang, membuat aku jengah. Aku sedang kesulitan, harusnya diberi semangat bukan nasihat. Sementara dia ... Kak Indira makin terkenal sebagai pribadi yang dermawan dan disegani banyak orang. Usaha suaminya makin berjaya. Dan aku merasa kecil di hadapannya.
Aku iri, ya aku sangat iri dengan kehidupan Kak Indira saat itu.
Ternyata punya suami tampan tidak menjamin kebahagiaan. Apalagi sejak satu tahun cafe D'Lux mengalami penurunan, Mas Tama begitu sibuk ke sana kemari untuk cari bantuan dan membangun kembali bisnisnya yang menurutku hampir gulung tikar. Dia sangat yakin jika cafe-nya masih bisa bertahan.
Karena kesepian, aku sering menghabiskan malam di diskotik. Dan disanalah aku bertemu dengan Yudha. Pria itu baik, gagah, dan pastinya sangat perhatian. Dia tinggal di apartemen bersama adiknya, Vino. Perhatiannya membuatku luluh dan tak berdaya. Aku jatuh cinta pada pria yang pekerjaannya tidak jelas itu.
Entah apa pekerjaan Yudha sebenarnya, dia punya markas pribadi. Tapi dia selalu ada saat aku minta waktu untuk ditemani. Entahlah...aku tidak peduli pada pekerjaannya, yang penting dia selalu ada untukku, beda dengan Mas Tama yang mulai berubah dan sangat sibuk.
Bulan terus berlalu, aku makin frustasi karena tabunganku makin menipis. Hari itu, aku pergi ke puncak untuk menemui Kak Indira. Namun aku malah mendapati pemandangan yang membuatku makin iri.
Dimana ternyata hari itu ada sebuah acara di rumah suami kakakku. Dan ternyata, itu adalah acara anniversary pernikahan mereka. Banyak tamu-tamu penting disana. Dan setelah acara potong tumpeng, kang Subagja memberikan sebuah kalung berlian yang harganya mencapai milyaran.
Bisa aku lihat dengan jelas wajah berbinar dari kakakku. Dia terlihat cantik dan berseri, begitupun Kemala yang saat itu berdiri diantara kedua orang tuanya. Mereka berfoto, mengabadikan kebahagiaan yang menurutku malah seperti sedang pamer keharmonisan yang tidak aku miliki.
Jahat. Dunia sangat jahat. Mengapa di saat aku terpuruk dan kesulitan ekonomi, kakakku malah mendapatkan semuanya. Memang dia tidak membuangku, bahkan dia juga rutin memberiku uang tiap bulan. Tapi tetap saja, aku ingin memiliki apa yang dia punya.
Dan disanalah awal mula rencana jahatku untuk merebut semuanya.
Diam-diam, aku mencoba mencari perhatian Kang Subagja, pria yang sangat sulit ditemui karena sibuk. Aku menemuinya di peternakan, tanpa sepengetahuan Kak Indira. Namun sial, laki-laki jelek itu sok jual mahal. Dia sama sekali tidak meliriku.
Beberapa kali aku mencoba menarik perhatiannya, namun lagi-lagi gagal. Dia bahkan mengatakan sesuatu yang membuat hatiku begitu sakit.
"Jika tidak ada yang penting, sebaiknya kamu jangan menemuiku, Rin. Kalau mau bertemu dengan Indira, temui saja di rumah. Katakan saja kamu butuh berapa, nanti dia yang akan memberi!"
Kata-kata itu merupakan sebuah hinaan. Aku marah dan mulai mencari cara lain untuk merebutnya.
Aku menyelidiki tentang laki-laki itu. Aku pikir sikapnya yang seperti itu karena dia setia pada Kak Indira, tapi ternyata aku salah.
Ada rahasia yang begitu besar yang Subagja simpan rapat-rapat. Dan aku akan menjadikan itu sebagai senjata, sebelum itu, aku harus singkirkan Kak Indira dulu.
Aku menemui Jaka, sopir pribadi Subagja. Aku memintanya untuk kerjasama. Namun sial, dia malah menolak padahal sebelumnya dia setuju. Entah apa yang membuat dia berubah pikiran begitu cepat?
"Sepertinya aku harus menunjukkan sesuatu yang akan membuat Jaka mau menuruti perintah kita!" ucapku pada Yudha malam itu.
Yudha tersenyum. "Tidak perlu. Kita singkirkan saja dia dan Indira. Setelah itu kamu dekati Subagja dan ancam dia dengan video itu. Dalam keadaan terdesak, apalagi tidak ada Indira, kau akan bebas menikmati hartanya," ucap kekasihku malam itu. Tanpa sepengetahuanku, ternyata dia sudah bertindak duluan. Yudha diam-diam memutus kabel rem pada mobil yang akan dipakai Jaka
Dan Indira besok saat menjemput Kemala.
Tapi sial, Subagja yang biasanya tidak pernah ikut, tiba-tiba ikut bersama mereka. Dan benar saja, beberapa menit setelah mobil itu melaju dan meninggalkan rumah menuju kampus Kemala, kami mendengar kabar jika mobil tersebut masuk ke jurang.
Subagja dan Erina meninggal di tempat sementara Jaka mengalami luka yang serius.
Aku benar-benar tidak menyangka semua ini. Padahal aku hanya ingin menyingkirkan Indira dan Jaka, setelah itu aku akan mengancam Subagja supaya dia menjadikanku seorang istri dan aku bisa menikmati kekayaannya, seperti yang selama ini Kak Indira rasakan.
Dua hari setelah kecelakaan itu, aku datangi Jaka.
Aku memperlihatkan foto dan video yang akan membuat dia tercengang. Sebuah video yang pastinya bakal viral dan membuat mental anaknya terguncang.
Foto dan video saat Ningsih tidur bersama laki-laki yang ternyata adalah Subagja.
Ya, laki-laki yang bersama Ningsih adalah Subagja.
Entah mereka memang berselingkuh atau melakukan itu tanpa sengaja, namun video ini bisa aku jadikan senjata agar Jaka dan keluarganya tutup mulut.
Dan kini, aku tidak bisa menikmati harta peninggalan Subagja karena semuanya sudah diwasiatkan untuk Kemala.
Pada akhirnya, aku merubah rencanaku. Aku bersikap seolah diriku adalah adik yang baik. Aku akan menjadi orang tua asuh untuk Kemala. Dengan begitu, aku bisa
Menikmati hartanya. Sambil menyelam minum air, aku akan berusaha untuk membuat Kemala mengalihkan semua aset itu menjadi atas namaku.
Tapi sekarang, semuanya berubah. Kemala ternyata bukan gadis polos seperti yang aku pikirkan. Dia adalah racun. Dia telah merebut Tama. Wanita sialan itu bahkan dinikahi secara siri oleh suamiku. Mereka benar-benar ba-jingan.
Namun yang membuat aku makin frustasi adalah karena mereka sudah mengetahui rencanaku. Bahkan beberapa menit yang lalu, anak buahku menghubungi dan memberi kabar jika Tama dan Kemala telah menemui Jaka dan sepertinya mereka sudah punya bukti.
saja. Tapi jangan panggil aku Erina jika aku kalah begitu
Haruskah aku memperlihatkan video menjijikan ini pada Kemala? Video yang akan membuatnya terpuruk dan syok?
Atau aku pakai cara lain.
Aku tersenyum memandangi dua garis merah pada alat untuk test kehamilan ini. Sesuatu yang akan membuat Tama berpikir ribuan kali untuk memenjarakanku.
Setelah merasa siap dan tenang, aku memutuskan pulang. Tentu saja aku akan menemui Tama dan Kemala.
Dengan gaun putih sederhana, tanpa makeup, wajah sedikit pucat, dan langkah pelan penuh penyesalan palsu, aku datang ke rumah Tama. Rumah yang begitu banyak kenangan namun kini semuanya mulai berubah, sejak aku membawa Kemala.
Kemala membukakan pintu. Wajahnya datar. Dingin.
Seolah aku bukan siapa-siapa.
"Assalamu'alaikum," ucapku pelan, suara kubuat bergetar seperti orang yang terluka batin.
"Wa'alaikumsalam," jawabnya singkat.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan senyumku yang hampir saja muncul karena senangnya melihat ekspresi datarnya. Aku melangkah masuk, lalu kutemukan Tama berdiri di ruang tamu. Tatapan matanya tajam, penuh amarah yang disimpan.
"Tama..." ucapku, pura-pura lemah. "Aku... aku menyerah. Aku nggak kuat lagi. Aku capek. Tolong jangan terus mencari tahu, aku tidak bersalah!"
Tama tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, seperti batu karang yang tak akan tergoyahkan.
Aku duduk. Menunduk. Memainkan ujung kerudungku. Menunggu keheningan memudar sebelum akhirnya aku mulai dengan rencanaku.
"Aku tahu kalian sudah tahu semuanya. Tentang Mang Jaka. Tapi aku tidak melakukan apapun. Semua itu adalah rencana Yudha. Aku nggak tahu apa-apa" kataku, perlahan mengusap perutku. Sang ratu sandiwara ini pun akan memulai perannya.
"Tapi... ada satu hal penting yang ingin aku sampaikan."
Kemala sedikit mengernyit.
Aku menatap mereka bergantian, lalu tersenyum
Tipis.
"Aku... hamil."
Hening.
Tidak ada reaksi dari keduanya. Maka aku lanjutkan.
"Ini... ini anak Tama. Anak yang selama ini kita harapkan. Setelah sekian lama menunggu, Tuhan akhirnya menjawab doa kita."
Aku memandangi Tama, berharap ada sedikit keraguan, sedikit kerinduan, atau bahkan secercah harapan di matanya.
Namun yang kudapatkan hanya satu kalimat dingin.
"Itu bukan anakku."
Ugh. Itu seperti tamparan keras.
Aku terkesiap, berusaha menahan kekecewaan yang tak bisa kutunjukkan. Tapi aku sudah siap. Aku tidak datang tanpa bukti.
"Ini hasil USG-nya," kataku, menyodorkan kertas.
"Dan ini... foto kita terakhir kali berhubungan, tiga bulan lalu, kamu masih ingat saat kita membicarakan tentang rencana untuk menjadi orang tua asuh Kemala? Kamu begitu gagah malam itu," ucapku sengaja, ingin melihat Kemala terbakar cemburu.
"Tanggalnya pas, Mas. Aku nggak tidur dengan laki-laki lain. Aku masih istrimu."
Kemala memalingkan wajah. Ia tak bicara sepatah kata pun. Tapi aku tahu, diam itu bisa berarti banyak. Dan aku memilih menafsirkannya sebagai celah kemenangan.
"Aku tidak masalah kalau harus berbagi. Aku rela... dimadu. Aku bisa terima Kemala jadi istrimu juga. Asal... kita bisa memulai dari awal. Demi anak ini. Aku mohon... " Aku mulai menangis, tangisan yang kulatih berkali-kali di depan cermin. Air mata yang kubuat seolah tulus, seolah penuh kesakitan dan cinta.
Aku berlutut di hadapan Tama, tanganku memegang lututnya.
"Ini darah dagingmu, Mas... Jangan hukum anak ini karena kesalahan ibunya. Aku memang jahat karena pernah punya rencana ingin menguasai harta milik keponakanku sendiri. Tapi soal kecelakaan itu, Aku sama sekali tidak tahu. Kalau mau menangkap pelakunya, tangkap saja Yudha!"
Pada akhirnya aku menjual nama kekasihku untuk sebuah perlindungan. Tentu saja aku tidak mau disalahkan dan tidak mau dipenjara.
Tama menatapku dengan ekspresi sulit ditebak. Tapi aku tahu, meski keras, dia tidak kejam. Dia tidak akan sanggup menolak anak yang katanya dia dambakan selama ini.
"Aku akan berubah, sungguh. Aku akan jadi istri yang baik. Istri pertama yang mendukungmu. Aku dan Kemala... kita bisa hidup bersama. Aku ikhlas."
Mataku kini beralih ke Kemala. "Kemala... tolong. Tante sadar, kalau Tante banyak salah. Tapi... bisakah kita lupakan semua itu? Demi anak ini? Demi keluarga kita?"
Dia masih diam. Diam yang panjang. Tak ada sepatah pun jawaban. Tapi... tak masalah.
Aku tahu, aku sudah tanamkan benih keraguan. Dan itu cukup untuk sekarang. Diamnya adalah tanda ia sedang berpikir. Dan mungkin... mulai luluh.
Tama menghela napas. Ia meraih dokumen dari tanganku, memeriksanya satu-satu. Ekspresinya masih datar. Tapi ia tidak mengusirku.
Bagus.
Aku berhasil membuatnya bimbang.
Saat aku duduk kembali, menyandarkan punggung di sofa, aku melirik Kemala diam-diam. Matanya tertuju pada lembar USG, tapi ekspresinya tak berubah. Masih setenang permukaan air danau. Terlalu tenang.
Terlalu diam.
Aku menyeringai kecil dalam hati. Kemenangan kecil ini manis. Sangat manis.
Tapi aku tak tahu... bahwa diam Kemala adalah badai yang tengah menanti waktu.
Aku pikir aku sudah menguasainya.
Aku pikir aku sudah mempengaruhi mereka.
Tapi aku lupa, bahwa perempuan seperti Kemala... tidak akan tinggal diam. Dan jika dia diam, maka itu artinya... dia sudah menyiapkan kehancuranku.
Dan aku? Aku bahkan tak sadar sedang berjalan ke arah jurang dengan senyum di bibir.
Sudah tiga hari sejak aku kembali ke rumah ini.
Tiga hari yang menegangkan, tapi juga menjanjikan. Aku masih bisa tidur tenang tidur di kamar empuk ini.
Kemala tak banyak bicara. Bahkan sejak aku datang, ia nyaris tidak membuka percakapan. Hanya menjawab seperlunya. Namun ia tidak juga mengusirku. Itu sudah lebih dari cukup. Diam itu, aku tafsirkan sebagai penerimaan perlahan. Meskipun dingin, dia tidak menolak.
Tama pun... belum juga membuat keputusan.
Tapi dia masih membiarkanku di sini. Masih menatapku, walau kadang penuh benci. Kadang aku temukan dia berdiri lama di depan ruang kerja, memandangi lembar USG yang kuletakkan di meja. Aku tahu dia belum bisa menolak kemungkinan bahwa anak ini benar-benar miliknya.
Dan itu adalah senjataku.
Pagi ini, aku sengaja membuat sarapan.
Kupakai apron yang dulu kubeli bersamanya di toko perlengkapan rumah tangga. Memasak bubur ayam kesukaan Tama. Dan kubuatkan kopi tanpa gula seperti yang selalu dia minta.
"Kemala, kamu sudah sarapan?" tanyaku, berpura-pura hangat.
Dia menoleh sekilas. "Sudah," jawabnya pelan.
Aku tersenyum kecil. "Tama mana?"
"Di atas."
Aku mengangguk. Lalu diam.
Dan seperti biasa, ia pergi begitu saja ke kebun kecil di samping rumah. Tempat favoritnya sejak kembali dari Cisarua.
Sungguh wanita yang sulit dibaca. Tapi semakin ia diam, semakin aku yakin-dia belum benar-benar tahu bagaimana menghadapiku. Dia masih ragu, masih belum yakin. Mungkin... sedikit tertekan karena kehadiranku yang begitu tenang dan penuh air mata palsu.
Lucu.
Padahal aku tahu dia membenciku setengah mati.
Tapi siapa yang bisa menolak seorang wanita hamil ini? Bayi yang aku kandung ini ternyata ada gunanya juga.
Malamnya, aku kembali duduk di sofa ruang tamu.
Mengusap perutku pelan-pelan seolah bayi ini benar-benar sesuatu yang begitu berharga bagiku.
Tama duduk di seberang. Menatapku tajam.
"Aku belum yakin dengan kehamilanmu," ucapnya tiba-tiba.
Aku tersenyum pahit. "Aku mengerti. Tapi waktu akan membuktikan, Tama. Aku hanya minta... jangan usir aku sebelum bayi ini lahir."
"Dan setelah itu?"
Aku menatapnya penuh harap. "Kita bisa mulai lagi. Hidup dengan tenang. Aku akan jadi istri yang lebih baik. Aku bahkan siap mundur jika Kemala tidak bisa menerima. Asal anak ini tetap jadi bagian dari keluargamu."
Kemala datang tak lama setelah itu, membawa tumpukan map cokelat yang tampak berat. Ia meletakkannya di meja.
"Ini laporan dari Mang Asep," katanya pada Tama.
Aku berdeham pelan. "Kemala, boleh aku bicara sebentar saja?"
Dia menoleh, tapi tidak mendekat.
"Aku hanya ingin bilang terima kasih... karena sudah tidak mengusirku. Terima kasih karena sudah mau terima aku kembali."
Diam.
Dia tidak menjawab. Bahkan tidak tersenyum.
Hanya... menatapku lama. Tatapan yang dingin-tapi kali ini berbeda.
Tatapan itu... seperti cermin yang dalam. Ada sesuatu yang ia simpan.
Dan untuk pertama kalinya sejak aku datang, aku merasa sedikit gelisah.
Malam itu aku tak bisa tidur.
Perasaanku tidak enak. Entah kenapa.
Ada firasat aneh yang tak biasa, seperti ada badai yang akan meledak sewaktu-waktu. Aku beranjak dari kamar, berjalan pelan ke dapur untuk minum.
Tapi langkahku terhenti.
Dari celah pintu ruang kerja Tama, kulihat cahaya terang. Pintu tak tertutup rapat.
Dengan hati-hati, aku mendekat. Dan di dalam sana... kulihat sesuatu yang membuat darahku nyaris membeku.
Kemala sedang duduk bersama seorang pria-Mang Asep.
Mereka sedang membuka sebuah laptop. Di layar, terpampang folder dengan nama: BUKTI ERINA.
Aku menahan napas.
Tangan gemetar.
Aku mundur pelan, menahan desah napas yang memburu. Jantungku memukul dadaku keras-keras.
Keringat dingin merambat di pelipis.
Mereka punya bukti.
Kemala tahu. Tama tahu. Dan mereka... sedang menunggu waktu. Tapi kenapa beberapa hari ini mereka seolah diam? Membiarkan aku menang? Apa yang mereka rencanakan?
Sialan.
Aku pikir aku sudah berhasil. Aku pikir drama air mataku cukup ampuh untuk membuat mereka goyah. Tapi ternyata, sejak awal... mereka hanya diam karena sedang menyiapkan jebakan.
Dan aku... aku datang dengan sukarela ke dalamnya.
Aku harus cari cara. Harus!
Aku membuka laptopku, mencari file yang selama ini aku sembunyikan. Aku akan memperlihatkan video dan foto-foto menjijikan itu pada Kemala supaya dia tidak berbuat macam-macam jika tidak mau nama baik keluarganya tercoreng.
Namun senyumku hilang saat aku tidak menemukan file apapun di sana. Aku mencoba mencari di penyimpanan lain, telah aku backup video dan foto-foto itu. Nihil.
Semuanya kosong.
"Shiittt!!! Kemana semuanya? Sial, itu adalah senjata satu-satunya selain kehamilan ini. Dimana video itu? Siapa yang berani membuka laptopku? Bagaimana mungkin video dan foto-foto yang sudah aku backup juga hilang?"
Aku mulai panik. Namun suara ketukan di pintu kamar membuyarkan.
"Tante? Ada yang nyariin tuh!"
Suara itu, suara Kemala. Aku benar-benar gugup dan panik. Siapa yang mencariku?